Kehadiran Islam sebagai ajaran dan sistem hidup adalah karya revolusioner Allah SWT. Dan, kejadian yang kita gelari dengan istilah revolusioner selalu bertolak dari satu kata : perubahan. Ya, perubahanlah satu-satunya hal yang tak pernah berubah. Ini sunnatullah dunia ciptaan-Nya. Sehingga, sebagai derivasinya, barangsiapa yang tidak mau berubah mengikuti kekuatan arus perubahan, akan tergilas habis oleh roda kehidupan.
Islam yang telah dimulai saat Adam A.S. diciptakan Allah tidak henti-hentinya dituntut untuk berubah. Bukan pada prinsip ajarannya, tapi bagaimana aktualisasi Islam bisa disesuaikan dengan keadaan hidup tanpa mencederai tata aturannya yang baku. Sebagai contoh, tentu kita tak pernah lupa, bagaimana nabi Adam AS harus mendapat hadiah untuk turun di bumi karena perubahan yang dilakukan iblis lewat rayuan. Hidup yang awalnya indah di surga Allah, harus terbuang karena kejadian buah khuldi tersebut. Meski Adam AS telah memohonkan ampun atas kesalahannya, namun kejadian itu sejatinya telah mengubah keadaan kita selaku umat manusia. Penyesalan Adam AS Allah abadikan di dalam Alquran surat Al A’raaf ayat 23 :
“Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.”
Sejalan dengan pendahulunya, Rasulullah SAW juga tak ubahnya seorang yang menawarkan perubahan. Hidup dengan orang-orang yang buruk secara adab sosial dan hampir semua dimensi kehidupan, tak lantas membuat seorang Muhammad pasrah, menyerah, menerima keadaan apa adanya. Beliau merasa ada yang salah dengan sistem kehidupan masyarakatnya.
Maka menyendirilah beliau untuk mencari jawaban atas keadaan ini. Berkhalwat. Kontemplasi jenis inilah yang dicontohkan manusia agung penutup para nabi. Tentu tidak dengan tanpa maksud apalagi berniat menghabiskan waktu dan melamun, namun dengan upaya pemikiran mendalam atas apa yang terjadi.
Usia 40 tahun menjadi pusat kematangannya. Allah SWT memutuskan Muhammad siap mengemban tugas mulia. Kalimat “iqra” yang menjadi legitimasi kerasulannya ditebarkan ke seluruh penjuru Mekkah. Rasul bergerilya melancarkan kebenaran. Perubahan itu telah dimulai. Selama 13 tahun Rasulullah SAW mendidik orang-orang Mekkah untuk berubah. Berubah menjadi hamba yang benar-benar hamba. Bukan menghambakan Allah di suatu saat, dan menghambakan selain-Nya di saat yang lain.
Momentum perubahan terbesar hadir di saat apa yang kita sebut sekarang dengan kata hijrah. Beralih dari kampung halaman tercinta, dengan segala kenyamanan hidup yang telah diraih, menuju tempat yang diperintahkan Allah SWT. Padang tandus yang siap menerima ikhlas kerasulan Muhammad : Yatsrib (madinah).
Perubahan itu tidak serta merta berhenti dengan hijrah jasadiah (perpindahan fisik) kaum muslimin, namun justru perubahan itu terjadi semakin besar dan bergelombang. Rasul menyampaikan Islam hingga membentuk bangunan persepsi bagaimana ajaran ini bisa memanusiakan manusia dan menempatkan nilai-nilai kebenaran untuk hidup yang harmoni. Islam tidak hanya dianggap sebagai tata cara ibadah baru bagi kaum arab, tapi juga memberikan nuansa futuristik dan kebesaran dengan paduan kecantikan akhlak. Maka perhatikanlah, sejarah mencatat, kaum muslimin yang hijrah dari Makkah ke Madinah hanya sekitar 125 orang. Namun, saat kaum muslimin kembali ke Makkah untuk mengaktualisasikan kerinduannya (baca: Fathu Makkah) jumlah mereka meledak hingga 10 ribu orang. Suatu jumlah yang fantastis di saat itu dan hanya dalam waktu delapan tahun.
Mengapa hal itu bisa terjadi ? Karena Rasul dan para shahabat berhasil menempatkan Islam sebagai hubungan individu secara vertikal (penghambaan kepada Allah) dan secara horisontal (sesama manusia). Islam tidak pernah memisahkan antara idealisme dan realisme. Islam juga tidak mengajarkan suatu hal yang tak kasat mata untuk mencapai keadaan tertentu. Tidak, sama sekali tidak.
Semangat yang dilahirkan dari suatu idealisme dalam Islam selalu harus dipertemukan secara harmonis dengan realisme di dunia nyata. Sehingga lahirlah kreasi tanpa batas untuk mencapai tujuan yang tetap diiringi suatu koridor kebenaran. Bukannya membuat halal semua cara untuk mencapai keinginan tertentu.
Islam mengajarkan kemuliaan manusia yang bercucuran keringat untuk mencari nafkah agar tidak menjadi beban hidup orang lain. Tapi tetap mengatur caranya. Salah satunya dengan melarang riba namun menghalalkan jual beli. Optimisme atas takdir Allah yang dituangkan dalam proses ikhtiar, dengan mengikuti aturan Allah SWT selayaknya membuat umat muslim menjadi eksekutif di kalangannya. Eksekutif di semua aspek hidup.
Hijrah, yang setiap tahun kita peringati, kiranya menjadi tadzkirah (pengingat) kita di dalam setiap aktivitas. Nilai-nilai hakikinya merupakan hal yang terpenting untuk membuat kita, kaum muslimin, mampu melihat hidup lebih luas, menyongsong tantangan hidup dengan lebih bergairah, secara sinergis membangun keyakinan positif sekaligus menggantungkan harapan hanya kepada Allah SWT. Dan setelah semua hal itu menjadi motif hidup kita, jangan kaget jika semua kemuliaan dan kebaikan akan berlari mendekati kita. Baik di dunia maupun di akhirat. Wallahua’lam.
0 komentar:
Posting Komentar