Rabu, 06 Maret 2013

Setor Wajah



“Sejak dilahirkan, KAMMI ini sudah besar. Jadi jangan berusaha mengecilkannya.” (Akbar Zulfakar, Mantan Ketua Umum KAMMI)
Ini yang paling saya sukai. Pertemuan antara setiap kader dan pengurus KAMMI. Tidak hanya dalam satu ruang lingkup KAMMI Daerah, tapi antara KAMMI di setiap tempat. Dari setiap kampus. Sangat beragam akan unsur budaya lokal, kultur intelektual, sampai pada perbedaan cara pandang terhadap KAMMI dan negaranya sendiri. Unik.
Pesona itu kian merebak tatkala sudah masuk pada ruang-ruang diskusi yang membahana. Saya – dan saya yakin teman-teman juga begitu, tak pernah merasa kecil ketika diskusi dimulai. Semua jadi “besar”. Benar-benar besar. Bahkan ada beberapa orang yang merasa dirinya terlalu besar untuk KAMMI. Hingga akhirnya memandang bahwa KAMMI tak mampu menampung kebesarannya. Insilah...itu jalan keluar bagi mereka.
Namun, begitulah. Sejak awal KAMMI dilahirkan, sudah dengan atribut kebesarannya. Bahwa mereka terdidik, terlatih untuk berpikir besar. Tak hanya tentang diri sendiri. Tapi langsung di luar badan subjek pikir. Tidak berpikir bagaimana dia, dan apa yang dia dapat. Tapi selalu tentang apa yang bisa disiapkan untuk diberikan. Mulia, bagi beberapa orang. Susah, untuk orang-orang yang bermasalah dengan keikhlasan. Tak mungkin bisa, bagi manusia berstatus pemuda dan mahasiswa yang penuh pesimisme kehidupan.
Pertemuan demi pertemuan berhasil saya alami. Dari sebuah kampus kecil sampai pada ruangan khusus wakil ketua DPR RI. Tidak ada yang membuat saya bangga selain sebuah kesyukuran yang begitu bergejolak dan menyeruak mempengaruhi raga. Bahwa saya mendapat kenikmatan belajar dari semua hal yang ada di kurikulum KAMMI. Daurah marhalahnya, madrasahnya, daurahnya, “pengadilan” jalanannya, hingga vila-vila mati penuh aura mesum yang mampu ceria lagi karena nafas pemuda KAMMI.
Cukup. Mari kembali pada hakikatnya. Pertemuan antar kader, bagi saya adalah penawar semua masalah yang dihadapi dalam menggulirkan roda dakwah di KAMMI. Juga madrasah yang lebih dahsyat daripada daurah marhalah sekalipun. Ini ibarat kurikulum manhaj kaderisasi yang dimampatkan di dalam beberapa hari saja. Saya bertemu banyak orang yang visinya sangat mendukung kekayaan ide tentang KAMMI, Islam, dan Indonesia.
Sebut sajalah rekan-rekan dari Jatim dan Jateng. Mereka datang dengan penuh kesederhanaan dan “kezuhudan”-nya. Bahkan ketika bertemu seorang kader KAMMI dari Semarang, pertanyaan pertama darinya adalah,”Kalo makan di Jakarta paling murah berapa Mas?”. Sungguh ini sangat berkesan buat saya. Mungkin ini menyindir kita akan kekuatan finansial untuk menjadi aktivis dakwah. Tapi dari pertanyaan itu, saya belajar untuk segera menstabilkan ekonomi pribadi dan rumah tangga. Agar tetap lincah menjadi aktivis.
Berbeda sekali jika kita bertemu saudara dari Jogja. Sangat berbeda. Kepercayaan diri yang memancar dari jasadnya terasa mendominasi dan menular. Aksen bicara yang medok dan sangat cepat, tak pernah menyurutkan kecerdasan dan kekuatan pemahaman tentang politik. Juga pergerakan. Maka tak heran pula jika kita selalu kehabisan waktu diskusi jika mengundang rekan-rekan dari Jogja. Sungguh, tak ada cukup kata  untuk menyatakan kecepatan pikirannya. Apalagi jika dipadukan dengan rekan-rekan Jabar, DKI Jakarta, dan Banten. Umpan tangkap diskusi begitu natural mengalir. Bahkan, jika tak ada pengontrol bicara, katering peserta diskusi bisa jadi bahan kudeta yang revolusioner. Meski tetap dengan tawa canda yang menarik untuk diikuti.
Kesan seriuslah yang ditawarkan oleh hampir setiap kader dari Indonesia timur. Bahkan beberapa pertemuan saya dengan mereka, awalnya selalu tanpa senyum. Tanpa kesan muka yang santai. Selalu tegang.
Tapi hal itu juga bukan tanpa sebab. Pergolakan dakwah di sana, terasa benar pada wilayah ruang aqidah. Bahwa Islam adalah benar. Selainnya sesat. Maka tak heran jika yang dihadapi kader KAMMI di sana adalah ide tentang kristenisasi, penipuan sosial, dan penyesatan agama. Ditambah dengan sulitnya proses regenerasi yang digulirkan. Dengan semakin sibuknya kurikulum pendidikan pada mahasiswa, para kader dituntut cermat untuk membagi diri. Antara aktivitas ekstra  kampus dan tetap membuat diri nyaris cumlaude. Namun saudara-saudara di timur selalu menginspirasi saya – dan beberapa rekan, untuk senantiasa mengoreksi hubungan pribadi kepada Allah SWT. Sungguh, nasihat yang amat berharga.
Nah, menurut saya, pertemuan-pertemuan ini sangat penting bagi kader KAMMI. Ibarat halaqoh harokiyah yang harusnya menjadi kurikulum tak tertulis yang wajib teragendakan. Dengan periode yang baik. Juga dengan tujuan objek yang jelas. Minimal pertemuan itu menyatakan kepada kita bahwa dalam misi penegakan risalah ini, kita tak pernah sendiri. Ada ribuan orang yang berhimpun dalam sebuah rumah besar pemuda Islam; KAMMI.
Selain itu, saya percaya bahwa silaturahim sebagai penambah usia dan rizqi. Karenanya, dengan pertemuan antar kader - baik antar komisariat, antar daerah, ataupun wilayah, sangat penting menambah stamina pergerakan yang menjadi bensin untuk mesin para aktivis. Apalagi jika ditambah dengan budaya diskusi sebagai alat-alat pertukaran pikiran yang cerdas. Tentu saja ini semakin menambah ghirah gerakan di dalam KAMMI.
Selain itu, pembelajaran para leader  salah satunya adalah pengenalan geografis. Agar kita semua tahu seberapa luas wilayah yang akan kita pimpin nantinya. Bahwa Allah inginkan khalifah-khalifah-Nya menjadi orang-orang besar. Terutama ruang pemikiran dan kemampuan pengaturannya. Saya masih ingat betul nasihat salah seorang ustadz kepada rekan-rekan pengurus pusat. Bahwa “Antum semua harus sering jalan-jalan ke daerah. Kunjungi mereka. Agar frekuensi gerak antum sama. Dan agar antum semua tahu, bangsa kita ini sangat luas”.
Maka, saudaraku, bertebaranlah di bumi Indonesia ini. Agar Allah lapangkan jalan kita. Untuk Indonesia. Dan untuk-Nya.

   

0 komentar:

Posting Komentar