Rabu, 21 Desember 2011

Keberlanjutan Tugas




Salah satu anugerah yang selalu saya syukuri adalah Allah SWT memberi tuntunan untuk berpikir agak “nyleneh”. Artinya belajar untuk tidak berpikir linear. Bahasa yang biasa saya dan teman-teman gunakan adalah berpikir eksponensial. Tapi…tidaklah penting itu semua. Karena setiap manusia tentu diberikan tugas, potensi, dan tanggung jawab masing-masing.
Tuntunan Allah SWT tadi mengantarkan saya pada suatu kehausan logika. Diantaranya adalah untuk sangat suka melihat keadaan masyarakat di luar rutinitas. Apalagi keadaan geografis kampus yang cukup dekat dengan ibukota membuat saya cukup sering melakukan perjalanan untuk mengamati perilaku, kebiasaan, dan realitas masyarakat ibukota dan daerah-daerah minus.
Saya mendapat beberapa kesimpulan hidup yang menarik untuk kita simak dan bahas bersama. Ikhwah sekalian, masyarakat, atau dalam bahasa anda semua disentbut umat, sama sekali tidak mempedulikan kesholehan dan kebaikan anda selaku dai. Bahkan, dalam ungkapan ekstrem-nya, bagi mereka, para dai (apalagi di kalangan mahasiswa) memiliki kebaikan dan kealiman yang tidak diragukan lagi. Mereka sangat segan sekaligus senang ketika banyak aktivis dakwah “turun” mendekati mereka. Meski hanya sapaan, gurauan, candaan.
Tapi ternyata, para ikhwah, kesholehan itu tidaklah menjawab kebutuhan mereka selaku manusia. Lebarnya jilbab para akhwat sholehah dan hitamnya dahi para ikhwan tangguh tidak mampu menyelesaikan persoalan hidup yang menghampiri. Demo-demo kita di jalanan itu tidak mampu memberikan berkah kepada mereka kecuali botol-botol air mineral yang mereka kumpulkan lagi untuk dijual. Teriakan-teriakan para orator ulung belumlah cukup untuk membayar air mata mereka karena kehilangan rumah yang digusur tanpa pemberitahuan atau memang sengaja dibakar. Tangisan dan keprihatinan kita tidaklah bisa menggantikan kesempatan anak-anak jalanan untuk segera mengenyam pendidikan yang sewajarnya mereka terima.
Sehingga saya berpikir, bagaimana masyarakat bisa diajak untuk sholat fardlu berjamaah di masjid jika mereka terus menerus sibuk untuk mengais uang di alam hedonis ? Atau bagaimana ibu-ibu kita mampu menerima kenyataan dan perintah berhijab dengan ikhlas sedangkan pikirannya terus berkutat pada “bagaimana saya & anak-anak saya besok bisa hidup?”. Apalagi untuk menerima syariat poligami yang rentan didengungkan dampak buruknya oleh kaum feminis. Bagaimana kita bisa mendesain masyarakat dan umat untuk hanya mengibadahi Allah SWT ? Dan bagaimana kita semua, para dai, ingin secara sadar menegakkan kembali institusi Islam berupa khilafah jika masyarakat tidak mampu “dikuasai” ?
   dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. (QS 2 : 193)
Saya berusaha mencari jawaban atas hal ini. Ilham yang Allah berikan membuat saya berpikir beberapa hal sebagai akibatnya. Pertama, saya penganut paham anti kebetulan (bukan anti kebenaran lho ya). Maksudnya ialah tidak ada kebetulan yang terjadi di dunia ini. Semua pasti “by design” . Baik design dari Allah SWT atau makar yang “sementara direstui” oleh Allah SWT. Sehingga fakta bahwa Indonesia memiliki hampir separuh umat Islam di dunia juga bukan tanpa maksud.
Dorongan peran aktif umat Islam Indonesia untuk peduli, moderat, dan  responsif secara cerdas terhadap keadaan umat Islam di seluruh bagian dunia senantiasa didengung-dengungkan pada hampir semua ajang kegiatan internasional umat Islam.  Gaungan propaganda ini paling kuat berasal dari kelompok Ikhwan. Mereka sangat menunggu Indonesia untuk berperan lebih besar, lebih aktif, dan lebih solutif.
Kedua, karakter perjalanan dakwah yang panjang dan berat untuk mengarahkan umat kembali kepada izzah (kehormatan) dan penghambaan kepada Allah yang esa, justru memberi bukti adanya “seleksi alam” dalam dakwah. Sehingga faktor keikhlasan dan keistiqomahan para dai akan teruji di sini. Siapa yang berdakwah untuk siapa dan siapa yang berdakwah untuk mendapatkan apa. Saya mulai bisa menangkap salah satu hikmah dari firman Allah di surat Ali Imran ayat 102
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam.
Ayat ini kental sekali dengan nuansa urgensi keistiqomahan. Saya mengungkapkannya dalam kalimat berikut :
“Percuma sajalah umat islam beriman dan bertaqwa di suatu masa, tapi goyah keimanan dan ketaqwaannya di fase kehidupan bernama kematian. Karena di saat menjelang kematian tidaklah logika otak berfungsi dengan baik. Hanya hati nurani yang bisa bekerja optimal saat itu. Dan, keimanan serta ketaqwaan itu berkumpul dalam kokohnya dinding hati.”
Ketiga, kerja besar yang saya sebutkan dalam kesimpulan kedua di atas tidaklah mungkin bisa diraih dari kerja individu. Secemerlang apapun manusia itu. Oleh karenanya, cita-cita agung itu akan bisa diraih oleh kerja-kerja kolektif yang tersusun dengan rapi dan kokoh.
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS 103)
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS 61 : 4)
Kita semua punya bidang, potensi, dan keunggulan yang beragam. Marilah kita sinergiskan itu semua untuk keberlangsungan cita-cita dakwah yang selalu menjadi ambisi dan harapan kita. Perbaikilah kehidupan umat dengan potensi dan keunggulan kita semua. Baik secara individu maupun dalam konteks kejamaahan. Semoga Allah menguatkan dan mengistiqomahkan kita semua. Wallahua`lam bisshowab.

Melanjutkan Ramadhan






oleh : KH. Muhammad Arifin Ilham

Belum terlambat jika kita ingin mengevaluasi tentang kesuksesan Ramadhan yang telah kita lalui kemarin. Di antara ukuran kesuksesan penempaan Ramadhan ada pada empat amalan berikut ini. Jika terjaga dan apalagi meningkat, insya Allah, sukseslah Ramadhannya. Dan, boleh jadi dialah yang paling berhak menyandang gelar al-muttaqiin, orang yang bertakwa. (QS. Al Baqarah [2] : 183).
Pertama, tetap mau berpuasa. Karena kita berada pada bulan syawal, puasa yang dimaksud adalah puasa sunah enam hari di bulan Syawal. Bulan yang menyimpan arti sebagai bulan peningkatan amal. “Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama setahun.” (HR. Muslim)
Hadits tersebut tidak semata dilihat dari sudut pandang bilangan puasa yang hanya enam hari, tapi juga dilihat dari sudut pandang puasanya. Puasa Syawal merupakan salah satu bukti nyata amal saleh berupa puasa yang terus berlanjut, tidak menurun.
Syawal adalah kelanjutan dari Ramadhan, baik dalam keterkaitan bulan-bulan Hijriah (Qamariah) maupun kelanjutan amal-amal saleh. Semangat kita dalam beramal saleh, baik itu yang sifatnya ibadah personal maupun sosial, tidak boleh kendur. Maka, amalan yang kedua sebagai ukuran kesuksesan Ramadhan adalah tradisi tadarus (membaca) Alquran yang terus meningkat. Membaca Alquran menunjukkan sikap kecintaan seorang muslim kepada Allah dan RasulNya. Dengan membaca Alquran, seorang muslim berarti berkomunikasi dengan Allah. Selain itu, membaca Alquran akan diberi balasan 10 kebaikan dari setiap huruf yang dibaca. Dari Alquran yang dibaca, maka pembacanya akan terbimbing oleh petunjukNya, seperti keadaan hati yang tenang, pikiran yang jernih, dan amalan yang terjaga. Bila terbiasa membaca Alquran, pembicaraannya penuh hikmah, sehingga orang mau mendengar. Jika berdoa, tidak ada penghalang. Melazimkan membaca Alquran akan mendapat syafaat saat sakaratul maut hingga akhirat.
Amalan ketiga adalah shalat malam. Di bulan Ramadhan kita telah terbiasa shalat tarawih. Karena itu, di bulan Syawal dan selanjutnya tahajud bisa menjadi amalan primadona dan khas untuk aktivitas malam kita. “Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al Israa [17] : 79)
“Seutama-utama shalat setelah shalat fardlu adalah shalat sunah di waktu malam.” (HR. Muslim). “Sesungguhnya pada shalat malam ada satu waktu. Dan seandainya seorang muslim meminta suatu kebaikan di dunia maupun di akhirat kepada Allah SWT, niscaya Allah SWT akan memberinya. Dan itu berlaku setiap malam.” (HR. Muslim)
Keempat, sedekah. Sedekah merupakan penolak bala, penyubur pahala, dan melipatgandakan rezeki; serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. (QS. Al Baqarah [2] : 261). Selain itu, seorang hamba akan mencapai hakikat kebaikan dengan sedekah (QS. Ali Imran [3] : 92).

Minggu, 18 Desember 2011

Hijrah dan Perubahan




Kehadiran Islam sebagai ajaran dan sistem hidup adalah karya revolusioner Allah SWT. Dan, kejadian yang kita gelari dengan istilah revolusioner selalu bertolak dari satu kata : perubahan. Ya, perubahanlah satu-satunya hal yang tak pernah berubah. Ini sunnatullah dunia ciptaan-Nya. Sehingga, sebagai derivasinya, barangsiapa yang tidak mau berubah mengikuti kekuatan arus perubahan, akan tergilas habis oleh roda kehidupan.
Islam yang telah dimulai saat Adam A.S. diciptakan Allah tidak henti-hentinya dituntut untuk berubah. Bukan pada prinsip ajarannya, tapi bagaimana aktualisasi Islam bisa disesuaikan dengan keadaan hidup tanpa mencederai tata aturannya yang baku. Sebagai contoh, tentu kita tak pernah lupa, bagaimana nabi Adam AS harus mendapat hadiah untuk turun di bumi karena perubahan yang dilakukan iblis lewat rayuan. Hidup yang awalnya indah di surga Allah, harus terbuang karena kejadian buah khuldi tersebut. Meski Adam AS telah memohonkan ampun atas kesalahannya, namun kejadian itu sejatinya telah mengubah keadaan kita selaku umat manusia. Penyesalan Adam AS Allah abadikan di dalam Alquran surat Al A’raaf ayat 23 :
Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.”
Sejalan dengan pendahulunya, Rasulullah SAW juga tak ubahnya seorang yang menawarkan perubahan.  Hidup dengan orang-orang yang buruk secara adab sosial dan hampir semua dimensi kehidupan, tak lantas membuat seorang Muhammad pasrah, menyerah, menerima keadaan apa adanya. Beliau merasa ada yang salah dengan sistem kehidupan masyarakatnya.
Maka menyendirilah beliau untuk mencari jawaban atas keadaan ini. Berkhalwat. Kontemplasi jenis inilah yang dicontohkan manusia agung penutup para nabi. Tentu tidak dengan tanpa maksud apalagi berniat menghabiskan waktu dan melamun, namun dengan upaya pemikiran mendalam atas apa yang terjadi.
Usia 40 tahun menjadi pusat kematangannya. Allah SWT memutuskan Muhammad siap mengemban tugas mulia. Kalimat “iqra” yang menjadi legitimasi kerasulannya ditebarkan ke seluruh penjuru Mekkah. Rasul bergerilya melancarkan kebenaran. Perubahan itu telah dimulai. Selama 13 tahun Rasulullah SAW mendidik orang-orang Mekkah untuk berubah. Berubah menjadi hamba yang benar-benar hamba. Bukan menghambakan Allah di suatu saat, dan menghambakan selain-Nya di saat yang lain.
Momentum perubahan terbesar hadir di saat apa yang kita sebut sekarang dengan kata hijrah. Beralih dari kampung halaman tercinta, dengan segala kenyamanan hidup yang telah diraih, menuju tempat yang diperintahkan Allah SWT. Padang tandus yang siap menerima ikhlas kerasulan Muhammad : Yatsrib (madinah).
Perubahan itu tidak serta merta berhenti dengan hijrah jasadiah (perpindahan fisik) kaum muslimin, namun justru perubahan itu terjadi semakin besar dan bergelombang. Rasul menyampaikan Islam hingga membentuk bangunan persepsi bagaimana ajaran ini bisa memanusiakan manusia dan menempatkan nilai-nilai kebenaran untuk hidup yang harmoni. Islam tidak hanya dianggap sebagai tata cara ibadah baru bagi kaum arab, tapi juga memberikan nuansa futuristik dan kebesaran dengan paduan kecantikan akhlak. Maka perhatikanlah, sejarah mencatat, kaum muslimin yang hijrah dari Makkah ke Madinah hanya sekitar 125 orang. Namun, saat kaum muslimin kembali ke Makkah untuk mengaktualisasikan kerinduannya (baca: Fathu Makkah) jumlah mereka meledak hingga 10 ribu orang. Suatu jumlah yang fantastis di saat itu dan hanya dalam waktu delapan tahun.
Mengapa hal itu bisa terjadi ? Karena Rasul dan para shahabat berhasil menempatkan Islam sebagai hubungan individu secara vertikal (penghambaan kepada Allah) dan secara horisontal (sesama manusia). Islam tidak pernah memisahkan antara idealisme dan realisme. Islam juga tidak mengajarkan suatu hal yang tak kasat mata untuk mencapai keadaan tertentu. Tidak, sama sekali tidak.
Semangat yang dilahirkan dari suatu idealisme dalam Islam selalu harus dipertemukan secara harmonis dengan realisme di dunia nyata. Sehingga lahirlah kreasi tanpa batas untuk mencapai tujuan yang tetap diiringi suatu koridor kebenaran. Bukannya membuat halal semua cara untuk mencapai keinginan tertentu.
Islam mengajarkan kemuliaan manusia yang bercucuran keringat untuk mencari nafkah agar tidak menjadi beban hidup orang lain. Tapi tetap mengatur caranya. Salah satunya dengan melarang riba namun menghalalkan jual beli. Optimisme atas takdir Allah yang dituangkan dalam proses ikhtiar, dengan mengikuti aturan Allah SWT selayaknya membuat umat muslim menjadi eksekutif di kalangannya. Eksekutif di semua aspek hidup.
Hijrah, yang setiap tahun kita peringati, kiranya menjadi tadzkirah (pengingat) kita di dalam setiap aktivitas. Nilai-nilai hakikinya merupakan hal yang terpenting untuk membuat kita, kaum muslimin, mampu melihat hidup lebih luas, menyongsong tantangan hidup dengan lebih bergairah, secara sinergis membangun keyakinan positif sekaligus menggantungkan harapan hanya kepada Allah SWT. Dan setelah semua hal itu menjadi motif hidup kita, jangan kaget jika semua kemuliaan dan kebaikan akan berlari mendekati kita. Baik di dunia maupun di akhirat. Wallahua’lam.

Hakim dalam Islam


oleh : M. Fuad Nasar, M.Sc.



Jabatan yang paling berat tanggung jawab dan resikonya setelah kepala negara ialah hakim. Dalam terminologi fiqh klasik, hakim disebut juga qadhi. Qadhi atau hakim berfungsi sebagai penegak hukum dan keadilan dalam mengadili perkara-perkara yang diajukan ke pengadilan. Hakim dipandang sebagai amanah yang mulia. “Jika kamu menghukum, putuskanlah hukum di antara manusia dengan adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS Al Maidah : 42).
Rasul bersabda : “Qadhi (hakim) itu ada tiga golongan; dua golongan dalam neraka dan satu golongan dalam surga.” Nabi menyebut secara garis besarnya kesalahan yang dapat membawa seorang hakim ke dalam neraka dan sifat-sifat yang akan membawa keselamatan dan kebahagiaan di dalam surga.
Dua golongan hakim yang akan terjerumus masuk neraka ialah hakim yang telah mengetahui kebenaran dan keadilan, tetapi dia menyeleweng dan berbuat zalim dengan kewenangan memutuskan perkara yang ada di tangannya, serta hakim yang menjatuhkan vonis hukum tanpa ilmu, tetapi dia malu untuk mengakui ketidaktahuannya terhadap hakikat persoalan yang sedang diadilinya. Adapun hakim yang akan masuk surga ialah yang melaksanakan kebenaran dan keadilan melalui kewenangan mengadili dan memutuskan perkara yang diamanatkan kepadanya.
Menarik diperhatikan nasihat Nabi Muhammad ketika memberikan briefing kepada Ali bin Abi Thalib sebelum memangku jabatan hakim di Yaman. Sebagaimana dinukilkan oleh Imam al Mawardi dalam kitab Al-Ahkaam as Sulthaniyah, Nabi berpesan, “Apabila engkau menghadapi dua pihak yang berperkara, janganlah engkau menjatuhkan putusan bagi salah seorangnya sebelum engkau mendengarkan keterangan dari yang lainnya.”
Menurut pandangan Islam, kekeliruan hakim dalam memaafkan dan membebaskan terdakwa adalah lebih baik daripada kekeliruan dalam menjatuhkan hukuman. Hikmahnya adalah untuk memperkecil kemungkinan keterlanjuran hukuman terhadap orang yang tidak bersalah.
Dalam timbangan hukum Islam, lebih baik sepuluh orang lolos dari hukuman duniawi daripada satu orang yang tidak bersalah terhukum akibat kekeliruan hakim. Dalam menjalankan tugasnya, seorang hakim tidak boleh terpengaruh oleh perasaan dendam, benci, keberpihakan pada yang berperkara, ataupun kepentingan kekuasaan. Hakim harus jujur dan adil dalam kondisi apa pun dan siapa pun.
Pada zaman Ibnu Toulun di Mesir, gaji hakim ditetapkan 1000 dinar emas sebulan. Dan di zaman Daulah Fathimiyah di Mesir, gaji hakim ditetapkan 1200 dinar emas sebulan (setara dengan 3000 dolar AS sekarang). Dengan gaji sebesar itu dimaksudkan agar para hakim tidak mudah menerima suap atau gratifikasi.
Pada saat ini, gaji yang besar tidak menjamin seorang hakim kebal terhadap suap dan gratifikasi. Integritas hakim lebih banyak ditentukan oleh kekuatan mental spiritualnya dalam mencintai kebenaran dan kesetiaan jiwanya terhadap kesadaran hukum serta kebenaran dan keadilan yang harus ditegakkan walaupun langit akan runtuh. Oleh karena itu, tidak semua sarjana hukum layak untuk mengemban jabatan sebagai hakim. Wallahua’lam.

Membangun Kejujuran


oleh : Dr. HM Harry Mulya Zein

Kejujuran terkesan mahal di negeri ini. Berbuat dan berkata dusta justru terkesan menjadi suatu hal yang lumrah. Kedustaan seakan diumbar tanpa memiliki rasa bersalah dan takut akan dosa. Individu, masyarakat, dan bangsa yang sudah tidak mengutamakan kejujuran dipastikan akan dihampiri kehancuran. Kejujuran adalah dasar dari kehidupan keluarga, masyarakat, dan bangsa.
Kejujuran adalah prasyarat utama pertumbuhan dan perkembangan masyarakat yang berlandaskan prinsip saling percaya, kasih sayang, dan tolong menolong. Kejujuran adalah inti dari akhlak yang merupakan salah satu tujuan diutusnya Rasulullah oleh Allah SWT.
“Menjauhi dusta karena dusta akan membawa kepada dosa dan dosa akan membawamu ke neraka. Biasakanlah berkata jujur karena jujur akan membawamu pada kebajikan dan membawamu ke surga” (HR Bukhari dan Muslim)
Hakikat kejujuran ialah mengatakan sesuatu dengan jujur di tempat (situasi) yang tidak ada sesuatu pun yang menjadi penyelamat, kecuali kedustaan. Secara psikologis, kejujuran akan mendatangkan ketenteraman jiwa. Sebaliknya, seseorang yang tidak jujur pasti tega melakukan perbuatan serta menutupi kebenaran.
Kedustaan dan ketidakjujuran akan selalu meresahkan masyarakat, yang pada gilirannya akan mengancam stabilitas sosial. Ketidakjujuran selalu akan membawa pada ketidakadilan, disebabkan orang yang tidak jujur akan tega menginjak-injak keadilan demi keuntungan material pribadi atau golongannya saja.
Pribadi yang jujur merupakan roh kehidupan yang teramat fundamental karena setiap penyimpangan dari prinsip kejujuranpada hakikatnya akan berbenturan pada suara hati nurani. Seperti contoh, penyelenggara negara pada setiap aktivitasdalam rangka melayani masyarakat tentunya tidak menanggalkan prinsip kejujuran.
Kejujuran juga akan melahirkan penghargaan terhadap hak-hak orang lain. Sebab, kejujuran sebagaimana yang telah kita uraikan di atas juga akan menumbuhkembangkan kecintaan terhadap kebenaran, keadilan, dan kedisiplinan. Namun, kejujuran tidak akan datang begitu saja, tetapi harus diperjuangkan dengan sabar dan sungguh-sungguh. Seorang ulama menegaskan bahwa ada beberapa faktor yang dapat membantu kita dalam mencoba meraih kejujuran.
Pertama, akal yang wajib memandang buruk kedustaan apalagi jika kedustaan itu sama sekali tidak mendatangkan kemanfaatan dan tidak mencegah bahaya. Kedua, agama dan syariat yang memerintahkan untuk mengikuti kebenaran dan kejujuran serta memperingatkan bahaya kedustaan. Ketiga, kedewasaan diri kita yang menjadi salah satu faktor pencegah kedustaan dan kekuatan pendorong menuju kebenaran. Keempat, memperoleh kepercayaan dan penghargaan masyarakat.
Ada sebuah kata mutiara, “jadikanlah kebenaran (al haq) sebagai tempat kembalimu (rujukan), kejujuran sebagai tempat pemberangkatanmu, sebab kebenaran adalah penolong paling kuat dan kejujuran adalah pendamping utama.”
Karena itu, sejatinya pribadi Muslim untuk terus membangun kejujuran dalam melakukan semua aktivitas. Amin.

Jumat, 16 Desember 2011

Muqoddimah






Begitulah kehidupan. Dengan segala keunikannya. Membuat kita jatuh, bangun, menangis, dan tertawa di saat yang mungkin hampir bersamaan. Sayang rasanya kalau kehidupan ini dihabiskan sendiri. Karenanya, berbagi bisa menjadi kekuatan, tenaga besar. 

Dan mungkin, mengapa blog itu dirasa cukup penting. Tidak hanya ditinjau dari aspek pemenuhan sosial emosional. Tapi juga kebutuhan untuk menjadi inspirasi. Terlepas apapun tulisan yang kita buat. Asalkan ditulis dengan kejujuran dan harapan ikhlas, semuanya akan menjadi indah. Menulislah kawan ! :D