Kamis, 05 Januari 2012

Siapa Tuhan Sebenarnya ?






 Ketergantungan kita terhadap ideologi supranatural sepertinya sudah boleh dikatakan sebagai suatu fitrah. Betapa tidak, dunia dengan gempuran inovasi teknologi di satu sisi ternyata tetap tidak mempengaruhi laju pertumbuhan filsafat dan metafisika di dunia hingga hari ini. Konsekuensinya, lahirlah banyak varian di dalam dunia pemikiran. Beberapa menjadi “agama” baru bagi masyarakat, beberapa yang lain hilang begitu saja karena tidak mampu menjawab tantangan.
 Termasuk ide tentang siapa Tuhan bagi seorang individu atau bagi sekelompok manusia. Sepertinya hal ini bisa dikategorikan menjadi abstrak. Bagaimana tidak, sifat-sifat yang harusnya manusia berikan dalam upaya apresiasi atas keluarbiasaan dan eksistensi Tuhan justru diberikan pada hal yang tidak menunjukkan kedua hal itu. Penghambaan, ketaatan, loyalitas, bahkan totalitas kehidupan seorang manusia bisa begitu mudah disodorkan pada suatu nilai, partai, ideologi, paham, atau tuhan-tuhan semu lainnya.
Cukup penting untuk kita mengevaluasi di dalam wilayah jiwa dan ideologi kita tentang siapa Tuhan kita yang sebenarnya. Karenanya juga sangat penting untuk mengetahui cara mengenal Tuhan. Ada pepatah arab yang menyatakan bahwa “Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya.” Dengan kata lain untuk mengetahui Tuhan kita yang sebenarnya, cukuplah kita bertanya pada diri sendiri.
Sekurang-kurangnya ada tiga poin yang bisa kita jadikan parameter atas kebertuhanan kita. Pertama, jika dengannya (atau dengan-Nya) kita bisa meraih ketenangan dalam hidup. Hal ini bisa kita sepakati karena sesuatu yang kita anggap Tuhan memiliki indikator bahwa dialah penjamin kehidupan yang sesungguhnya. Karenanya kita merasa tenang. Tidak khawatir, resah, gundah, apalagi gelisah dalam menghadapi kehidupan di sepetak planet mengapung ini.
Kedua, jika Tuhan kita jadikan tempat untuk berlindung dari segala hal. Kekuasaannya yang meliputi semua kehidupan membuat kita merasa aman dari segala hal yang kita anggap membahayakan. Kemahacerdasannya seakan membuat jaminan terhadap hati kita bahwa kita akan selalu baik-baik saja. Kita akan tetap aman jika kita berlindung padanya. Sebaliknya, kita tidak pernah aman ketika kita tidak berlindung padanya.

Fakta yang menjadi sintesi selalu melahirkan romantika sebagai bumbu pelengkapnya. Karena itu, variabel ketiga, kita semua menganggap sesuatu itu Tuhan jika kita termasuk orang-orang yang mencintainya. Hanya saja, secara empiris, definisi mencintai akan berbeda untuk setiap orang. Sehingga mungkin yang lebih mudah untuk dijadikan parameter adalah bagaimana dominasi rasa cinta yang lebih kita kenal dengan istilah rindu. Ada suatu ikatan hati yang bisa dianggap atau dikatakan abstrak tentang kerinduan. Namun, ciri umum tentang rindu tentu saja bersifat global disepakati oleh manusia. Bahwa, ia adalah rasa kehangatan dan kegembiraan jika mendapati komunikasi dengan sesuatu yang dirindukan.
Setidaknya, dari beberapa variabel di atas, tentu sekarang kita bisa mengevaluasi dan menanyakan dengan sangat jujur, tentang siapa yang kita anggap sebagai Tuhan selama ini. Tentu dia bisa alat yang melambangkan ide kebendaan, atau mungkin suatu alam pemikiran yang kita anggap bisa memenuhi semua varian di atas, atau bahkan kita mendefinisikannya secara bebas (atau terlalu bebas) ide tentang siapa Tuhan yang sesungguhnya. Tapi, mungkin yang jauh lebih penting ditanyakan sekarang, dengan fakta, realita, dan pengaruh akses informasi, adalah “benarkah anda bertuhan pada Tuhan anda sekarang ini ?”

0 komentar:

Posting Komentar