Senin, 10 Februari 2014

(tetap) Merasa Kosong

Perjalanan. Yang membuat saya beruntung. Bukan karena jauhnya jarak yang harus ditempuh. Melainkan besarnya usaha untuk menemukan sebuah hal baru. Ide, retorika yang menjadi kerangka berpikir, dan inspirasi-motivasional yang terlalu indah untuk dilupakan. Meski tetap ada perih dan luka yang menghiasi jasad kehidupan.

Selama tujuh tahun berkelana di secuil bagian dari kota hujan. Ratusan kali mondar-mandir ibukota. Bahkan puluhan kali di antaranya hanya dalam rangka ":mengencingi" ibukota yang dipenuhi sesak jejal manusia. Mengikuti berbagai banyak pertemuan formal dan style warkop. Bertemu dengan sekian banyak manusia yang dianggap tokoh dan dewa di pakarnya dengan segala ide, rasio, dan pemahaman terhadap hidup dan kehidupan. Dimulai dari aspek terkecil hingga filosofi mendasar. Yang membuatnya berbeda dengan orang lain, bahkan dengan dirinya sendiri.

Kanan, kiri, poros tengah, dan aliansi status quo pun turut serta memeriahkan ide yang membuncah liar dan bebas di kepala. Namun, tetap rapi dan solid pada tuturan lisan, gerakan mata, lambaian tangan, dan ayunan langkah-langkah kaki para raja kecil. Hingga akhirnya....saat untuk menentukan keputusan dan kesimpulan hadir mengetuk pintu relung hati yang sederhana tanpa singgasana yang mulia. Karena tetap sadar, tak ada yang mulia untuk kemudian dihamba. Juga tak ada manusia yang begitu hina sampai pantas untuk dinista. Kecuali pada asbab yang nyata dan berakar pada prinsip yang tak boleh nisbi.

Kesimpulan itu....yang akhirnya berani kupegang kawan. Prinsip yang menurut orang kebanyakan adalah benar, tapi mereka naif untuk menancapkannya, apalagi melakukannya. Ya. Begitulah manusia. Ras Homo Sapiens yang menurut ilmuwan adalah makhluk tercerdas yang bisa berjalan di bulatan planet ini, sampai saat ini.

Bahwa....tak ada manusia yang berhak merasa unggul dari yang lain. Dalam bidang apapun. Apalagi pada bidang ilmu dan pengalaman. Tidak.

Sehingga kita bisa dan puas tertawa terbahak-bahak jika ada manusia - siapapun dan apapun entitasnya, yang merasa dan berlaku serta bersikap lebih mulia, pintar, dan tahu akan sesuatu. Walaupun kita mungkin paham bahwa dia lebih tahu dari kita. Tapi tidaklah demikian kepantasan seorang bijak dalam bersikap dan memperlakukan manusia lain yang tak sepandai dirinya. Kepandaian yang kokoh selayaknya melahirkan kebijaksanaan dalam membimbing manusia lain untuk mencapai level yang (setidaknya) setara dengan dirinya. Bukan mencemoohnya, membunuh harga dirinya (dengan menelanjangi kesederhanaan intelektualnya) di depan umum, apalagi mengatakan "Aku lebih baik darimu". Ucapan yang akhirnya membuat seonggok malaikat diapikan oleh Tuhanku, dilaknat,, dan akhirnya diusir terhina. Tidak, tidak ada yang pintar di dunia ini. Karena hanya Dia Yang Maha Pintar. Dan karenanya, hanya Dia pula yang patut untuk sombong.

Tertawa kita akan lebih hebat lagi jika ternyata ada orang yang merasa dirinya baik, pintar, dan mulia, namun kita tahu persis bahwa dirinya tak seperti itu. Kecelakaanlah baginya....kecelakaannlah baginya. Otak tak seberapa, hati pun tak mulia, tapi merasa dikelilingi singgasana. Padahal semuanya hanya semu saja. Mari kita kasihani makhluk seperti ini. hatinya tak seluas ruang di rongga perutnya.

Sahabat....aku tahu, kalian lebih baik dan mulia dariku. Tapi merasa mulia dan lebih aik dari orang lain, tak melulu menjamin kita lebih mulia dan pantas untuk baik. Karenanya, siapapun yang melintas di kehidupan kita, tak pantas untuk direndahkan apalagi diabaikan. Tidak. Bukankah manusia-manusia yang hadir ke kehidupan kita tak akan mampir tanpa takdir dari-Nya ? Menghinanya....berarti juga menghina-Nya.

Kalo kita sudah berani menghina-Nya....tawaran saya....mari ciptakan dunia sendiri yang akan kita tinggali tanpa campur tangan-Nya.

0 komentar:

Posting Komentar