(Serial Aku dan KAMMI)
Selalu. Apa yang dilakukan kita semua di KAMMI adalah
dakwah. Pikirannya, perkataannya, obrolannya, candaannya, bahkan sampai
igauannya. Karenanya tak mungkin dakwah ini dilakukan oleh orang-orang biasa
yang tak mau dan tak mampu memahami kenikmatan ketaatan dan keimanan kepada
Sang Maha Cinta. Nikmatnya bercapek ria demi hal yang hampir-hampir tak kasat
indera. Dari kelas ke kelas, kampus ke kampus, bukit ke gunung, laut ke pantai,
sampai kota ke kota dan provinsi, perjalanan yang ditempuh oleh kader-kader KAMMI.
Untuk daurah, untuk silaturahmi, untuk membina komsat, untuk mengisi diskusi
dan madrasah, untuk mendampingi desa binaan, dan untuk-untuk yang terlingkupi
dalam aktivitas kader KAMMI.
Rutinitas yang luar biasa padat – bagi mereka yang serius
mendidik diri di KAMMI, melahirkan sebuah godaan syaithoni: lelah. Kelelahan
yang biasa terjadi akibat rutinitas gerak yang terkadang lupa termaknai. Ya,
makna tentang hakikat gerak yang dilakukan. Bahwa semuanya bermuara kepada
Allah. Tidak yang lain. Dan kelelahan ini biasanya mengundang saudara dekatnya;
bosan. Dan kebosananlah yang dengan setia mengantar pada karakter kelemahan
lain. Malas, futur, sampai akhirnya
tak terdeteksi di database kader
beriman.
Tapi tidak denganku kawan. Ini hampir tidak pernah
terjadi pada diriku. Bukan karena aku hebat dan alim. Tapi karena aku selalu
melihat saudara-saudaraku yang mulia (dan dimuliakan-Nya). Mulai dari struktur
komisariat, daerah, wilayah, sampai pada pengurus pusat, selalu saja ada
orang-orang yang menginspirasiku untuk tetap menjadi besar di KAMMI. Besar dari
sudut pandang kapasitas, bukan posisi jabatan.
Baik, bacalah tulisanku ini hingga akhir. Sebut saja
seorang al akh bernama Dian. Awal pertemuanku dengannya di sebuah Daurah
Marhalah. Kehadirannya memberikan kesan ceria. Tak jarang juga jadi lucu.
Meskipun tak sedikit guyonan-nya
menjadi crispy untuk diikuti. Hampir
tak ada kata absen di dalam kamus aktivitas ke-KAMMI-annya. Sampai akhirnya Dian
dipercaya memimpin saudara-saudara di sebuah tingkat struktur KAMMI di sebuah
kota.
Perjalanan hidupnya tak bisa dikatakan mudah. Semenjak
kuliah, dia tak bisa lagi merasakan kasih sayang ibu dan ayah. Yatim. Juga
piatu. Kesulitan ekonomi waktu itu membuatnya tak mampu menetap di sebuah kost-an yang tetap. Pekerjaannya adalah
berpindah dari satu kost-an ikhwah ke kost-an yang lain. Setiap hari. Bahkan hal ini membuatnya memiliki
baju jemur (bahasa halus dari jemuran) di setiap kost-an. Setiap hari pula, isi tas yang dia bawa tak seperti
mahasiswa pada umumnya. Selalu lebih besar. Kira-kira cukuplah kalo diisi anak
usia 2 tahun.
Kakaknya pun tak begitu acuh dengan dirinya. Hanya
menanyakan kabar. Sesekali memberikan uang saku yang tak jarang juga
dipermasalahkan oleh istri sang kakak. Atau bahkan diminta kembali. Ditambah
lagi biaya kuliah yang tentu saja bermasalah sebelum akhirnya dibereskan oleh
para assatidz dan masayekh
di kampusnya. Jarang makan adalah menu makan tetapnya. Bahkan, jika ada sedikit
uang dari hasil usahanya, dia lebih baik membeli pulsa ketimbang bensin perut.
“Pulsa kan penting untuk koordinasi”, katanya. Hanya wajah ceria dan senyuman
yang bisa menjadi pelariannya. Sampai kalimat ini dituliskan, tak pernah
sekalipun ada keluhan yang keluar dari lisan Dian.
Tapi Dian tetaplah Dian. Dia punya kamus sendiri tentang
hidup dan kehidupannya. Dan dia berhasil hidup di KAMMI. Karena keyakinannya
terhadap Allah membuat dia total berada di struktur ini. Tanpa jeda, tanpa
cela. Dian yakin bahwa “jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan
menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” adalah yang dia kejar dan sedang
lakukan. Maka gerakannya membuat saya juga tergerak. Selalu. Meski saya selalu
kalah dalam nilai kehadiran jasad.
Dia pemimpin. Dia inspirator. Dia manajer. Juga sahabat
yang baik. Hal itu yang selalu kuingat dari dirinya. Itu pula yang sering
membuatku malu untuk tak hadir di daurah. Untuk menyampaikan izin keterlambatan
di muker. Untuk absen di aksi-aksi
lokal maupun ibukota. Karena walau bagaimanapun masalahku (dan mungkin juga
masalahmu kawan) tak sepelik apa yang Dian hadapi.
Coba kau tengok handphone-mu.
Saat ini juga tentu sangat mudah kan kau tekan nomor HP orang tuamu. Kita bisa ngobrol banyak dengan keduanya. Dalam
keadaan yang senang dan menyenangkan. Sekarang, coba buka dompetmu. Jangan kau
lihat foto dirimu atau dirinya yang menjadi incaranmu, tapi lihat kartu ATM
yang diberikan abi ummi-mu. Kalaupun
sekarang juga kau pergi ke mesin ATM atau “menggeseknya” dengan caramu, kau
juga tak perlu risau tentang uang kan.
Coba lihat hasil studimu semester ini. Aman kan? Belum
“syahid” gara-gara status mahasiswa ber-IPK nasakom (nasib satu koma). Jika
nilai itu sering dianggap jelek dan menjadi penghalang aktivitas dakwah di KAMMI, jujurlah bertanya:
“nilai jelek karena terlalu sibuk berdakwah atau sibuk dengan alasan dakwah?”. Dan jika kau teruskan
kawan, begitu banyak masalah yang menimpamu, yang ternyata tidak sedahsyat apa
yang Dian rasakan. Maka, apakah kau juga mulai malu seperti aku malu melihat
aktivitas Dian. Atau jangan-jangan kau tetap saja masa bodoh dengan tulisan
ini? Naudzubillah.
Masih banyak Dian yang tak kutuliskan disini saudaraku.
Karena cukuplah satu Dian menjadi contoh kebaikan kita untuk menghabiskan masa
muda dalam ketaatan dan kemanfaatan. Biar nggak
rugi, menyesali, dan ingin kembali. Maka...mari.
“Di dunia ini ya kita harus capek-capeklah. Rapat,
diskusi, daurah, apa saja. Nggak pa pa. Karena
istirahatnya orang beriman itu ya di syurga” (M. Ilyas, Lc – Ketua Umum PP KAMMI
2011-2013)
0 komentar:
Posting Komentar