Rabu, 06 Maret 2013

Setor Wajah



“Sejak dilahirkan, KAMMI ini sudah besar. Jadi jangan berusaha mengecilkannya.” (Akbar Zulfakar, Mantan Ketua Umum KAMMI)
Ini yang paling saya sukai. Pertemuan antara setiap kader dan pengurus KAMMI. Tidak hanya dalam satu ruang lingkup KAMMI Daerah, tapi antara KAMMI di setiap tempat. Dari setiap kampus. Sangat beragam akan unsur budaya lokal, kultur intelektual, sampai pada perbedaan cara pandang terhadap KAMMI dan negaranya sendiri. Unik.
Pesona itu kian merebak tatkala sudah masuk pada ruang-ruang diskusi yang membahana. Saya – dan saya yakin teman-teman juga begitu, tak pernah merasa kecil ketika diskusi dimulai. Semua jadi “besar”. Benar-benar besar. Bahkan ada beberapa orang yang merasa dirinya terlalu besar untuk KAMMI. Hingga akhirnya memandang bahwa KAMMI tak mampu menampung kebesarannya. Insilah...itu jalan keluar bagi mereka.
Namun, begitulah. Sejak awal KAMMI dilahirkan, sudah dengan atribut kebesarannya. Bahwa mereka terdidik, terlatih untuk berpikir besar. Tak hanya tentang diri sendiri. Tapi langsung di luar badan subjek pikir. Tidak berpikir bagaimana dia, dan apa yang dia dapat. Tapi selalu tentang apa yang bisa disiapkan untuk diberikan. Mulia, bagi beberapa orang. Susah, untuk orang-orang yang bermasalah dengan keikhlasan. Tak mungkin bisa, bagi manusia berstatus pemuda dan mahasiswa yang penuh pesimisme kehidupan.
Pertemuan demi pertemuan berhasil saya alami. Dari sebuah kampus kecil sampai pada ruangan khusus wakil ketua DPR RI. Tidak ada yang membuat saya bangga selain sebuah kesyukuran yang begitu bergejolak dan menyeruak mempengaruhi raga. Bahwa saya mendapat kenikmatan belajar dari semua hal yang ada di kurikulum KAMMI. Daurah marhalahnya, madrasahnya, daurahnya, “pengadilan” jalanannya, hingga vila-vila mati penuh aura mesum yang mampu ceria lagi karena nafas pemuda KAMMI.
Cukup. Mari kembali pada hakikatnya. Pertemuan antar kader, bagi saya adalah penawar semua masalah yang dihadapi dalam menggulirkan roda dakwah di KAMMI. Juga madrasah yang lebih dahsyat daripada daurah marhalah sekalipun. Ini ibarat kurikulum manhaj kaderisasi yang dimampatkan di dalam beberapa hari saja. Saya bertemu banyak orang yang visinya sangat mendukung kekayaan ide tentang KAMMI, Islam, dan Indonesia.
Sebut sajalah rekan-rekan dari Jatim dan Jateng. Mereka datang dengan penuh kesederhanaan dan “kezuhudan”-nya. Bahkan ketika bertemu seorang kader KAMMI dari Semarang, pertanyaan pertama darinya adalah,”Kalo makan di Jakarta paling murah berapa Mas?”. Sungguh ini sangat berkesan buat saya. Mungkin ini menyindir kita akan kekuatan finansial untuk menjadi aktivis dakwah. Tapi dari pertanyaan itu, saya belajar untuk segera menstabilkan ekonomi pribadi dan rumah tangga. Agar tetap lincah menjadi aktivis.
Berbeda sekali jika kita bertemu saudara dari Jogja. Sangat berbeda. Kepercayaan diri yang memancar dari jasadnya terasa mendominasi dan menular. Aksen bicara yang medok dan sangat cepat, tak pernah menyurutkan kecerdasan dan kekuatan pemahaman tentang politik. Juga pergerakan. Maka tak heran pula jika kita selalu kehabisan waktu diskusi jika mengundang rekan-rekan dari Jogja. Sungguh, tak ada cukup kata  untuk menyatakan kecepatan pikirannya. Apalagi jika dipadukan dengan rekan-rekan Jabar, DKI Jakarta, dan Banten. Umpan tangkap diskusi begitu natural mengalir. Bahkan, jika tak ada pengontrol bicara, katering peserta diskusi bisa jadi bahan kudeta yang revolusioner. Meski tetap dengan tawa canda yang menarik untuk diikuti.
Kesan seriuslah yang ditawarkan oleh hampir setiap kader dari Indonesia timur. Bahkan beberapa pertemuan saya dengan mereka, awalnya selalu tanpa senyum. Tanpa kesan muka yang santai. Selalu tegang.
Tapi hal itu juga bukan tanpa sebab. Pergolakan dakwah di sana, terasa benar pada wilayah ruang aqidah. Bahwa Islam adalah benar. Selainnya sesat. Maka tak heran jika yang dihadapi kader KAMMI di sana adalah ide tentang kristenisasi, penipuan sosial, dan penyesatan agama. Ditambah dengan sulitnya proses regenerasi yang digulirkan. Dengan semakin sibuknya kurikulum pendidikan pada mahasiswa, para kader dituntut cermat untuk membagi diri. Antara aktivitas ekstra  kampus dan tetap membuat diri nyaris cumlaude. Namun saudara-saudara di timur selalu menginspirasi saya – dan beberapa rekan, untuk senantiasa mengoreksi hubungan pribadi kepada Allah SWT. Sungguh, nasihat yang amat berharga.
Nah, menurut saya, pertemuan-pertemuan ini sangat penting bagi kader KAMMI. Ibarat halaqoh harokiyah yang harusnya menjadi kurikulum tak tertulis yang wajib teragendakan. Dengan periode yang baik. Juga dengan tujuan objek yang jelas. Minimal pertemuan itu menyatakan kepada kita bahwa dalam misi penegakan risalah ini, kita tak pernah sendiri. Ada ribuan orang yang berhimpun dalam sebuah rumah besar pemuda Islam; KAMMI.
Selain itu, saya percaya bahwa silaturahim sebagai penambah usia dan rizqi. Karenanya, dengan pertemuan antar kader - baik antar komisariat, antar daerah, ataupun wilayah, sangat penting menambah stamina pergerakan yang menjadi bensin untuk mesin para aktivis. Apalagi jika ditambah dengan budaya diskusi sebagai alat-alat pertukaran pikiran yang cerdas. Tentu saja ini semakin menambah ghirah gerakan di dalam KAMMI.
Selain itu, pembelajaran para leader  salah satunya adalah pengenalan geografis. Agar kita semua tahu seberapa luas wilayah yang akan kita pimpin nantinya. Bahwa Allah inginkan khalifah-khalifah-Nya menjadi orang-orang besar. Terutama ruang pemikiran dan kemampuan pengaturannya. Saya masih ingat betul nasihat salah seorang ustadz kepada rekan-rekan pengurus pusat. Bahwa “Antum semua harus sering jalan-jalan ke daerah. Kunjungi mereka. Agar frekuensi gerak antum sama. Dan agar antum semua tahu, bangsa kita ini sangat luas”.
Maka, saudaraku, bertebaranlah di bumi Indonesia ini. Agar Allah lapangkan jalan kita. Untuk Indonesia. Dan untuk-Nya.

   

Mulazamatul Ulama



(Serial Aku dan KAMMI)
Bosan, juga lelah. Itu yang tidak bisa kami sembunyikan dari wajah-wajah daerah non ibu kota yang kami miliki. Setelah bertolak dari kediaman Bapak Marwan Batubara, seorang pemikir strategis tentang sumber daya alam Indonesia, kami menuju rumah besar para penyambung lidah rakyat (baca: DPR) di senayan. Jarak yang lumayan, ditambah belum baiknya transportasi umum bangsa ini membuat kami harus mencari alasan tepat untuk tetap semangat. Memang hari keempat yang cukup melelahkan. Sekaligus sangat mengesankan.
Sudah hampir dua jam kami dibuat layaknya ayam kehilangan induk. Duduk lesehan di lobby Gedung Nusantara III. Sembari melihat lalu lalang orang. Ukh Vida, Dewi, Kumala, dan Erni mengamankan diri dengan duduk di sofa dekat tiang besar. Jauh dari kami para ikhwan. Akh Mastari, dengan beberap rekan yang lain mulai tertarik dengan perabot-perabot unik yang ada di sekitar gedung. Mesin informasi tentang jadwal acara anggota DPR menjadi pelampiasan rasa ingin tahunya. Akh Wibi, mungkin karena terlalu lelah, hanya duduk bersandar. Tak lama kemudian, dia sedikit berteriak dan melambaikan tangan. Memanggil Bang Fahri Hamzah yang kemarin dengan baik hati rela menjadikan rumahnya sebagai tempat sarapan kami, berlimabelas.
Kebosanan hampir lagi menghampiri kami. Ketidakjelasanlah sebabnya. Sampai kapan kegiatan menunggu ini terus dilakukan. Hal ini terasa seperti membuang waktu. Dan tentu saja kita tahu, membuang waktu bagi para kader KAMMI dan semua orang yang ingin jadi pemimpin, adalah dosa besar tak terampuni.
“Sabar ya...ustadz sekarang kan udah jadi milik umum. Jadi jadwalnya padat sekali. Antum semua harap maklum. Sabar. Insya Allah ketemu.”, kalimat Bang Mohan cukup untuk menurunkan tensi kejumudan kami. Meski sebenarnya itupun tak mampu bertahan lama.
Kedua kalinya Akh Wibi berteriak. Tapi objeknya adalah kami. Semua dari kami.
“Itu ustadz...”, katanya.
Saat badan mulai beranjak dari peraduan hibernatif masing-masing, Bang Mohan memberikan isyarat kepada kami untuk diam. Tunggu lagi.
“Antum semua ga boleh langsung nyerobot gitu. Beliau masih ada acara. Nanti kita akan dihubungi aspri-nya kalau ustadz sudah siap. Santai aja.”
Blusssssss.......kecewa berat. Tapi memang benar apa yang disampaikan Bang Mohan. Semua jadwal beliau, sudah tertata dengan sangat baik, rapi, dan proporsional. Sangat tak beradab jika kami datang tiba-tiba dan berefek rusaknya jadwal beliau. Kasihan. Kasihan ustadz, lebih kasihan lagi kami yang melanjutkan keterlantaran ini.
“Udah, bentar lagi ketemu kok. Kan ntu orangnye udah ada.”, Akh Inggar nyeletuk.
Kalimat yang jauh dari rasa formal itu ternyata cukup ampuh menghipnotis kesadaran kami. Bahkan kami mulai mendiskusikan reaksi dan pertanyaan apa yang akan kami sampaikan kepada ustadz nanti. Begini dan begitu. Banyak sekali. Meski tetap saja ada di antara kami yang lebih tertarik dengan perabot-perabot canggih yang ada di hamparan lobby.
“Oke...ayo ke atas, kita udah ditunggu.”, kalimat Bang Mohan membuat kami sekonyong-konyong bangun.
Senyum mulai melebar di antara kami. Terutama Ukh Dewi. Bagaimana tidak, dia datang jauh-jauh dari Papua. Dengan segala kekuatan fisik, kesempatan waktu yang dipaksakan, dan kecermatan anggaran dia datang ke Jakarta. Ya, peserta acara ini benar-benar tersebar. Dari ujung barat diwakili akh Rizqi dari Universitas Negeri Padang. Turun ke Lampung, akh Ghandaru dan Taufiq. Masuk daerah Jakarta, Inggar Saputra menjadi delegasi. Akh Mastari dari Cirebon. Dari Bogor, aku dan ukh Vida. Masuk wilayah Jawa bagian Tengah diwakili akh Hasan, Muharram, dan ukh Erni dari Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Ditambah dua orang dari Univ. Diponegoro, akh Neil dan Barry. Wibisono dari UGM, ukh Kumala dari IAIN Kalimantan Selatan, ditutup oleh ukh Dewi Arika dari Papua.
Inilah program pengkaderan dan pendidikan terbaru yang diklaim oleh PP KAMMI. Selama ini daurah yang diadakan selalu mengundang pembicara dan datang menghampiri peserta. Tapi kali ini, para peserta yang menyongsong sumber-sumber ilmu. Biar nyunnah katanya, menghampiri para ulama kalau mau belajar.
Ya, latar tempat sudah berubah. Dari lesehan di lobby Nusantara III, sekarang ke ruangan khusus Wakil Ketua DPR RI. Tidak terlalu besar memang. Dua lapis kursi dan meja. Di setiap bangku disediakan pengeras suara yang cukup untuk membuat suara terdengar dengan baik, meski tak mengubahnya jadi merdu.
Namun, yang masih sama adalah kegiatan kami. Menunggu. Kami diminta lebih bersabar lagi.
“Afwan...ustadz masih siaran langsung dengan radio dari Libya. Sabar ya.”, kata salah seorang petugas. Atau mungkin asisten ustadz. Tapi entahlah, identitasnya tidak menjadi penting buat kami. Yang jelas tugas kami hanyalah menunggu.
Kebosanan mungkin sudah hampir titik stationer dalam fungsi kuadrat. Maka sudah mulai banyak yang mencari cara menghilangkan kebosanan itu. Akh Neil dan Ghandaru asyik dengan mushafnya. Akh Rizqi berusaha men-setting handycam yang dibawanya. Sesekali kuminta dia untuk tidak menghalangi pandangan handycam-ku. Barry dan Inggar menulis sesuatu di selembar kertas. Mungkin pertanyaan yang ingin disampaikannya. Wibi dan ikhwan tersisa, kutak-katik hape. Dan rekan-rekan akhwat di belakang asyik berdiskusi meski suaranya seperti tagline mobil diesel, nyaris tak terdengar.
Setiap pintu utama terbuka, kami semua berdiri. Mengira bahwa ustadz yang rawuh (baca: hadir dalam bahasa jawa-red). Tapi lagi-lagi bukan. Begitu seringnya mas aspri dan petugas lain keluar masuk lewat pintu itu. Hingga akhirnya kami bosan bermain berdiri-duduk tanpa kejelasan siapa pemenangnya. Hasilnya, tanpa syuro pun, kami sepakat berkomunikasi dalam bahasa qalbu, tidak usah berdiri lagi. Paling-paling bukan ustadz.
Seorang masuk mendekati bangku Hasan. Kami terbelalak. Dengan segera kami berdiri. Tapi orang itu memberi isyarat larangan untuk berdiri. Dia berjalan menghampiri kami, satu per satu. Menjabat tangan kami semua, para ikhwan. Kami mendadak langsung merasa tak enak. Merasa tak sopan. Merasa tak beradab sebagai mutarobbi. Bagaimana mungkin kami membiarkan guru kami yang berjalan mendekati kami. Padahal seharusnya kami yang memuliakan beliau. Tapi begitulah kira-kira pesan moral awal yang ingin disampaikan sang guru. Bahwa kepahaman keilmuan yang baik justru membuat pelakunya semakin rendah hati. Begitulah, ustadz Anis Matta, Lc.
Diskusi pun berlangsung. Dimulai dari pengantar yang disampaikan Bang Mohan, ustadz mulai memberikan taujih. Kami memperhatikan dengan sangat seksama. Layaknya seekor macan yang sedang memperhatikan mangsanya dengan sangat teliti. Takut kehilangan dan tertinggal.
Isi diskusi yang begitu eksklusif menggebyar di setiap sela dengar. Bahkan informasi lapis satu, yang biasanya hanya didengarkan para ustadz, saat itu kami dengarkan. Dadaku pun kembang kempis dibuatnya. Benar-benar terasa, betapa beratnya menghadirkan kebenaran di nusantara. Apalagi jika ditambah visi menyejahterakan umat Islam di Indonesia, sekaligus tugas besar kita semua untuk membangun khilafah di dunia.
“Belajarlah...sebelum kalian memimpin”. Kalimat yang berasal dari Umar bin Khattab r.a. menjadi inti taujih beliau. Karena di saat memimpin nanti, tak ada lagi kesempatan untuk belajar. Objek kepemimpinan (baca: rakyat) hanya tahu kita salah jika melakukan kesalahan dalam memimpin. Juga benar jika kita memimpin dengan benar. Tanpa mau tahu alasannya dan apa yang sebenarnya terjadi.
Arahan itu sangat berpengaruh untuk kami. Karena, menurut beliau, masa kami di kampus adalah masa paling tepat untuk belajar. Meski juga tak mengapa sesekali show up atas hasil belajar. Karena kebanyakan para pemimpin di Indonesia tak cukup waktu untuk menyiapkan dirinya menjadi pemimpin. Jadilah eksekutif-eksekutif pemerintahan di Indonesia hanyalah sebatas pimpinan yang tak pernah memahami arti dan esensi kepemimpinan itu sendiri. Terkotak pada status dan posisi, bukan hakikat intidan substansi.
“Antum semua juga harus perhatikan kesehatan antum ya. Istirahat yang teratur. Tidur ya....delapan jam lah sehari. Antum semua kan masih masa pertumbuhan.”. Kalimat itu membuat hampir dari kami semua tersenyum. Tak pernah ada dan bisa di kamus hidup kami dan KAMMI untuk tidur 8 jam sehari. Maklum, aktivis. Karena itu, badannya “tivis-tivis”.
“Satu hal lagi ikhwatifillah...antum semua, calon pemimpin. Maka setidaknya...ada tiga hal yang harus antum pelajari dengan serius. Pertama, sejarah. Ini memberikan arahan kepada kita untuk bertindak di masa yang akan datang. Kedua, geografi. Supaya antum semua tahu seberapa luas wilayah yang akan antum pimpin. Harusnya pengurus pusat ini sering-sering ya main ke daerah-daerah gitu. Dan yang terakhir, sastra. Ini menguatkan visi antum dan citarasa retorika antum lewat lisan atau tulisan. ”, kami semua manggut-manggut mendengar taujih di bagian ini.
“Supaya antum semua menghemat waktu, jangan baca semua apalagi sembarang buku. Bacalah buku-buku dari penulis nomor satu di bidang itu. Misal, sejarah. Antum cari, siapa orang nomor satu di bidang itu. Antum cari bukunya. Baca. Itu sangat efektif. Sekaligus hemat waktu.”
Kami semua terpesona. Sangat terpukau. Sampai-sampai semua pertanyaan yang kami rancang saat terlantar di Nusantara III, mendadak hilang. Tak bisa berpikir banyak. Hanya bisa “menyerah” menampung ide dan pemikiran sang guru. Kami kehilangan kata. Mungkin itu yang dirasakan oleh anak-anak gaul saat mereka bertemu artis pujaannya. Entahlah.
Tiga lebih separuh jam kami menunggu beliau. Terbayar lunas dalam pertemuan satu jam. Cukup. Sangat cukup. Bahkan untuk beberapa rekan, sepertinya lebih dari cukup. Selesai berfoto-foto dengan beliau, kami pun pamit dari rumah senayan. Tak berhenti kami membahas rasa senang yang sedang mendominasi dada. Sungguh, ceria. Tak mampu termaterikan. Alhamdulillah. 

Mari Bertarung Saudaraku



(Serial Aku dan KAMMI)
Taujih itu sangat berpengaruh. Menceritakan tentang doa nabi yang tidak dikabulkan oleh Allah SWT. Bahwa sepeninggal beliau, kaum muslimin mulai berpecah. Sungguh, beliau sangat sedih mengetahui hal itu. Setidaknya, sepersekian persen kesedihan itu yang sering saya dan beberapa teman rasakan. Kami harus berpecah dengan kelompok yang sama-sama lahir dari rahim mulia tarbiyah.
Kami tidak tahu sejak kapan dan bagaimana asal mulanya. Bahwa ada penggolongan kinerja dakwah yang begitu rigid, kaku, dan menyekat. Ini urusanku dan itu urusanmu. Kalimat ini seakan senada dengan “Lakum diinukum waliyadin” milik Allah. Tapi kami dan mereka tak berani menggunakannya. Khawatir terjadi ketersinggungan yang besar. Atau bahkan ketakutan itu bersumber dari kekhawatiran pengaduan si objek ucapan kepada para murobbi yang “sakti” dan “idu geni”.
Hampir selalu ada konflik berkepanjangan di akar rumput antara struktur komisariat – di manapun itu, dengan – yang kami muliakan, para pengurus struktur dakwah kampus. Mulai dari ranah kerja dakwah ‘ammah sampai pada kerja-kerja besar dan jihad siyasah syariah. Ini sungguh menghambat efektivitas kinerja masing-masing aktor. Apalagi jika hal ini sudah sampai pada “kuat-kuatan” dukungan para ustadz di daerah dan wilayah yang dilegalkan dengan “hasil syuro”. Berujung pada tarik menarik, ulur mengulur, gesek menggesek kader yang akan difungsikan menjadi dai-dai Allah. “Acara” ini sangat menyita waktu, tenaga, dan perhatian para pengurus KAMMI. Di semua level. Di semua tempat.
Hampir-hampir kejadian ini menjadi semakin tidak manusiawi ketika aktor yang menjadi objek penugasan ternyata tak pernah dimintai pendapat atas amanah yang akan diembannya. Ditambah dengan kemampuan bashirah penempatan kader dakwah yang tidak bisa dikatakan baik. Berakibat tidak tepatnya penempatan dan pendelegasian tugas untuk mengembangkan dakwah di kampus dan kalangan mahasiswa.
Lagi-lagi kita dihadapkan pada masalah yang jauh lebih cerdas ketimbang kecerdasan kita saat ini. Sehingga tak pernah hadir win-win solution yang mampu menjawab pertanyaan besar ini. Pasti ada yang terkorbankan. Bisa dari pihak pengurus struktur kampus. Atau yang juga tak bisa dikatakan jarang terjadi, perjanjian “hudaibiyah” yang harus diterima pihak komisariat dan pengurus daerah ketika kader yang telah lama dididiknya harus beranjak membesarkan pihak lain. Godaan untuk mengklaim atas jasa pendidikan, pasti mampir di kepala para pengurus. Meski sering kali akhirnya diterima dengan mendorong-dorong kelapangan dada.
Efek samping pun terjadi begitu hebatnya. Jika ada yang tak sesuai dengan prinsip struktur kampus, saudara di KAMMI sering dianggap (maaf) keluar dari jamaah karena ketidaktaatannya. Atau pengucilan pergaulan sosial di kalangan para ikhwah. KAMMI tak lagi disapa sebagai seorang saudara. Bahkan, mulai dilupakan dari database aktivis dakwah kampus.
Karenanya, melalui curhatan tertulis ini, kami ingin katakan kepada semua orang yang mengaku aktivis dakwah. Di manapun dia berada. Siapapun murobbinya. Apapun harokahnya. Dan berqunut atau tidak di shubuhnya. Bahwa kami sangat mencintai kalian semua. Apa adanya. Apapun harganya. Bahkan urat nadi, nafas, dan darah di tubuh pergerakan KAMMI memuliakan mereka dengan begitu sangat. Tanpa syarat.
Konsekuensi dari bentuk cinta kami dan KAMMI kepada mereka adalah dengan terus mendorong sekaligus menarik mereka untuk formulasi dakwah yang berada pada puncak optimalitas. Bukan minimalis dan asal ada. Bahwa manajemen dan pengaturan kita untuk dakwah yang mulia ini bukan kami gunakan untuk membesarkan KAMMI dan mengerdilkan yang lain. Sungguh kami tak pantas disebut kader dakwah jika ada saudara-saudara kami yang tersakiti atas sikap perbuatan kami. Meski baru menjadi ide yang “diakankan” dalam aksi nyata.
Tak pernah ada pertentangan di antara kita. Antara KAMMI dengan saudara di luar KAMMI. KAMMI hidup di atas prinsip untuk menghitung dengan cermat. Atas semua kemungkinan yang terjadi atas setiap sikap dan kata yang keluar dari lisan. Termasuk akibat apa yang terjadi setelah sebabnya terlakukan.
Di antara kita hanyalah terjadi kesalahan dan ketidakharmonisan komunikasi. Hanya itu. Sungguh, hanya itu. Tidak lebih, apalagi kurang. Karenanya, setiap lidi dan lini dakwah, siapapun dia, level kepemimpinan manapun dia, mari menjadi pelopor kebaikan budaya komunikasi antara para kader dakwah. Bukankah Allah sudah sampaikan kepada kita melalui firman-Nya:
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. (QS Ali Imran ayat 159)
Kelembutan hati yang dianjurkan oleh-Nya ternyata menjadi pedoman awal untuk bergerak sinergis dan harmonis dengan saling memaafkan, saling memohonkan ampun, dan saling bermusyawarah antara kita untuk menyongsong niat menegakkan hak Allah SWT di langit dan di bumi.
karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS Ali Imran ayat 159)
Hapuslah stigma keburukan antara setiap kita. Sesama aktor panggung dakwah. Baik di dalam KAMMI, apalagi terhadap pihak selainnya. Mari membangun bersama. Karena tak pernah ada bangunan dakwah yang gegap gempita kecuali jika dibangun oleh kebersamaan para hamba yang tulus mencinta pada-Nya.
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS Ash Shaaf ayat 4)
Kalimat suci di atas – yang saya yakin kebanyakan dari kita menghafalnya dengan baik, harus sudah mulai untuk diterjemahkan dalam kerja dakwah yang sangat nyata. Tak boleh hanya sekedar kata, apalagi  angan belaka. Mari perbaiki diri dengan segala kerendahan hati. Demi Ilahi yang (berusaha) kita cintai.






Contoh


(Serial Aku dan KAMMI)
Selalu. Apa yang dilakukan kita semua di KAMMI adalah dakwah. Pikirannya, perkataannya, obrolannya, candaannya, bahkan sampai igauannya. Karenanya tak mungkin dakwah ini dilakukan oleh orang-orang biasa yang tak mau dan tak mampu memahami kenikmatan ketaatan dan keimanan kepada Sang Maha Cinta. Nikmatnya bercapek ria demi hal yang hampir-hampir tak kasat indera. Dari kelas ke kelas, kampus ke kampus, bukit ke gunung, laut ke pantai, sampai kota ke kota dan provinsi, perjalanan yang ditempuh oleh kader-kader KAMMI. Untuk daurah, untuk silaturahmi, untuk membina komsat, untuk mengisi diskusi dan madrasah, untuk mendampingi desa binaan, dan untuk-untuk yang terlingkupi dalam aktivitas kader KAMMI.
Rutinitas yang luar biasa padat – bagi mereka yang serius mendidik diri di KAMMI, melahirkan sebuah godaan syaithoni: lelah. Kelelahan yang biasa terjadi akibat rutinitas gerak yang terkadang lupa termaknai. Ya, makna tentang hakikat gerak yang dilakukan. Bahwa semuanya bermuara kepada Allah. Tidak yang lain. Dan kelelahan ini biasanya mengundang saudara dekatnya; bosan. Dan kebosananlah yang dengan setia mengantar pada karakter kelemahan lain. Malas, futur, sampai akhirnya tak terdeteksi di database kader beriman.
Tapi tidak denganku kawan. Ini hampir tidak pernah terjadi pada diriku. Bukan karena aku hebat dan alim. Tapi karena aku selalu melihat saudara-saudaraku yang mulia (dan dimuliakan-Nya). Mulai dari struktur komisariat, daerah, wilayah, sampai pada pengurus pusat, selalu saja ada orang-orang yang menginspirasiku untuk tetap menjadi besar di KAMMI. Besar dari sudut pandang kapasitas, bukan posisi jabatan.
Baik, bacalah tulisanku ini hingga akhir. Sebut saja seorang al akh bernama Dian. Awal  pertemuanku dengannya di sebuah Daurah Marhalah. Kehadirannya memberikan kesan ceria. Tak jarang juga jadi lucu. Meskipun tak sedikit guyonan-nya menjadi crispy untuk diikuti. Hampir tak ada kata absen di dalam kamus aktivitas ke-KAMMI-annya. Sampai akhirnya Dian dipercaya memimpin saudara-saudara di sebuah tingkat struktur KAMMI di sebuah kota.
Perjalanan hidupnya tak bisa dikatakan mudah. Semenjak kuliah, dia tak bisa lagi merasakan kasih sayang ibu dan ayah. Yatim. Juga piatu. Kesulitan ekonomi waktu itu membuatnya tak mampu menetap di sebuah kost-an yang tetap. Pekerjaannya adalah berpindah dari satu kost-an ikhwah ke kost-an yang lain. Setiap hari. Bahkan hal ini membuatnya memiliki baju jemur (bahasa halus dari jemuran) di setiap kost-an. Setiap hari pula, isi tas yang dia bawa tak seperti mahasiswa pada umumnya. Selalu lebih besar. Kira-kira cukuplah kalo diisi anak usia 2 tahun.
Kakaknya pun tak begitu acuh dengan dirinya. Hanya menanyakan kabar. Sesekali memberikan uang saku yang tak jarang juga dipermasalahkan oleh istri sang kakak. Atau bahkan diminta kembali. Ditambah lagi biaya kuliah yang tentu saja bermasalah sebelum akhirnya dibereskan oleh para assatidz  dan masayekh di kampusnya. Jarang makan adalah menu makan tetapnya. Bahkan, jika ada sedikit uang dari hasil usahanya, dia lebih baik membeli pulsa ketimbang bensin perut. “Pulsa kan penting untuk koordinasi”, katanya. Hanya wajah ceria dan senyuman yang bisa menjadi pelariannya. Sampai kalimat ini dituliskan, tak pernah sekalipun ada keluhan yang keluar dari lisan Dian.
Tapi Dian tetaplah Dian. Dia punya kamus sendiri tentang hidup dan kehidupannya. Dan dia berhasil hidup di KAMMI. Karena keyakinannya terhadap Allah membuat dia total berada di struktur ini. Tanpa jeda, tanpa cela. Dian yakin bahwa “jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” adalah yang dia kejar dan sedang lakukan. Maka gerakannya membuat saya juga tergerak. Selalu. Meski saya selalu kalah dalam nilai kehadiran jasad.
Dia pemimpin. Dia inspirator. Dia manajer. Juga sahabat yang baik. Hal itu yang selalu kuingat dari dirinya. Itu pula yang sering membuatku malu untuk tak hadir di daurah. Untuk menyampaikan izin keterlambatan di muker. Untuk absen di aksi-aksi lokal maupun ibukota. Karena walau bagaimanapun masalahku (dan mungkin juga masalahmu kawan) tak sepelik apa yang Dian hadapi.
Coba kau tengok handphone-mu. Saat ini juga tentu sangat mudah kan kau tekan nomor HP orang tuamu. Kita bisa ngobrol banyak dengan keduanya. Dalam keadaan yang senang dan menyenangkan. Sekarang, coba buka dompetmu. Jangan kau lihat foto dirimu atau dirinya yang menjadi incaranmu, tapi lihat kartu ATM yang diberikan abi ummi-mu. Kalaupun sekarang juga kau pergi ke mesin ATM atau “menggeseknya” dengan caramu, kau juga tak perlu risau tentang uang kan.
Coba lihat hasil studimu semester ini. Aman kan? Belum “syahid” gara-gara status mahasiswa ber-IPK nasakom (nasib satu koma). Jika nilai itu sering dianggap jelek dan menjadi penghalang aktivitas dakwah di KAMMI, jujurlah bertanya: “nilai jelek karena terlalu sibuk berdakwah atau sibuk dengan alasan dakwah?”. Dan jika kau teruskan kawan, begitu banyak masalah yang menimpamu, yang ternyata tidak sedahsyat apa yang Dian rasakan. Maka, apakah kau juga mulai malu seperti aku malu melihat aktivitas Dian. Atau jangan-jangan kau tetap saja masa bodoh dengan tulisan ini? Naudzubillah.
Masih banyak Dian yang tak kutuliskan disini saudaraku. Karena cukuplah satu Dian menjadi contoh kebaikan kita untuk menghabiskan masa muda dalam ketaatan dan kemanfaatan. Biar nggak rugi, menyesali, dan ingin kembali. Maka...mari.
“Di dunia ini ya kita harus capek-capeklah. Rapat, diskusi, daurah, apa saja. Nggak pa pa. Karena istirahatnya orang beriman itu ya di syurga” (M. Ilyas, Lc – Ketua Umum PP KAMMI 2011-2013)