Rabu, 06 Maret 2013

Contoh


(Serial Aku dan KAMMI)
Selalu. Apa yang dilakukan kita semua di KAMMI adalah dakwah. Pikirannya, perkataannya, obrolannya, candaannya, bahkan sampai igauannya. Karenanya tak mungkin dakwah ini dilakukan oleh orang-orang biasa yang tak mau dan tak mampu memahami kenikmatan ketaatan dan keimanan kepada Sang Maha Cinta. Nikmatnya bercapek ria demi hal yang hampir-hampir tak kasat indera. Dari kelas ke kelas, kampus ke kampus, bukit ke gunung, laut ke pantai, sampai kota ke kota dan provinsi, perjalanan yang ditempuh oleh kader-kader KAMMI. Untuk daurah, untuk silaturahmi, untuk membina komsat, untuk mengisi diskusi dan madrasah, untuk mendampingi desa binaan, dan untuk-untuk yang terlingkupi dalam aktivitas kader KAMMI.
Rutinitas yang luar biasa padat – bagi mereka yang serius mendidik diri di KAMMI, melahirkan sebuah godaan syaithoni: lelah. Kelelahan yang biasa terjadi akibat rutinitas gerak yang terkadang lupa termaknai. Ya, makna tentang hakikat gerak yang dilakukan. Bahwa semuanya bermuara kepada Allah. Tidak yang lain. Dan kelelahan ini biasanya mengundang saudara dekatnya; bosan. Dan kebosananlah yang dengan setia mengantar pada karakter kelemahan lain. Malas, futur, sampai akhirnya tak terdeteksi di database kader beriman.
Tapi tidak denganku kawan. Ini hampir tidak pernah terjadi pada diriku. Bukan karena aku hebat dan alim. Tapi karena aku selalu melihat saudara-saudaraku yang mulia (dan dimuliakan-Nya). Mulai dari struktur komisariat, daerah, wilayah, sampai pada pengurus pusat, selalu saja ada orang-orang yang menginspirasiku untuk tetap menjadi besar di KAMMI. Besar dari sudut pandang kapasitas, bukan posisi jabatan.
Baik, bacalah tulisanku ini hingga akhir. Sebut saja seorang al akh bernama Dian. Awal  pertemuanku dengannya di sebuah Daurah Marhalah. Kehadirannya memberikan kesan ceria. Tak jarang juga jadi lucu. Meskipun tak sedikit guyonan-nya menjadi crispy untuk diikuti. Hampir tak ada kata absen di dalam kamus aktivitas ke-KAMMI-annya. Sampai akhirnya Dian dipercaya memimpin saudara-saudara di sebuah tingkat struktur KAMMI di sebuah kota.
Perjalanan hidupnya tak bisa dikatakan mudah. Semenjak kuliah, dia tak bisa lagi merasakan kasih sayang ibu dan ayah. Yatim. Juga piatu. Kesulitan ekonomi waktu itu membuatnya tak mampu menetap di sebuah kost-an yang tetap. Pekerjaannya adalah berpindah dari satu kost-an ikhwah ke kost-an yang lain. Setiap hari. Bahkan hal ini membuatnya memiliki baju jemur (bahasa halus dari jemuran) di setiap kost-an. Setiap hari pula, isi tas yang dia bawa tak seperti mahasiswa pada umumnya. Selalu lebih besar. Kira-kira cukuplah kalo diisi anak usia 2 tahun.
Kakaknya pun tak begitu acuh dengan dirinya. Hanya menanyakan kabar. Sesekali memberikan uang saku yang tak jarang juga dipermasalahkan oleh istri sang kakak. Atau bahkan diminta kembali. Ditambah lagi biaya kuliah yang tentu saja bermasalah sebelum akhirnya dibereskan oleh para assatidz  dan masayekh di kampusnya. Jarang makan adalah menu makan tetapnya. Bahkan, jika ada sedikit uang dari hasil usahanya, dia lebih baik membeli pulsa ketimbang bensin perut. “Pulsa kan penting untuk koordinasi”, katanya. Hanya wajah ceria dan senyuman yang bisa menjadi pelariannya. Sampai kalimat ini dituliskan, tak pernah sekalipun ada keluhan yang keluar dari lisan Dian.
Tapi Dian tetaplah Dian. Dia punya kamus sendiri tentang hidup dan kehidupannya. Dan dia berhasil hidup di KAMMI. Karena keyakinannya terhadap Allah membuat dia total berada di struktur ini. Tanpa jeda, tanpa cela. Dian yakin bahwa “jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” adalah yang dia kejar dan sedang lakukan. Maka gerakannya membuat saya juga tergerak. Selalu. Meski saya selalu kalah dalam nilai kehadiran jasad.
Dia pemimpin. Dia inspirator. Dia manajer. Juga sahabat yang baik. Hal itu yang selalu kuingat dari dirinya. Itu pula yang sering membuatku malu untuk tak hadir di daurah. Untuk menyampaikan izin keterlambatan di muker. Untuk absen di aksi-aksi lokal maupun ibukota. Karena walau bagaimanapun masalahku (dan mungkin juga masalahmu kawan) tak sepelik apa yang Dian hadapi.
Coba kau tengok handphone-mu. Saat ini juga tentu sangat mudah kan kau tekan nomor HP orang tuamu. Kita bisa ngobrol banyak dengan keduanya. Dalam keadaan yang senang dan menyenangkan. Sekarang, coba buka dompetmu. Jangan kau lihat foto dirimu atau dirinya yang menjadi incaranmu, tapi lihat kartu ATM yang diberikan abi ummi-mu. Kalaupun sekarang juga kau pergi ke mesin ATM atau “menggeseknya” dengan caramu, kau juga tak perlu risau tentang uang kan.
Coba lihat hasil studimu semester ini. Aman kan? Belum “syahid” gara-gara status mahasiswa ber-IPK nasakom (nasib satu koma). Jika nilai itu sering dianggap jelek dan menjadi penghalang aktivitas dakwah di KAMMI, jujurlah bertanya: “nilai jelek karena terlalu sibuk berdakwah atau sibuk dengan alasan dakwah?”. Dan jika kau teruskan kawan, begitu banyak masalah yang menimpamu, yang ternyata tidak sedahsyat apa yang Dian rasakan. Maka, apakah kau juga mulai malu seperti aku malu melihat aktivitas Dian. Atau jangan-jangan kau tetap saja masa bodoh dengan tulisan ini? Naudzubillah.
Masih banyak Dian yang tak kutuliskan disini saudaraku. Karena cukuplah satu Dian menjadi contoh kebaikan kita untuk menghabiskan masa muda dalam ketaatan dan kemanfaatan. Biar nggak rugi, menyesali, dan ingin kembali. Maka...mari.
“Di dunia ini ya kita harus capek-capeklah. Rapat, diskusi, daurah, apa saja. Nggak pa pa. Karena istirahatnya orang beriman itu ya di syurga” (M. Ilyas, Lc – Ketua Umum PP KAMMI 2011-2013)

0 komentar:

Posting Komentar