Selasa, 17 Maret 2015

Revolusi Sosial dan Kegoblokan Jamaah.

“Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga 'Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing)” (QS. Ali imran : 33)


Pesona perbincangan pada aspek sosial benar-benar menyita banyak mata dan telinga. Setidaknya abad ini. Bisa jadi hingga abad berikutnya. Bahkan, dari sebuah lini ide pada aspek ini, bisa berkembang ribuan derivasi topik bincang yang begitu menggiurkan untuk media jual. Gosok kanan kiri, rebut atas bawah, atau sekaligus memakai cara-cara tak lazim dalam proses memberitakan, sah-sah saja. 


Sehingga sering kita kenal paham mainstream  yang seakan menggiring kita semua pada sebuah pemahaman yang senada, meski tetap tak mutlak sama. Tak lama, perbincangan yang hadir di tengah-tengah media dan kita sebagai pirsawannya hadir sebagai wahyu tandingan yang menuju absolut legalitasnya. Otak kita terseragamkan dan padu dalam kebersamaan berdasarkan skenario. Media seakan menjadi “imam madzhab” trendsetter yang begitu maksum sosial. Meski tak sedikit pula yang mulai kehilangan substansi isi dan ide. Hingga perbincangan yang harusnya ilmiah dan solutif tak lebih sebagai style infotainment yang penuh intrik, retorika, dan keindahan “kepo”-isme.


Kurang serta lebihnya, seperti itu keadaan di negara-negara dunia ketiga. Negara yang layak tersebut sebagai floating nation. Bukan karena legalitas hukum kenegaraannya, melainkan dari kacamata esensi kemerdekaan yang harusnya menjadi supremasi eksistensi sebuah bangsa dan negara. 


“Bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa”......


Kebingungan naratif terjadi hampir di negara-negara seperti ini. Apalagi jika berkiblat ke barat atau negara superpower yang ada, seakan ada jarak yang demikian jauh. Hampir tak terkejar dengan segala kemampuan yang dimiliki. Melainkan hanya sedikit saja dan single aspek. Teknologi, ekonomi, kesejahteraan jasmani yang begitu kasat mata menjadi indikator yang tiga per empatnya diakui. Sisanya, atau bolehlah kita katakan selebihnya, adalah kerapuhan struktur sosial dan elemen yang sebenarnya membuat kita layak dinyatakan sebagai manusia atau tidak : budaya, spiritual, dan seni.


Padahal, daerah yang sering dijadikan kiblat di dunia ini juga memiliki begitu banyak kerapuhan ideologi. Bahkan bisa dibilang keadaan internal mereka setali tiga uang dengan negara-negara belum maju. Tentu masih ingat di ingatan kita bahwa krisis besar terjadi di negara adidaya, Amerika Serikat. Tepat pada 2008, terjadi fenomena yang sering disebut para pakar dengan subprime mortgage.  Situasi yang membuat keuangan sangat layak untuk disebut kacau. Ditambah fakta-fakta gelap non dokumentatif. Yang menyatakan bahwa  tingkat pembunuhan di area sekolah negara Paman Sam itu merupakan yang tertinggi di dunia. Broken home, kekerasan jalanan (street crime), pengangguran, dan pergaulan seks bebas, juga ikut menyemarakkan kondisi sosial di sana.


Tentu tanpa maksud merendahkan “sang pemimpin dunia” – versi hari ini. Melainkan dengan tulisan ini kita layak untuk memperbaharui objektivitas kita. Untuk mencoba mencari cara dan perbaikan yang sejati. Agar segera bisa tercapai tujuan yang ingin kita capai : pembangunan berdaya sebuah negara secara material dan psikis.


Mari kita simak dengan teliti, meski tetap sederhana. Negara, tidak lain adalah sebuah representasi entitas sosial. Kumpulan wadah yang berisi manusia. Beraktivitas, melanjutkan kehidupan, mengisinya dengan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan. Dalam hal ini, bolehlah kita serupakan bahwa negara adalah pohon besar. Yang ditopang oleh batang dan ranting. Kehadirannya tidak lain adalah untuk memantapkan eksistensinya di dunia ini. Tapi lebih dari itu, pohon yang baik akan mengeluarkan buah yang manis dengan aroma yang harum. Dengan satu syarat, bahwa pohon tersebut harus berdiri tegak menjulang dan kokoh menantang angkasa. Tentu tak mungkin bisa memberi buah yang baik, jika pohon negara tak bisa berdiri tegap dan sehat.


Tapi yang sering kita lupakan adalah, perhatian terhadap akar. Akar yang menjadi dasar keberadaan pohon. Bagaimanapun keadaan pohon, akar yang menjadi embrio kehidupannya. Begitupun dengan negara. Ijinkan kami tawarkan informasi dan ide untuk revolusi sosial di setiap negara. Lewat sebuah kalimat agung yang singkat berikut :


Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim ayat 6)


Neraka - tentu saja juga apinya, merupakan simbol balasan atas kerusakan yang diperbuat. Karenanya, melalui ayat tersebut kita dihadapkan pada sebuah syarat perbaikan. Meski pemberitahuannya bernada isyarat.


Perbaiki, pelihara, dan bersungguh-sungguhlah dalam mengelola keluarga. Maka dari entitas terkecil ini akan lahir komunitas pendukung untuk membuat kondisi lebih baik. Di langkah selanjutnya, akan lahir lebih banyak lagi ekosistem  yang memungkinkan untuk berkelakuan baik. Begitu seterusnya hingga membesar dan meluas menjadi sebuah wadah kesepakatan sosial bernama negara. Sisanya, mengelola orang-orang baik tentu akan lebih mudah bukan? Ya, benar. Negara hanya tinggal melakukan maintenance people dan mengoptimalkan perbaikan sumberdaya menuju peak performance dari setiap individu. Sederhana? Yap. So, just do it. (AA)









0 komentar:

Posting Komentar