Salah satu anugerah yang selalu saya syukuri adalah Allah SWT memberi tuntunan untuk berpikir agak “nyleneh”. Artinya belajar untuk tidak berpikir linear. Bahasa yang biasa saya dan teman-teman gunakan adalah berpikir eksponensial. Tapi…tidaklah penting itu semua. Karena setiap manusia tentu diberikan tugas, potensi, dan tanggung jawab masing-masing.
Tuntunan Allah SWT tadi mengantarkan saya pada suatu kehausan logika. Diantaranya adalah untuk sangat suka melihat keadaan masyarakat di luar rutinitas. Apalagi keadaan geografis kampus yang cukup dekat dengan ibukota membuat saya cukup sering melakukan perjalanan untuk mengamati perilaku, kebiasaan, dan realitas masyarakat ibukota dan daerah-daerah minus.
Saya mendapat beberapa kesimpulan hidup yang menarik untuk kita simak dan bahas bersama. Ikhwah sekalian, masyarakat, atau dalam bahasa anda semua disentbut umat, sama sekali tidak mempedulikan kesholehan dan kebaikan anda selaku dai. Bahkan, dalam ungkapan ekstrem-nya, bagi mereka, para dai (apalagi di kalangan mahasiswa) memiliki kebaikan dan kealiman yang tidak diragukan lagi. Mereka sangat segan sekaligus senang ketika banyak aktivis dakwah “turun” mendekati mereka. Meski hanya sapaan, gurauan, candaan.
Tapi ternyata, para ikhwah, kesholehan itu tidaklah menjawab kebutuhan mereka selaku manusia. Lebarnya jilbab para akhwat sholehah dan hitamnya dahi para ikhwan tangguh tidak mampu menyelesaikan persoalan hidup yang menghampiri. Demo-demo kita di jalanan itu tidak mampu memberikan berkah kepada mereka kecuali botol-botol air mineral yang mereka kumpulkan lagi untuk dijual. Teriakan-teriakan para orator ulung belumlah cukup untuk membayar air mata mereka karena kehilangan rumah yang digusur tanpa pemberitahuan atau memang sengaja dibakar. Tangisan dan keprihatinan kita tidaklah bisa menggantikan kesempatan anak-anak jalanan untuk segera mengenyam pendidikan yang sewajarnya mereka terima.
Sehingga saya berpikir, bagaimana masyarakat bisa diajak untuk sholat fardlu berjamaah di masjid jika mereka terus menerus sibuk untuk mengais uang di alam hedonis ? Atau bagaimana ibu-ibu kita mampu menerima kenyataan dan perintah berhijab dengan ikhlas sedangkan pikirannya terus berkutat pada “bagaimana saya & anak-anak saya besok bisa hidup?”. Apalagi untuk menerima syariat poligami yang rentan didengungkan dampak buruknya oleh kaum feminis. Bagaimana kita bisa mendesain masyarakat dan umat untuk hanya mengibadahi Allah SWT ? Dan bagaimana kita semua, para dai, ingin secara sadar menegakkan kembali institusi Islam berupa khilafah jika masyarakat tidak mampu “dikuasai” ?
Saya berusaha mencari jawaban atas hal ini. Ilham yang Allah berikan membuat saya berpikir beberapa hal sebagai akibatnya. Pertama, saya penganut paham anti kebetulan (bukan anti kebenaran lho ya). Maksudnya ialah tidak ada kebetulan yang terjadi di dunia ini. Semua pasti “by design” . Baik design dari Allah SWT atau makar yang “sementara direstui” oleh Allah SWT. Sehingga fakta bahwa Indonesia memiliki hampir separuh umat Islam di dunia juga bukan tanpa maksud.
Dorongan peran aktif umat Islam Indonesia untuk peduli, moderat, dan responsif secara cerdas terhadap keadaan umat Islam di seluruh bagian dunia senantiasa didengung-dengungkan pada hampir semua ajang kegiatan internasional umat Islam. Gaungan propaganda ini paling kuat berasal dari kelompok Ikhwan. Mereka sangat menunggu Indonesia untuk berperan lebih besar, lebih aktif, dan lebih solutif.
Kedua, karakter perjalanan dakwah yang panjang dan berat untuk mengarahkan umat kembali kepada izzah (kehormatan) dan penghambaan kepada Allah yang esa, justru memberi bukti adanya “seleksi alam” dalam dakwah. Sehingga faktor keikhlasan dan keistiqomahan para dai akan teruji di sini. Siapa yang berdakwah untuk siapa dan siapa yang berdakwah untuk mendapatkan apa. Saya mulai bisa menangkap salah satu hikmah dari firman Allah di surat Ali Imran ayat 102
“ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam.”
Ayat ini kental sekali dengan nuansa urgensi keistiqomahan. Saya mengungkapkannya dalam kalimat berikut :
“Percuma sajalah umat islam beriman dan bertaqwa di suatu masa, tapi goyah keimanan dan ketaqwaannya di fase kehidupan bernama kematian. Karena di saat menjelang kematian tidaklah logika otak berfungsi dengan baik. Hanya hati nurani yang bisa bekerja optimal saat itu. Dan, keimanan serta ketaqwaan itu berkumpul dalam kokohnya dinding hati.”
Ketiga, kerja besar yang saya sebutkan dalam kesimpulan kedua di atas tidaklah mungkin bisa diraih dari kerja individu. Secemerlang apapun manusia itu. Oleh karenanya, cita-cita agung itu akan bisa diraih oleh kerja-kerja kolektif yang tersusun dengan rapi dan kokoh.
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS 103)
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS 61 : 4)
Kita semua punya bidang, potensi, dan keunggulan yang beragam. Marilah kita sinergiskan itu semua untuk keberlangsungan cita-cita dakwah yang selalu menjadi ambisi dan harapan kita. Perbaikilah kehidupan umat dengan potensi dan keunggulan kita semua. Baik secara individu maupun dalam konteks kejamaahan. Semoga Allah menguatkan dan mengistiqomahkan kita semua. Wallahua`lam bisshowab.