Kamis, 09 Februari 2012

Risau

Hari itu, seseorang menjumpai Umar bin Abdul Aziz.
Khalifah dari Bani Umayyah yang sangat terkenal itu.
Didapatinya Umar sedang menangis.
Sendirian.

“Mengapa engkau menangis wahai Amirul Mukminin?” tanya orang itu dengan hati-hati. “Bukankah engkau telah menghidupkan banyak sunnah dan menegakkan keadilan?” tanya orang itu lagi dengan nada menghibur.

Umar masih terus menangis. Tidak ada tanda-tanda ia akan berhenti dari tangisnya. Beberapa saat kemudian, barulah ia menyahut seraya berkata, ”Bukankah aku kelak akan dihadapkan pada pengadilan Allah, kemudian aku ditanya tentang rakyatku. Demi Allah, kalau benar aku telah berbuat adil terhadap mereka, aku masih mengkhawatirkan diri ini. Khawatir kalau diri ini tidak dapat menjawab pertanyaan seandainya banyak hak rakyatku yang aku dzalimi”.

Air mata Umar terus mengalir dengan derasnya. Tidak lama berselang setelah hari itu, Umar menghadap Allah subhanahu wataala. Ia pergi untuk selama-lamanya.

....


Umar bin Abdul Aziz, yang menangis dan terus menangis itu, hanyalah satu contoh dari kisah ’orang-orang risau’. Ya, orang-orang yang selalu punya waktu untuk merasa risau, gundah, dan khawatir.

Bahkan sebagian mereka mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk risau. Risau terhadap dirinya, terhadap orang-orang di sekitarnya, atau terhadap beban dan tanggung jawab yang dipikulnya.

Paradigma orang yang menemui Umar, dalam kisah di atas, sangat berbeda dengan paradigma Umar, yang tetap saja menangis. Orang itu bertanya heran mengapa Umar masih menangis, karena dalam pandangan dirinya, Umar sudah sangat terkenal keshalihan dan kebajikannya. Umar telah banyak melakukan kebaikan, berlaku adil kepada rakyat. Dan bahkan mengantarkan mereka kepada kehidupan yang makmur dan damai.

Tetapi Umar tetap menangis. Tangis kerisauan dari seseorang yang mengerti betul bagaimana ia mesti ber-etika di hadapan Tuhannya. Tangis Umar adalah ekspresi kerisauan. Kerisauan seorang penguasa yang memikul tanggung jawab berat. Tanggung jawab memimpin ribuan rakyat. Ia juga tangis seorang yang telah menapaki tangga-tangga hikmah. Yang keluasan ilmu dan amalnya semakin membuatnya merunduk dan merendah.

Kerisauan seorang Umar, adalah bukti bahwa setinggi apapun derajat hidup orang, sesungguhnya Ia bisa risau. Meski kerisauan setiap orang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Bahkan justru di sinilah inti permasalahannya. Ialah bahwa sejarah selalu mencatat, orang-orang besar sepanjang jaman, adalah orang-orang yang punya waktu untuk risau, mengerti mengapa harus risau, dan apa yang mereka risaukan. Sebagian bahkan meniti awal kebesarannya dari awal kerisauannya.

Sebab rasa risau adalah titik api pertama, yang akan melontarkan sikap-sikap positif berikutnya, lalu membakarnya hingga menjadi matang. Sikap mawas, selalu mengevaluasi diri, tidak besar kepala, bertanggung jawab, tidak mengambil hak orang, dan lain-lainnya. Keseluruhan sikap-sikap itu, pemantiknya adalah risau.

Sejarah tidak pernah memberi tempat bagi orang-orang yang tidak pernah risau, selalu merasa aman, enjoy sepanjang hidup, tanpa beban sedikitpun, untuk dicatat dalam daftar orang-orang besar. Karena risau tidak saja simbol kesukaan akan tantangan, dinamika dan kompetisi, tapi risau juga kendali dan sumber inspirasi bagi segala sikap kehati-hatian.

Dalam pengertian inilah, kita memahami peringatan Allah, bahwa seorang Mukmin, dan bahkan setiap manusia, tidak boleh merasa aman dari adzab Allah. Orang-orang yang merasa aman, tidak pernah merasa risau, tidak punya waktu untuk risau, dan bahkan tidak mengerti mengapa harus risau, adalah orang-orang yang rugi.

Simaklah firman Allah yang artinya,
”Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari adzab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari adzab Allah kecuali orang-orang yang merugi. " (QS. Al-A’raf: 97 - 99).

Ayat tersebut sedemikian jelas memaparkan, bahwa merasa aman dari adzab Allah adalah tindakan yang salah. Kuncinya sangat sederhana. Karena manusia tidak pernah tahu apa yang akan terjadi esok hari. Bahkan ia juga tidak bisa memastikan, apa yang akan terjadi beberapa menit kemudian. Bisa jadi besok ia melakukan kesalahan, lalu sesudah itu ia mendapat adzab. Bisa juga ia tidak melakukan kesalahan. Tetapi juga mendapat imbas adzab dari kesalahan yang dilakukan orang lain.

Hidup ini seperti hutan belantara yang sangat lebat. Manusia dan keseluruhan makhluk saling berlomba di dalamnya. Berpacu, beradu, berlomba, atau juga saling bekerjasama. Lebatnya belantara hidup membuat hidup begitu liat, keras, dan kadang harus saling mengalahkan. Dalam seluruh denyut kehidupan itu manusia terikat oleh serabut-serabut panjang dan saling berhimpitan. Ujung serabut itu terikat dengan makhluk-makhluk itu. Sedang pangkalnya ada dalam genggaman tangan-tangan Allah. Serabut-serabut itu adalah kekuasaan Allah, yang dari sana lahir takdir-takdir bagi keseluruhan hidup manusia.

Maka, rasa risau, dalam tatanan Islam adalah awal dari rasa ketergantungan kepada sumber-sumber yang memberi rasa aman. Dan, sumber utama rasa aman itu adalah Allah. Yang Maha Kuat lagi Maha Melindungi. Karenanya, orang-orang seperti Umar sangat memahami betapa risau haginya adalah sebuah proses produktif seseorang dalam berinteraksi dengan Tuhannya. Ia risau dan karenanya ia menangis. Ia menangis dan karenanya ia berharap.

Kita, di sini, sekumpulan orang-orang yang tak akan sampai menyamai Umar bin Abdul Aziz, apalagi melampaui, semestinya menjadi orang-orang yang akhirnya mengerti darimana sebuah kebesaran dimulai. Bahkan, sebuah harapan, ternyata, mula-mula adalah segumpal risau.

Salah satu kebutuhan penting dalam hidup, adalah merisaukan diri. Ia semacam rumah-rumah kecil untuk persinggahan, bagi keseluruhan alur dan aliran semangat serta gelora hidup kita. Sebuah risau adalah tali penyeimbang antara menengok ke belakang dan berhati-hati menatap ke depan.

Maka seperti apakah risau kita hari ini?



ditulis pada : http://beranda.blogsome.com

Kamis, 02 Februari 2012

Iblis dan Ibnu Ummi Maktum


oleh : Syahruddin El-Fikri
Abdullah bin Ummi Maktum adalah salah seorang sahabat yang mulia. Dia menjadi salah satu sebab turunnya surah ‘Abasa. Suatu hari Abdullah bin Ummi Maktum mengikuti pengajian Rasulullah SAW. Dalam kesempatan itu, Rasul menyampaikan akan kewajiban setiap Muslim yang mendengar adzan untuk segera menunaikan shalat. Karena kondisi fisiknya, yakni matanya yang buta, ia memberanikan diri bertanya kepada Rasulullah SAW.
“Wahai Rasulullah SAW, apakah saya juga diwajibkan kendati saya tidak bisa melihat ?” tanya Ibnu Ummi Maktum. Rasul menjawab, “Apakah kamu mendengar seruan adzan?”. Ibnu Ummi Maktum menjawab, “Ya, saya mendengarnya.” Rasul pun memerintahkannya agar ia tetap pergi ke masjid meskipun sambil merangkak.
Maka, dengan penuh keimanan, setiap adzan berkumandang dan waktu shalat tiba, ia pun segera pergi ke masjid dan berjamaah dengan Rasulullah SAW. Suatu ketika di waktu shubuh, saat adzan dikumandangkan, Ibnu Ummi Maktum pun bergegas ke masjid. Di tengah jalan, kakinya tersandung batu hingga akhirnya mengeluarkan darah. Namun, tekadnya sudah bulat untuk tetap berjamaah ke masjid.
Waktu shubuh berikutnya, ia bertemu dengan seorang pemuda. Pemuda terseut bermaksud menolongnya dan menuntunnya ke masjid. Selama berhari-hari, sang pemuda ini, selalu mengantarnya ke masjid. Ibnu Ummi Maktum pun kemudian ingin membalas kebaikannya. “Wahai saudaraku, siapakah gerangan namamu. Izinkan aku mengetahuimu agar aku bisa mendoakanmu kepada Allah.” Ujarnya.
“Apa untungnya bagi Anda mengetahui namaku dan aku tak mau engkau doakan.” Jawab sang pemuda. “Jika demikian, cukuplah sampai disini saja engkau membantuku. Aku tak mau engkau menolongku lagi sebab engkau tak mau didoakan.” Tutur Ibnu Ummi Maktum kepada pemuda itu.
Maka, akhirnya sang pemuda ini pun akhirnya mengenalkan diri. “Wahai Ibnu Ummi Maktum, ketahuilah sesungguhnya aku adalah iblis.” ujarnya. “Lalu mengapa engkau menolongku dan selalu mengantarkanku ke masjid. Bukankah engkau semestinya mencegahku untuk ke masjid ?” tanya Ibnu Ummi Maktum lagi.
Sang pemuda yang bernama iblis itu kemudian membuka rahasia atas pertolongannya selama ini. “Wahai Ibnu Ummi Maktum, masih ingatkah engkau beberapa hari yang lalu tatkala engkau hendak ke masjid dan engkau terjatuh ? Aku tidak ingin hal itu terulang lagi. Sebab, karena engkau terjatuh, Allah telah mengampuni dosamu yang separuh. Aku takut kalau engkau jatuh lagi Allah akan menghapuskan dosamu yang separuhnya lagi sehingga terhapuslah dosamu seluruhnya. Maka sia-sialah kami menggodamu selama ini. “ jawab iblis tersebut.
Kisah di atas menggambarkan terhadap kita bahwa sesungguhnya iblis tak akan pernah berhenti untuk menggoda dan menyesatkan manusia. Dalam hal yang baik pun, iblis selalu berusaha untuk membelokkan orang yang beriman ke arah yang dimurkai Allah. Ketahuilah, sesungguhnya iblis itu adalah musuh yang nyata bagi kita. (QS Fatir[35] : 6). Semoga Allah senantiasa membimbing dan meridai setiap ibadah kita. Amin. Wallahu a’lam.

Rabu, 25 Januari 2012

Hujan Bermaksud


“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imron : 190-191)

Maha Suci Allah SWT atas semua kehendak-Nya. Keteraturan yang Dia ciptakan untuk kebaikan dan kebahagiaan makhluk-Nya sungguh tanpa cacat. Atmosfer yang berlapis, matahari yang bersinar dengan kesetiaannya, udara yang berhembus dengan semilirnya, rembulan yang tetap hadir di kegelapan malam, dan semua keajaiban regulasi dunia. Sungguh indah.
Lewat ayat pengantar yang dituliskan di atas, maka ada suatu pernyataan yang menjadi landasan logika hikmah kita di dalam mengidentifikasi semua keadaan ataupun kejadian. Bahwa apa yang Allah SWT ciptakan pasti jauh dari kesia-siaan. Ada manfaat, hikmah, tujuan, dan maksud Allah SWT di dalam setiap penciptaan. Tidak ada satupun yang hadir di dunia ini kemudian bernilai sia-sia. Termasuk air - yang di dalam bahasa kehidupan alam disimbolkan dengan hujan.
Air menjadi alat yang sangat vital di dalam kehidupan kita. Baik langsung maupun tidak. Namun, pada saat tertentu “nasib”-nya tidak terlalu baik. Misalnya, dalam musim penghujan. Air yang turun sebagai berkah kenikmatan dari Allah SWT justru disambut dengan cacian, hinaan, dan sesekali menjadi objek kekesalan.Banyak orang justru menggurutu, kesal, marah, sampai mengumpat jika hujan sampai mengganggu aktivitasnya. Sebagai akibatnya, banyak orang sering memiliki harapan agar hujan berhenti sesuai keinginannya.
Padahal hujan tidak turun dengan iseng. Tidak hadir tanpa maksud. Tidak datang karena siklus alam saja. Tidak turun karena keberatan awan mendung untuk menampung uap air lautan. Setidaknya Al Quran mencatat beberapa maksud Allah SWT di dalam proses terjadinya hujan. Simaklah firman-Nya pada  surat Al Anfal di ayat ke 11 berikut ini

(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penentraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaithon dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki (mu).


Maka, dari ayat tersebut setidaknya ada empat hal yang bisa menjadi hikmah turunnya hujan bagi orang-orang beriman.
Pertama, hujan hadir untuk mensucikan manusia. Sebagaimana kita sering menggunakan media air di dalam ritual thaharah, Allah SWT menurunkan hujan secara umum untuk membersihkan jasad dan jiwa manusia. Memberikan kesuburan bagi tetumbuhan, sumber air bagi sumur-sumur manusia, meringankan suhu bumi yang semakin tinggi, dan manfaat lain yang masih banyak untuk diambil hikmahnya.
Kedua, Allah SWT menghadirkan hujan untuk menghilangkan gangguan-gangguan syaithon di dalam kehidupan manusia. Sifat-sifat syaithoni yang berasal dari iblis. Dan iblis berasal dari unsur api. Dipadamkan dengan sejuknya air hujan. Dirindangkan dengan deburan air yang hadir membasahi tanah planet manusia. Sehingga hadir kembali nuansa keindahan di dalam alam kehidupan manusia. Ketiga, hujan Allah cetak untuk memberi kekuatan terhadap hati orang-orang beriman. Allah SWT ingin menegaskan (kepada orang-orang beriman) bahwa Dialah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu yang terjadi dan hadir di dunia ini. Segala kenikmatan, rizqi, kebaikan, bahkan kemenangan hanya bisa hadir ketika Allah SWT merestuinya untuk hadir. Bukan karena usaha manusia untuk merekayasanya.
Dan yang terakhir, lewat hadirnya hujan, Allah SWT ingin meneguhkan hati para mu’minin. Setelah meyakini bahwa jalan Allah adalah jalan yang benar, orang-orang beriman diberikan suatu keyakinan dan keteguhan untuk terus melangkah di dalam jalur keimanan dan rasa berserah diri secara integral terhadap Allah SWT dan segala keputusan-Nya. Hingga keteguhan itu mampu (dengan izin Allah SWT) untuk melahirkan ketaqwaan dan suatu sikap yang dikenal sebagai furqaan. Yaitu kemampuan membedakan antara kebenaran Ilahiah dengan keburukan yang bersumber dari bisikan syaithon meski bertabur dengan gemerlap dunia. Wallahua’lam.



Minggu, 15 Januari 2012

Belajar mencintai




“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah ; 128)

Islam hadir, memang sebagai suatu manajemen kehidupan dan sistem kontrol yang praktis, mudah, dan memanusiakan manusia. Bukan sebaliknya, membuat diri serba sulit dengan ritual-ritual kosong tanpa pemaknaan. Apalagi menindas diri manusia, baik dalam tingkat populasi kecil ataupun besar. Islam benar-benar ingin hadir untuk menyelamatkan kehidupan manusia dari kekotoran, kehinaan, kenistaan, kesulitan, dan kesedihan.

“Kami tidak menurunkan Al Qur'an ini kepadamu agar kamu menjadi susah” (QS Thaha : 2)

Sehingga Allah SWT menyiapkan semua perangkat dalam risalah ini agar bisa dengan mudah dipahami, diakses, baik dengan hati

Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran? (QS Al Qamar : 32)

maupun dengan akal

Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. (QS Ali Imron : 19)

Di dalam realitasnya, Islam - dengan segala kebaikan yang terkandung di dalamnya, perlu untuk diterjemahkan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Harus ada parameter yang jelas bagi setiap diri kita untuk menjalankan agama ini secara benar. Sampai tidak ada kebingungan ataupun keraguan akibat dangkalnya pemahaman umat Islam tentang ajarannnya sendiri.
Nilai parameter itulah yang menarik untuk kita renungkan. Keberislaman seperti apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh Allah SWT. Keberagamaan yang bagaimana yang bisa dikategorikan baik, secara syariat maupun secara umum. Apakah keberislaman kaum sufi, keberislaman saudara-saudara kita di pesantren, keberislaman yang saat ini hadir di dalam kehidupan kaum selebritis, keberislaman orang-orang yang dianggap shaleh, islamnya orang yang biasa kita sebut “pak haji”, “ustadz” atau “kyai”, keislaman orang yang berdasi, atau keberislamannya orang-orang yang menganggap dunia adalah musuh utama kehidupan ?
Pembaca yang budiman, ternyata bukan keberislaman seperti yang disebutkan di atas yang Allah ingin terapkan kepada kita. Allah SWT dengan segala kemurahan-Nya menginginkan kita benar-benar selamat dalam berislam. Oleh karenanya Allah juga ingin kita semua mudah dalam mengakses risalah ini. Segala kemudahan yang Allah berikan terangkum dalam sebuah langkah sederhana, yaitu diciptakannya Rasulullah SAW. Sehingga, keberislaman Rasulullah SAW (dan para sahabatnya yang mulia) adalah standar kehidupan yang menjadi acuan kaum muslimin.
Muhammad bin Abdullah yang hadir di jazirah arab menjadi penutup para nabi dan penyempurna risalah Islam. Tidak hanya dalam konteks lokal (untuk orang arab saja), namun Muhammad SAW sengaja diciptakan Allah untuk menjadi referensi kehidupan seluruh umat manusia, baik secara syariat (orang-orang Islam) maupun kebaikan-kebaikan dan keteladanan dalam bentuk universal.
Bagi umat Islam, Rasulullah SAW merupakan mediator penjelas akan setiap syariat dan cara hidup kaum muslimin. Jika rasul tidak diturunkan, sangat mungkin terjadi banyak interpretasi atau penafsiran atas maksud Allah di dalam firman-firman-Nya. Akibatnya, hadirlah kebingungan, kekacauan, relativitas dalam pemaknaan maksud Allah untuk setiap hamba. Konsekuensi lanjutannya, Islam bisa dimaknai sebagai ajaran pengekang, pembuat kesengsaraan (karena begitu banyaknya ibadah yang hadir), atau metodologi mistik yang dimaknai oleh orang-orang modern.

Bagaimana kita seharusnya kepada Rasullullah

Rasul sebagai juru bicara Allah SWT bagi setiap umat manusia. Dialah satu-satunya manusia yang benar-benar boleh ditiru secara mutlak. Mulai dari kehidupan pribadinya di dalam rumah tangga, caranya bermuamalah dalam kehidupan, menjadi teman yang baik bagi sahabat-sahabatnya, pemimpin agama yang hanif (lurus), dan kepala negara yang adil bijaksana.
Meniru Rasulullah SAW, merupakan kegiatan yang cukup mudah dan sederhana. Kebiasaan dan kecenderungan manusia untuk menirukan perilaku orang-orang di lingkungan merupakan hal fitrah yang tidak bisa dipungkiri oleh siapapun. Bahkan, sering kita mendengar nasihat para orang tua kepada anaknya untuk berhati-hati memilih teman. Atau bagaimana remaja-remaja kita mudah sekali meniru trend yang hadir lewat internet maupun televisi. Hal ini, tidak lain dan tidak bukan, karena kita selaku manusia memiliki kecenderungan mudah terpengaruh dan meniru orang lain.

Dengan kecenderungan mudah meniru tadi, timbullah satu pertanyaan turunan, bagaimana mungkin kita meniru Rasulullah SAW, sedangkan Rasullullah sudah wafat lima belas abad yang lalu. Pembaca yang baik, Allah sudah memperhitungkan itu dengan sangat baik. Kemurahan-Nya lagi-lagi selayaknya membuat kita tertunduk malu karena kurangnya bersyukur. Karena, Allah memerintahkan kepada kita untuk mengikuti apa yang Rasulullah SAW perintahkan dan menghindari apa yang Rasulullah SAW larang. Simaklah firman Allah di dalam surat Al A’raaf ayat ke 158 berikut ini :

Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang umi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk".

Pembaca yang dirahmati Allah, dengan perintah Allah di atas maka mengikuti bagaimana cara hidup Rasulullah merupakan kebaikan dan bernilai ibadah di hadapan Allah. Sehingga yang menjadi perhatian kita sekarang, bukan penting atau tidaknya kita mengikuti kehidupan Rasulullah SAW, tapi lebih kepada pertanyaan, bagaimana kita mengikuti cara hidup Rasulullah SAW.

Menghadirkan Rasulullah SAW di dalam kehidupan

Kita bisa mengikutikehidupan Rasulullah dengan menghadirkan beliau dalam kehidupan kita. Tentu saja, maksudnya bukan secara fisik, namun nilai dan keteladanan beliau yang menjadi nafas gerakan hidup kita. Beberapa cara praktis untuk meniru kehidupan Rasulullah SAW bisa kita lakukan dengan langkah-langkah berikut :

a.      Mempelajari secara utuh tentang kehidupannya

Jarak yang jauh (baik tempat maupun waktu) antara kita dengan Rasulullah SAW memang menjadi hal yang cukup diperhitungkan dan bisa menimbulkan banyak kesulitan. Namun, seiring berkembangnya dunia teknologi (dan tentu saja berkat karunia Allah SWT) kita bisa mencari informasi tentang kehidupan Rasulullah SAW secara lengkap dan integral. Kegiatan ini bisa dimulai dengan mengikuti kajian-kajian tentang kepribadian Rasulullah SAW, buku-buku, artikel, hadits-hadits yang memaparkan kehidupannya.
Kebanyakan kaum muslimin tidak lengkap mempelajari kehidupan rasulullah SAW. Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan yang aneh. Dianggap ‘alim (mengerti agama) tapi sering mencela saudara-saudara muslim lainnya yang mungkin berbeda dalam hal furu’ (cabang, bukan pokok keislaman), meniru sikap zuhud Rasulullah SAW tapi menjadi malas bekerja, dan penyimpangan-penyimpangan lainnya.

b.      Pastikan sumber informasi yang anda dapat tentang kehidupan Rasulullah SAW benar-benar shahih dan bisa dipertanggungjawabkan.

Saat ini, dengan segala kepentingan manusia, banyak sekali sumber-sumber yang menceritakan tentang Rasulullah SAW, namun ternyata di dalamnya terdapat kebohongan. Seperti tuduhan-tuduhan keji dan tidak berdasar atas beberapa perilaku Rasulullah SAW. Diantaranya Rasul SAW seorang tukang kawin (karena beristri banyak), pengidap pedofilia (hasrat seksual terhadap anak-anak di bawah umur), tukang perang, dan sebagainya. Karenanya, pastikan sumber yang anda dapatkan dalam mengenal Rasulullah SAW benar-benar terjamin ketepatan dan nilai keakuratannya.

c.       Mengambil hikmah keteladanan Rasulullah SAW

Setelah mempelajari kehidupan Rasulullah SAW secara utuh dan dari sumber yang benar, maka mari mulai mengambil hikmah atas semua keteladanan yang beliau contohkan dalam setiap dimensi kehidupan. Di dalam proses ini, mungkin anda tidak bisa sendiri. Tak mengapa. Cobalah lebih giat dan semangat dalam menghadiri kajian dan majelis ilmu yang menjelaskan tentang pribadi Rasulullah SAW. Anda juga bisa secara intensif dan pribadi berdiskusi dengan para ustadz/ustadzah tentang apa yang anda temui dalam upaya mengambil hikmah keteladanan Rasulullah SAW.

d.      Menirukan cara hidup Rasulullah SAW secara bertahap

Di dalam kaidah agama kita, dikenal suatu prinsip bernama tadarruj (kebertahapan). Dalam upaya kita untuk berislam, sikap tergesa-gesa di dalam pengubahan suatu standar kehidupan harus dibuang jauh-jauh. Karena agama merupakan suatu proses yang mungkin bisa berbeda untuk setiap orang. Maka semuanya harus dilakukan bertahap. Sedikit demi sedikit namun tetap rutin dilakukan. Seperti sabda Rasulullah SAW berikut ini :

“Beramallah semaksimal mungkin yang kamu mampu, karena Allah tidak akan bosan sebelum kamu bosan, dan sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah adalah amal yang rutin dilakukan walaupun sedikit” (HR. Bukhari)

Begitu pula di dalam menirukan prinsip nilai yang dicontohkan Rasulullah SAW di dalam kehidupan kita. Membutuhkan kebertahapan dan keberlanjutan. Sehingga kita mampu terus konsisten (istiqomah) dalam menerapkan kebaikan di dalam hidup kita sampai akhir hayat.

e.       Terus mempelajari kehidupan Rasulullah SAW

. Sampai kapanpun keteladanan beliau merupakan topik menarik untuk digali dan dibicarakan. Mempelajari seluruh kehidupan Rasulullah SAW secara terus menerus merupakan cara yang efektif untuk membuat kita senantiasa rendah hati dan memuliakan Rasulullah SAW. Di samping itu akan menularkan kemuliaan bagi yang mempelajari dan menerapkan contoh dan teladan dari beliau. Wallahua’lam.


“...sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, maka berimanlah kamu, itulah yang lebih baik bagimu. Dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikit pun) karena sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu adalah kepunyaan Allah.” (An Nisa : 170)




Kamis, 12 Januari 2012

Pertumbuhan Berkesinambungan

Oleh Anis Matta
Ketika Nabi Muhammad SAW memulai dakwahnya, ia hanya seorang diri. Beberapa tahun kemudian, tepatnya 23 tahun saat beliau melaksanakan hajjatul wada', kaum Muslim telah berjumlah sekitar 100 sampai 125 ribu orang dalam berbagai riwayat. Dengan jumlah penduduk dunia ketika itu sekitar 100 juta orang, maka rasio kaum Muslim terhadap penduduk dunia adalah 1 per 1000 orang.

Sekarang, sekitar 1500 tahun kemudian, jumlah kaum Muslim telah bertumbuh tanpa henti dan menjadi 1,5 milyar hingga 1,9 milyar. Bayangkanlah bagaimana rasio itu bertumbuh dari 1 per 1000 menjadi 1 per lima dalam kurun waktu 1500 tahun.

Islam sebagai agama bekerja dalam skala waktu sejarah, bukan dalam skala waktu individu atau umat. Ia terus akan bertumbuh hingga tak satu pun jengkal bumi yang tidak dijangkaunya dan tak satu pun manusia yang tidak mendengar nama Allah disebutkan. Pertumbuhan berkesinambungan adalah ciri utamanya.

Kesadaran akan waktu bukan saja menumbuhkan kemampuan berpikir sekuensial dan kesadaran akan efek akumulasi, tapi juga pada makna pertumbuhan sebagai cara mengukur kekuatan dan prospek dari sebuah ide atau kerja. Kekuatan substansial dari sebuah ide atau kerja selalu dapat diukur dari kemampuannya untuk bertumbuh secara berkesinambungan.

Berapa banyak ideologi dan gerakan dalam sejarah manusia yang lahir, tumbuh dan mekar lalu mati dalam kurun waktu yang singkat. Misalnya komunisme. Semula gegap gempita tentang komunisme sejak awal ia lahir sebagai sebuah ideologi hingga berkembang pesat dengan dukungan sebuah imperium besar tak sanggup membuatnya berumur lebih dari satu abad.

Umur ideologi dan gerakan, apapun bentuknya, selalu ditentukan oleh kekuatan substansialnya untuk bertumbuh secara berkesinambungan. Sebab ini menentukan dalam skala waktu apa ideologi dan gerakan itu bekerja. Ideologi dan gerakan yang tidak punya potensi pertumbuhan berkesinambungan biasanya hanya akan bekerja dalam skala waktu individu, atau paling jauh, dalam skala waktu komunitas.

Pertumbuhan berkesinambungan adalah alat ukur sejarah. Sebab hanya ideologi dan gerakan yang bekerja dalam skala waktu sejarah yang akan bisa bertumbuh secara berkesinambungan. Itu sebabnya mengapa Qur'an memberi ruang yang begitu luas untuk membicarakan sejarah; biar semua kita sadar bahwa hanya ketika kita bekerja dalam skala waktu sejarah kita punya peluang untuk bertumbuh tanpa henti.

Apa Makna Jama’ah?


Oleh: Cahyadi Takariawan

Aku ingin menggambarkan makna jama’ah dengan sangat sederhana. Bukan dengan dalil-dalil, karena itu sudah sangat banyak dijelaskan para ulama dan para ustadz. Namun dengan hal-hal praktis yang kita lakukan dalam kehidupan keseharian. Hal-hal mudah yang bisa kita aplikasikan dalam kegiatan.

Dalam Skala Personal

Engkau adalah seorang kader dakwah, seorang aktivis. Dalam dirimu teramat banyak potensi yang Allah berikan, alhamdulillah. Dengan berbagai potensi itu engkau bisa melakukan banyak hal, teramat sangat banyak hal. Engkau bisa mengundang banyak orang untuk datang menghadiri kegiatanmu, engkau bisa mengumpulkan banyak khalayak untuk memenuhi undanganmu. Engkau bisa menggelar ribuan acara dengan nama dan potensimu. Engkau bisa mengatakan, “Sendiri saja, aku bisa melakukan semua ini”.

Memang bisa, dan sangat mudah bagimu.

Namun itu bukan jama’ah. Yang disebut jama’ah adalah ketika engkau tidak bekerja sendirian, kendati engkau sendiri mampu melakukan itu. Yang disebut jama’ah adalah ketika engkau tidak menjalankan semua agenda dakwah sendirian, kendati engkau sendiri yakin bisa melakukan itu; oleh karenanya engkau memerlukan kebersamaan untuk mengemban amanah dakwah.

Yang disebut jama’ah adalah ketika engkau menjadi satu bagian yang utuh dari sebuah kebersamaan, kendati engkau merasa lebih leluasa bekerja sendirian. Yang disebut jama’ah adalah ketika ada visi jama’i, ada manhaj, ada khuthuwat, ada baramij, yang kesemuanya merupakan produk kolektif, bukan produk individu, kendati engkau bisa membuat itu semua sendirian.

Pada Struktur Ranting

Pada struktur lembaga dakwah di tingkat ranting, aku sangat yakin bahwa para aktivis yang berada dalamnya memiliki potensi yang luar biasa hebat. Mereka bisa melakukan sangat banyak aktivitas dakwah di tingkat ranting. Mereka melakukan koordinasi, konsolidasi juga ekspansi. Mereka menggelar program dan kegiatan setiap hari. Mereka melakukan berbagai inovasi dakwah tiada henti.

Mereka menyelenggarakan berbagai kegiatan besar dan mampu menghimpun sangat banyak kalangan. Pada titik ini, struktur dakwah tingkat ranting bisa mengatakan, “Kami bisa berjalan sendiri, tanpa perlu struktur dakwah di tingkat cabang. Toh nyatanya selama ini kami memang telah berjalan sendiri tanpa didampingi struktur cabang”.

Memang bisa, dan sangat mudah bagimu.

Namun itu bukan jama’ah. Yang disebut jama’ah adalah ketika struktur ranting selalu berkoordinasi dengan cabang, kendati mereka merasa mampu melakukan semua kegiatan itu secara mandiri. Yang disebut jama’ah adalah ketika struktur ranting tidak menjalankan semua agenda dakwah sendirian, dan merasa tidak memerlukan struktur cabang, kendati memang mampu menjalankan semuanya sendirian.

Yang disebut jama’ah adalah ketika struktur ranting menjadi bagian yang utuh dari struktur cabang, kendati mereka merasa lebih leluasa bekerja mandiri, tanpa intervensi apapun dari cabang. Yang disebut jama’ah adalah ketika ada arahan, supervisi, koordinasi, dan konsolidasi struktur cabang dengan struktur ranting. Ketika ada kebersamaan yang harmonis antara struktur cabang dengan ranting. Karena sesungguhnya tidak artinya cabang ketika tidak ada ranting, dan begitu pula sebaliknya. Inilah yang disebut jama’ah.

Pada Struktur Cabang

Pada struktur lembaga dakwah di tingkat cabang, aku sangat yakin bahwa para aktivis yang berada dalamnya memiliki potensi yang luar biasa hebat. Mereka bisa melakukan sangat banyak aktivitas dakwah di tingkat cabang. Mereka melakukan koordinasi, konsolidasi juga ekspansi. Mereka menggelar program dan kegiatan setiap hari. Mereka melakukan berbagai inovasi dakwah tiada henti.

Mereka menyelenggarakan berbagai kegiatan besar dan mampu menghimpun sangat banyak kalangan. Pada titik ini, struktur dakwah tingkat cabang bisa mengatakan, “Kami bisa berjalan sendiri, tanpa perlu struktur dakwah di tingkat daerah. Toh nyatanya selama ini kami memang telah berjalan sendiri tanpa didampingi struktur daerah”.

Memang bisa, dan sangat mudah bagimu.

Namun itu bukan jama’ah. Yang disebut jama’ah adalah ketika struktur cabang selalu berkoordinasi dengan pengurus daerah, kendati mereka merasa mampu melakukan semua kegiatan itu secara mandiri. Yang disebut jama’ah adalah ketika struktur cabang tidak menjalankan semua agenda dakwah sendirian, dan merasa tidak memerlukan struktur daerah, kendati memang mampu menjalankan semuanya sendirian.

Yang disebut jama’ah adalah ketika struktur cabang menjadi bagian yang utuh dari struktur daerah, kendati mereka merasa lebih leluasa bekerja mandiri, tanpa intervensi apapun dari pengurus daerah. Yang disebut jama’ah adalah ketika ada arahan, supervisi, koordinasi, dan konsolidasi struktur daerah dengan struktur cabang. Ketika ada kebersamaan yang harmonis antara struktur daerah dengan cabang. Karena sesungguhnya tidak artinya daerah ketika tidak ada cabang, dan begitu pula sebaliknya. Inilah yang disebut jama’ah.

Pada Struktur Daerah

Aku juga sangat yakin, pada struktur lembaga dakwah di tingkat daerah, para aktivis yang berada dalamnya memiliki potensi yang luar biasa hebat. Mereka bisa melakukan sangat banyak aktivitas dakwah di tingkat daerah. Mereka melakukan koordinasi, konsolidasi juga ekspansi. Mereka menggelar program dan kegiatan setiap hari. Mereka melakukan berbagai inovasi dakwah tiada henti.

Mereka menyelenggarakan berbagai kegiatan besar dan mampu menghimpun sangat banyak kalangan. Pada titik ini, struktur dakwah tingkat daerah bisa mengatakan, “Kami bisa berjalan sendiri, tanpa perlu struktur dakwah di tingkat wilayah. Toh nyatanya selama ini kami memang telah berjalan sendiri tanpa didampingi struktur wilayah”.

Memang bisa, dan sangat mudah bagimu.

Namun itu bukan jama’ah. Yang disebut jama’ah adalah ketika struktur daerah selalu berkoordinasi dengan pengurus wilayah, kendati mereka merasa mampu melakukan semua kegiatan itu secara mandiri. Yang disebut jama’ah adalah ketika struktur daerah tidak menjalankan semua agenda dakwah sendirian, dan merasa tidak memerlukan struktur wilayah, kendati memang mampu menjalankan semuanya sendirian.

Yang disebut jama’ah adalah ketika struktur daerah menjadi bagian yang utuh dari struktur wilayah, kendati mereka merasa lebih leluasa bekerja mandiri, tanpa intervensi apapun dari pengurus wilayah. Yang disebut jama’ah adalah ketika ada arahan, supervisi, koordinasi, dan konsolidasi struktur wilayah dengan struktur daerah. Ketika ada kebersamaan yang harmonis antara struktur wilayah dengan daerah. Karena sesungguhnya tidak artinya wilayah ketika tidak ada daerah, dan begitu pula sebaliknya. Inilah yang disebut jama’ah.

Pada Struktur Wilayah

Aku sangat yakin, pada struktur lembaga dakwah di tingkat wilayah, para aktivis yang berada dalamnya memiliki potensi yang luar biasa hebat. Mereka bisa melakukan sangat banyak aktivitas dakwah di tingkat wilayah. Mereka melakukan koordinasi, konsolidasi juga ekspansi. Mereka menggelar program dan kegiatan setiap hari. Mereka melakukan berbagai inovasi dakwah tiada henti.

Mereka menyelenggarakan berbagai kegiatan besar dan mampu menghimpun sangat banyak kalangan. Pada titik ini, struktur dakwah tingkat wilayah bisa mengatakan, “Kami bisa berjalan sendiri, tanpa perlu struktur dakwah di tingkat pusat. Toh nyatanya selama ini kami memang telah berjalan sendiri tanpa didampingi struktur pusat”.

Memang bisa, dan sangat mudah bagimu.

Namun itu bukan jama’ah. Yang disebut jama’ah adalah ketika struktur wilayah selalu berkoordinasi dengan pengurus pusat, kendati mereka merasa mampu melakukan semua kegiatan itu secara mandiri. Yang disebut jama’ah adalah ketika struktur wilayah tidak menjalankan semua agenda dakwah sendirian, dan merasa tidak memerlukan struktur pusat, kendati memang mampu menjalankan semuanya sendirian.

Yang disebut jama’ah adalah ketika struktur wilayah menjadi bagian yang utuh dari struktur pusat, kendati mereka merasa lebih leluasa bekerja mandiri, tanpa intervensi apapun dari pengurus pusat. Yang disebut jama’ah adalah ketika ada arahan, supervisi, koordinasi, dan konsolidasi struktur pusat dengan struktur wilayah. Ketika ada kebersamaan yang harmonis antara struktur pusat dengan wilayah. Karena sesungguhnya tidak artinya pusat ketika tidak ada wilayah, dan begitu pula sebaliknya. Inilah yang disebut jama’ah.

Inilah Jama’ah

Ya, inilah bangunan jama’ah itu. Ketika semua bagian saling terkait, saling menyatu, saling menjadi bagian utuh dengan bagian lainnya. Setiap bagian sama pentingnya, seperti kita memahami bagian manakah yang penting dari mobil. Roda sama pentingnya dengan kemudi, rem sama pentingnya dengan gas, oli sama pentingnya dengan bahan bakar. Semua bagian menjadi pembentuk bangunan utuh dari jama’ah. Jika berkurang satu bagian, akan berdampak secara sistemik bagi kegiatan dan kehidupan jama’ah.

“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam berkasih sayang bagaikan satu tubuh, apabila satu anggota badan merintih kesakitan maka sekujur badan akan merasakan panas dan demam” (HR. Muslim).

Semua dari kita memiliki potensi dan kemampuan yang hebat, alhamdulillah. Namun sehebat apapun potensi itu, menjadi kurang bermakna ketika tidak diwadahi jama’ah. Engkau mungkin kurang sabar dalam mengikuti ritme hidup berjama’ah, karena ada aturan, ada panduan, ada pedoman, ada keputusan yang harus dilakukan. Engkau mungkin merasa bosan dengan berbagai agenda hidup berjama’ah yang tampak lamban, padahal engkau bisa melakukan berbagai hal lebih cepat.

Memang bisa, dan sangat mudah bagimu.

Namun itu bukan jama’ah. Karena jama’ah artinya keterpaduan, kesatuan, keharmonisan, kebersamaan, kesediaan, kerelaan, empati, dan keteraturan. Karena jama’ah artinya perencanaan. koordinasi, konsolidasi, pengaturan, manajemen, komando, pengawasan serta evaluasi. Karena jama’ah artinya penyatuan hati, perasaan, pikiran, dan kegiatan. Karena jama’ah artinya kasih sayang, kelembutan, ketegasan, kedisiplinan dan keserasian.

Karena jama’ah artinya cinta.

Kamis, 05 Januari 2012

Siapa Tuhan Sebenarnya ?






 Ketergantungan kita terhadap ideologi supranatural sepertinya sudah boleh dikatakan sebagai suatu fitrah. Betapa tidak, dunia dengan gempuran inovasi teknologi di satu sisi ternyata tetap tidak mempengaruhi laju pertumbuhan filsafat dan metafisika di dunia hingga hari ini. Konsekuensinya, lahirlah banyak varian di dalam dunia pemikiran. Beberapa menjadi “agama” baru bagi masyarakat, beberapa yang lain hilang begitu saja karena tidak mampu menjawab tantangan.
 Termasuk ide tentang siapa Tuhan bagi seorang individu atau bagi sekelompok manusia. Sepertinya hal ini bisa dikategorikan menjadi abstrak. Bagaimana tidak, sifat-sifat yang harusnya manusia berikan dalam upaya apresiasi atas keluarbiasaan dan eksistensi Tuhan justru diberikan pada hal yang tidak menunjukkan kedua hal itu. Penghambaan, ketaatan, loyalitas, bahkan totalitas kehidupan seorang manusia bisa begitu mudah disodorkan pada suatu nilai, partai, ideologi, paham, atau tuhan-tuhan semu lainnya.
Cukup penting untuk kita mengevaluasi di dalam wilayah jiwa dan ideologi kita tentang siapa Tuhan kita yang sebenarnya. Karenanya juga sangat penting untuk mengetahui cara mengenal Tuhan. Ada pepatah arab yang menyatakan bahwa “Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya.” Dengan kata lain untuk mengetahui Tuhan kita yang sebenarnya, cukuplah kita bertanya pada diri sendiri.
Sekurang-kurangnya ada tiga poin yang bisa kita jadikan parameter atas kebertuhanan kita. Pertama, jika dengannya (atau dengan-Nya) kita bisa meraih ketenangan dalam hidup. Hal ini bisa kita sepakati karena sesuatu yang kita anggap Tuhan memiliki indikator bahwa dialah penjamin kehidupan yang sesungguhnya. Karenanya kita merasa tenang. Tidak khawatir, resah, gundah, apalagi gelisah dalam menghadapi kehidupan di sepetak planet mengapung ini.
Kedua, jika Tuhan kita jadikan tempat untuk berlindung dari segala hal. Kekuasaannya yang meliputi semua kehidupan membuat kita merasa aman dari segala hal yang kita anggap membahayakan. Kemahacerdasannya seakan membuat jaminan terhadap hati kita bahwa kita akan selalu baik-baik saja. Kita akan tetap aman jika kita berlindung padanya. Sebaliknya, kita tidak pernah aman ketika kita tidak berlindung padanya.

Fakta yang menjadi sintesi selalu melahirkan romantika sebagai bumbu pelengkapnya. Karena itu, variabel ketiga, kita semua menganggap sesuatu itu Tuhan jika kita termasuk orang-orang yang mencintainya. Hanya saja, secara empiris, definisi mencintai akan berbeda untuk setiap orang. Sehingga mungkin yang lebih mudah untuk dijadikan parameter adalah bagaimana dominasi rasa cinta yang lebih kita kenal dengan istilah rindu. Ada suatu ikatan hati yang bisa dianggap atau dikatakan abstrak tentang kerinduan. Namun, ciri umum tentang rindu tentu saja bersifat global disepakati oleh manusia. Bahwa, ia adalah rasa kehangatan dan kegembiraan jika mendapati komunikasi dengan sesuatu yang dirindukan.
Setidaknya, dari beberapa variabel di atas, tentu sekarang kita bisa mengevaluasi dan menanyakan dengan sangat jujur, tentang siapa yang kita anggap sebagai Tuhan selama ini. Tentu dia bisa alat yang melambangkan ide kebendaan, atau mungkin suatu alam pemikiran yang kita anggap bisa memenuhi semua varian di atas, atau bahkan kita mendefinisikannya secara bebas (atau terlalu bebas) ide tentang siapa Tuhan yang sesungguhnya. Tapi, mungkin yang jauh lebih penting ditanyakan sekarang, dengan fakta, realita, dan pengaruh akses informasi, adalah “benarkah anda bertuhan pada Tuhan anda sekarang ini ?”