Jauh. Ini jauh dari menggunjing dan asyik
mengumbar keburukan manusia. Kita hanya sedang berusaha untuk memampang cermin
raksasa di dalam jiwa, mental, dan ruhiyah. Lalu dihadapkan kepada diri
sendiri. Yang tidak mungkin mendapat peringkat sempurna dan paripurna.
Melainkan Cuma belajar untuk menjalani kehidupan dengan aturan-aturan baku
fleksibel milik Allah SWT. Dan kita belajar dari semua hal, benda, baik hidup
maupun mati. Yang nyata maupun ghaib.
“(yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan
Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka
peliharalah Kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran 191)
Termasuk yang terjadi di Republik ini.
Kontroversial. Menggemaskan. Membuat risau di beberapa poin dan pihak. Tapi
memberi ketenangan yang menentramkan di pihak yang lain. Benar. Ini adalah
cerita tentang Ibu Susi Pudjiastuti. Seorang pengusaha yang dikabarkan tak
lulus SMA. Kemudian terpilih menjadi seorang Menteri yang memegang peranan
penting di dalam mengatur sumber daya kelautan dan perikanan di sebuah negara
maritim-agraris kepulauan terbesar di dunia; Indonesia.
Memaknai inti dari fungsi.
Seringkali kita mengisi otak, tanpa
dilengkapi dengan memberi nutrisi pada akal. Padahal otak hanyalah alat bantu.
Sedangkan akal yang membuat kita berbeda dengan hewan dan mampu berderajat di
atas para malaikat. Tapi jejalan logika yang begitu rakus kita makan hampir
setiap jeda waktu membuat kita membuat aturan “jika maka” sendiri tanpa sebuah
pendekatan gaya berpikir “min haisu laa yah tasibu” (dari arah yang tak
disangka-sangka). Kita memaksa diri kita untuk setia pada pemikiran mayoritas
orang – padahal dengan tesis dan premis sangat lemah, dibandingkan kuasa
metafisika dan komprehensifitas ilmu dari Sang Penguasa Sejati. Sehingga yang
hadir secara tak sadar ialah kemauan diri yang dipaksakan pada semesta agar
diakui dan dijadikan hukum universal. Termasuk tentang menghukumi sebuah
kejadian.
Sebagai contoh, jika belajar tentang ekonomi,
maka akan menjadi ekonom. Jika menekuni bidang sains, akan menjadi ilmuwan.
Atau jika mengabdikan diri untuk belajar bertahun-tahun di pesantren, harusnya menjadi kyai besar, kondang,
berpengaruh, dan didengar oleh masyarakat. Tidak sepenuhnya salah, tapi harus
diingat hal itu juga tidak sepenuhnya benar.
Susi Pudjiastuti hadir untuk mendobrak
kesadaran kita dalam berkehidupan, terlebih hidup bernegara dalam aktivitas
kepemimpinan. Bahwa tak selamanya pendidikan formal menjadi penentu karier dan
kesuksesan. Meski juga tak menjamin orang-orang yang keluar dari sekolah formal
akan menjadi sukses kemudian. Tapi dengan ini kita belajar bahwa begitu luasnya
ketersediaan ilmu yang harus disambut dengan sebuah metode ilmiah yang mungkin
bagi tiap insan akan berbeda. Namun, perbedaan tak harus menjadi sebuah
paradigma berpikir untuk menghukumi dan menyimpulkan sesuatu, selain atas suatu
hal yang jelas hukumnya. Yang mungkin terasa tak mampu terbantahkan oleh rasio
yang kokoh sekalipun.
Juga tentang substansi inti dari proses
menjadi pemimpin. Bahwa kepemimpinan bersentral pada proses giving dan coordinating resource. Bukan collecting
apalagi hanya ribuan meeting. Sehingga
setiap orang yang bercita-cita menjadi pemimpin – terutama di negeri ini, harus
sering membuat obsesi atas sebuah pertanyaan “apa yang bisa saya berikan untuk
kemajuan dan kebaikan kelompok yang saya pimpin”. Bukan “apa yang bisa saya
raih dengan posisi ini” atau “pembicaraan apa yang harus saya sampaikan”.
Karenanya, tentu menjadi sebuah tuntutan
alami jika para pemimpin harus mempersiapkan kemampuan yang bersifat kepakaran.
Terutama di dalam penguasaan masalah dan komunikasi koordinatif. Tak ubahnya
seperti seorang pengarang cerita yang ingin merancang kisah di dalam tiap
tulisannya. Pada poin ini, dapat kita pahami bahwa yang terpenting dari seorang
pemimpin adalah apa yang bisa dia lakukan. Bukan bagaimana, dari mana, dan
siapa dia.
Sehingga berhentilah menghakimi. Apalagi jika
hanya katanya. Demi Allah, kita tidak lebih baik dari manusia lain melainkan
hanya pada hal-hal yang sedikit saja. Jauh lebih banyak perihal diri sendiri
yang harus diperbaiki. Dan bukanlah sifat seorang mukmin yang tertarik pada
prasangka tak berdasar atas ketetapan yang Allah SWT kehendaki.
“Dari
Abu Hurairah رضي الله عنه bahwa Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda: "Jauhkanlah
dirimu dari prasangka buruk,
karena sesungguhnya prasangka itu adalah
perkataan yang paling bohong."
(HR.
Muttafaq Alaihi.)
Ketersediaan dan usaha menyiapkannya
Ide dasar kehadiran
agama ini adalah untuk memberikan cara-cara benar dan menyenangkan (secara
hakiki) di dalam menjalani kehidupan. Bukan ideologi pengutuk yang hanya mampu
menyalahkan tanpa alternatif, tanpa pilihan cara lain, yang lebih baik dan bermartabat.
“Thaahaa. Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu
agar kamu menjadi susah” (QS.Thaahaa : 1-2)
Karenanya, gaya
berpikir yang harus kita kedepankan terhadap maksud ekspansi ideologi Islam
seharusnya bersentral pada proses persuasif-alternatif. Artinya berusaha mengajak
pada sebuah cara yang jauh lebih baik daripada selain Islam.
Atas dasar itu,
pemahaman kita semua untuk menawarkan Islam perlu review internalisasi. Selain
pengetahuan dalil syari dan pengayaan dalil aqli sebagai media support, harus
ditambah dengan kompetensi pemilihan alternatif yang ada dalam manhaj Islam dan
mampu menjawab kebutuhan. Jangan menambah sikap bodoh kebanyakan orang yang “memberi
makan pada orang yang kehausan”. Tak hanya menyelesaikan masalah, bahkan bisa
menjadi kontrapositif atas usaha kebaikan yang kita lakukan. Setelah itu baru perluasan
tsaqofah kebijaksanaan cara pandang
menjadi bumbu utama yang bisa menjadi akselerator hidayah.
Tapi itu semua akan
menjadi pepesan posong, jika ada sebuah hal yang terlewat dari kita: KETERSEDIAAN. Bagaimana bisa kita menawarkan sesuatu jika
tak ada yang bisa ditawarkan? Beribu tesis dan simpulan yang kita luncurkan
dalam upaya memenangkan fakta ideologis tak akan mampu masuk dalam ruang logis
objek pasar jika tak ada “produk” yang ingin dijual. Apalagi jika untuk
memenangkan posisi penjualan, kita melakukan secara tak sadar perilaku negatif berupa
penjatuhan citra produk lawan. Jauh dari harapan, maksud tak sampai, harga diri
terurai.
Termasuk kasus dari
Ibu Susi Pudjiastuti yang (berusaha) kita hormati di Republik ini. Jika memang banyak
dari kita yang tak setuju atas penunjukkannya sebagai seorang menteri, cobalah
sesekali untuk mulai memikirkan, adakah sosok alternatif yang bisa menjawab
kebutuhan posisi yang Susi tempati hari ini. Dengan kualitas yang minimal sama,
namun dengan cita rasa kualitas tertentu yang berbeda. Jika tak ada, tak
berlebihan kiranya jika kita menamai diri kita sendiri sebagai kelompok pepesan
kosong.
Bukankah tak lebih
baik kita berpikir strategis untuk menghasilkan stok pengisi posisi? Daripada demikian
banyak kutukan kita berikan – yang mayoritas bahkan hanya berdasar “katanya”, tanpa
berusaha memberikan kemampuan untuk memperbaiki.
Salah satu usaha
positif dari fenomena Susi ialah jika kita berusaha menyiapkan operator hebat
untuk tugas besar. Bahkan, menurut sebagian ulama fiqh, termasuk dalam kategori
fardlu kifayah jika jamaah muslim mempersiapkan kadernya untuk sebuah posisi
strategis. Agar tak dikuasai oleh manusia yang menjadi penentang bagi dakwah
dan Islam.
Sahabat, Islam hadir
dengan penuh kebaikan dan kebijaksanaannya dalam memandang permasalahan dunia. Bukan
sebagai musibah global yang mengantarkan manusia pada keterbelakangan. Mari
jadi bagian dari itu. Jika kita tak bisa menyiapkan lilin untuk keadaan gelap,
jangan kotori lisan dan pikiran dengan cacian. Tapi di atas itu semua, akan
jauh lebih baik jika kita mampu siapkan cahaya besar sebagai alternatif untuk
mengatasi kegelapan itu. Dan cahaya itu kami harapkan akan memancar
dari....ANDA. (AA)
0 komentar:
Posting Komentar