“Sejak
dilahirkan, KAMMI ini sudah besar. Jadi jangan berusaha mengecilkannya.” (Akbar
Zulfakar, Mantan Ketua Umum KAMMI)
Ini yang paling saya sukai. Pertemuan antara setiap kader
dan pengurus KAMMI. Tidak hanya dalam satu ruang lingkup KAMMI Daerah, tapi
antara KAMMI di setiap tempat. Dari setiap kampus. Sangat beragam akan unsur
budaya lokal, kultur intelektual, sampai pada perbedaan cara pandang terhadap KAMMI
dan negaranya sendiri. Unik.
Pesona itu kian merebak tatkala sudah masuk pada ruang-ruang
diskusi yang membahana. Saya – dan saya yakin teman-teman juga begitu, tak
pernah merasa kecil ketika diskusi dimulai. Semua jadi “besar”. Benar-benar
besar. Bahkan ada beberapa orang yang merasa dirinya terlalu besar untuk KAMMI.
Hingga akhirnya memandang bahwa KAMMI tak mampu menampung kebesarannya.
Insilah...itu jalan keluar bagi mereka.
Namun, begitulah. Sejak awal KAMMI dilahirkan, sudah
dengan atribut kebesarannya. Bahwa mereka terdidik, terlatih untuk berpikir
besar. Tak hanya tentang diri sendiri. Tapi langsung di luar badan subjek
pikir. Tidak berpikir bagaimana dia, dan apa yang dia dapat. Tapi selalu
tentang apa yang bisa disiapkan untuk diberikan. Mulia, bagi beberapa orang.
Susah, untuk orang-orang yang bermasalah dengan keikhlasan. Tak mungkin bisa,
bagi manusia berstatus pemuda dan mahasiswa yang penuh pesimisme kehidupan.
Pertemuan demi pertemuan berhasil saya alami. Dari sebuah
kampus kecil sampai pada ruangan khusus wakil ketua DPR RI. Tidak ada yang
membuat saya bangga selain sebuah kesyukuran yang begitu bergejolak dan
menyeruak mempengaruhi raga. Bahwa saya mendapat kenikmatan belajar dari semua
hal yang ada di kurikulum KAMMI. Daurah marhalahnya, madrasahnya, daurahnya, “pengadilan”
jalanannya, hingga vila-vila mati penuh aura mesum yang mampu ceria lagi karena
nafas pemuda KAMMI.
Cukup. Mari kembali pada hakikatnya. Pertemuan antar
kader, bagi saya adalah penawar semua masalah yang dihadapi dalam menggulirkan
roda dakwah di KAMMI. Juga madrasah yang lebih dahsyat daripada daurah marhalah
sekalipun. Ini ibarat kurikulum manhaj kaderisasi yang dimampatkan di dalam
beberapa hari saja. Saya bertemu banyak orang yang visinya sangat mendukung
kekayaan ide tentang KAMMI, Islam, dan Indonesia.
Sebut sajalah rekan-rekan dari Jatim dan Jateng. Mereka
datang dengan penuh kesederhanaan dan “kezuhudan”-nya. Bahkan ketika bertemu
seorang kader KAMMI dari Semarang, pertanyaan pertama darinya adalah,”Kalo
makan di Jakarta paling murah berapa Mas?”. Sungguh ini sangat berkesan buat
saya. Mungkin ini menyindir kita akan kekuatan finansial untuk menjadi aktivis
dakwah. Tapi dari pertanyaan itu, saya belajar untuk segera menstabilkan
ekonomi pribadi dan rumah tangga. Agar tetap lincah menjadi aktivis.
Berbeda sekali jika kita bertemu saudara dari Jogja. Sangat
berbeda. Kepercayaan diri yang memancar dari jasadnya terasa mendominasi dan
menular. Aksen bicara yang medok dan sangat cepat, tak pernah menyurutkan
kecerdasan dan kekuatan pemahaman tentang politik. Juga pergerakan. Maka tak
heran pula jika kita selalu kehabisan waktu diskusi jika mengundang rekan-rekan
dari Jogja. Sungguh, tak ada cukup kata
untuk menyatakan kecepatan pikirannya. Apalagi jika dipadukan dengan
rekan-rekan Jabar, DKI Jakarta, dan Banten. Umpan tangkap diskusi begitu
natural mengalir. Bahkan, jika tak ada pengontrol bicara, katering peserta diskusi
bisa jadi bahan kudeta yang revolusioner. Meski tetap dengan tawa canda yang
menarik untuk diikuti.
Kesan seriuslah yang ditawarkan oleh hampir setiap kader
dari Indonesia timur. Bahkan beberapa pertemuan saya dengan mereka, awalnya
selalu tanpa senyum. Tanpa kesan muka yang santai. Selalu tegang.
Tapi hal itu juga bukan tanpa sebab. Pergolakan dakwah di
sana, terasa benar pada wilayah ruang aqidah. Bahwa Islam adalah benar.
Selainnya sesat. Maka tak heran jika yang dihadapi kader KAMMI di sana adalah
ide tentang kristenisasi, penipuan sosial, dan penyesatan agama. Ditambah
dengan sulitnya proses regenerasi yang digulirkan. Dengan semakin sibuknya
kurikulum pendidikan pada mahasiswa, para kader dituntut cermat untuk membagi
diri. Antara aktivitas ekstra kampus dan
tetap membuat diri nyaris cumlaude. Namun
saudara-saudara di timur selalu menginspirasi saya – dan beberapa rekan, untuk
senantiasa mengoreksi hubungan pribadi kepada Allah SWT. Sungguh, nasihat yang
amat berharga.
Nah, menurut saya, pertemuan-pertemuan ini sangat penting
bagi kader KAMMI. Ibarat halaqoh harokiyah yang harusnya menjadi kurikulum tak
tertulis yang wajib teragendakan. Dengan periode yang baik. Juga dengan tujuan
objek yang jelas. Minimal pertemuan itu menyatakan kepada kita bahwa dalam misi
penegakan risalah ini, kita tak pernah sendiri. Ada ribuan orang yang berhimpun
dalam sebuah rumah besar pemuda Islam; KAMMI.
Selain itu, saya percaya bahwa silaturahim sebagai penambah
usia dan rizqi. Karenanya, dengan pertemuan antar kader - baik antar
komisariat, antar daerah, ataupun wilayah, sangat penting menambah stamina pergerakan
yang menjadi bensin untuk mesin para aktivis. Apalagi jika ditambah dengan
budaya diskusi sebagai alat-alat pertukaran pikiran yang cerdas. Tentu saja ini
semakin menambah ghirah gerakan di dalam KAMMI.
Selain itu, pembelajaran para leader salah satunya adalah
pengenalan geografis. Agar kita semua tahu seberapa luas wilayah yang akan kita
pimpin nantinya. Bahwa Allah inginkan khalifah-khalifah-Nya menjadi orang-orang
besar. Terutama ruang pemikiran dan kemampuan pengaturannya. Saya masih ingat
betul nasihat salah seorang ustadz kepada rekan-rekan pengurus pusat. Bahwa
“Antum semua harus sering jalan-jalan ke daerah. Kunjungi mereka. Agar
frekuensi gerak antum sama. Dan agar antum semua tahu, bangsa kita ini sangat
luas”.
Maka, saudaraku, bertebaranlah di bumi Indonesia ini.
Agar Allah lapangkan jalan kita. Untuk Indonesia. Dan untuk-Nya.
0 komentar:
Posting Komentar