Minggu, 18 Desember 2011

Hakim dalam Islam


oleh : M. Fuad Nasar, M.Sc.



Jabatan yang paling berat tanggung jawab dan resikonya setelah kepala negara ialah hakim. Dalam terminologi fiqh klasik, hakim disebut juga qadhi. Qadhi atau hakim berfungsi sebagai penegak hukum dan keadilan dalam mengadili perkara-perkara yang diajukan ke pengadilan. Hakim dipandang sebagai amanah yang mulia. “Jika kamu menghukum, putuskanlah hukum di antara manusia dengan adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS Al Maidah : 42).
Rasul bersabda : “Qadhi (hakim) itu ada tiga golongan; dua golongan dalam neraka dan satu golongan dalam surga.” Nabi menyebut secara garis besarnya kesalahan yang dapat membawa seorang hakim ke dalam neraka dan sifat-sifat yang akan membawa keselamatan dan kebahagiaan di dalam surga.
Dua golongan hakim yang akan terjerumus masuk neraka ialah hakim yang telah mengetahui kebenaran dan keadilan, tetapi dia menyeleweng dan berbuat zalim dengan kewenangan memutuskan perkara yang ada di tangannya, serta hakim yang menjatuhkan vonis hukum tanpa ilmu, tetapi dia malu untuk mengakui ketidaktahuannya terhadap hakikat persoalan yang sedang diadilinya. Adapun hakim yang akan masuk surga ialah yang melaksanakan kebenaran dan keadilan melalui kewenangan mengadili dan memutuskan perkara yang diamanatkan kepadanya.
Menarik diperhatikan nasihat Nabi Muhammad ketika memberikan briefing kepada Ali bin Abi Thalib sebelum memangku jabatan hakim di Yaman. Sebagaimana dinukilkan oleh Imam al Mawardi dalam kitab Al-Ahkaam as Sulthaniyah, Nabi berpesan, “Apabila engkau menghadapi dua pihak yang berperkara, janganlah engkau menjatuhkan putusan bagi salah seorangnya sebelum engkau mendengarkan keterangan dari yang lainnya.”
Menurut pandangan Islam, kekeliruan hakim dalam memaafkan dan membebaskan terdakwa adalah lebih baik daripada kekeliruan dalam menjatuhkan hukuman. Hikmahnya adalah untuk memperkecil kemungkinan keterlanjuran hukuman terhadap orang yang tidak bersalah.
Dalam timbangan hukum Islam, lebih baik sepuluh orang lolos dari hukuman duniawi daripada satu orang yang tidak bersalah terhukum akibat kekeliruan hakim. Dalam menjalankan tugasnya, seorang hakim tidak boleh terpengaruh oleh perasaan dendam, benci, keberpihakan pada yang berperkara, ataupun kepentingan kekuasaan. Hakim harus jujur dan adil dalam kondisi apa pun dan siapa pun.
Pada zaman Ibnu Toulun di Mesir, gaji hakim ditetapkan 1000 dinar emas sebulan. Dan di zaman Daulah Fathimiyah di Mesir, gaji hakim ditetapkan 1200 dinar emas sebulan (setara dengan 3000 dolar AS sekarang). Dengan gaji sebesar itu dimaksudkan agar para hakim tidak mudah menerima suap atau gratifikasi.
Pada saat ini, gaji yang besar tidak menjamin seorang hakim kebal terhadap suap dan gratifikasi. Integritas hakim lebih banyak ditentukan oleh kekuatan mental spiritualnya dalam mencintai kebenaran dan kesetiaan jiwanya terhadap kesadaran hukum serta kebenaran dan keadilan yang harus ditegakkan walaupun langit akan runtuh. Oleh karena itu, tidak semua sarjana hukum layak untuk mengemban jabatan sebagai hakim. Wallahua’lam.

2 komentar:

  1. wiii ini tulisannya pak fuad.. beliau orang 'keren' loh,, cerdas, baik, dan rendah hati :) *komen gak nyambung, maaf

    BalasHapus
  2. iya, ini pernah dimuat di harian republika bu tika

    BalasHapus