Rabu, 06 Maret 2013

Mari Bertarung Saudaraku



(Serial Aku dan KAMMI)
Taujih itu sangat berpengaruh. Menceritakan tentang doa nabi yang tidak dikabulkan oleh Allah SWT. Bahwa sepeninggal beliau, kaum muslimin mulai berpecah. Sungguh, beliau sangat sedih mengetahui hal itu. Setidaknya, sepersekian persen kesedihan itu yang sering saya dan beberapa teman rasakan. Kami harus berpecah dengan kelompok yang sama-sama lahir dari rahim mulia tarbiyah.
Kami tidak tahu sejak kapan dan bagaimana asal mulanya. Bahwa ada penggolongan kinerja dakwah yang begitu rigid, kaku, dan menyekat. Ini urusanku dan itu urusanmu. Kalimat ini seakan senada dengan “Lakum diinukum waliyadin” milik Allah. Tapi kami dan mereka tak berani menggunakannya. Khawatir terjadi ketersinggungan yang besar. Atau bahkan ketakutan itu bersumber dari kekhawatiran pengaduan si objek ucapan kepada para murobbi yang “sakti” dan “idu geni”.
Hampir selalu ada konflik berkepanjangan di akar rumput antara struktur komisariat – di manapun itu, dengan – yang kami muliakan, para pengurus struktur dakwah kampus. Mulai dari ranah kerja dakwah ‘ammah sampai pada kerja-kerja besar dan jihad siyasah syariah. Ini sungguh menghambat efektivitas kinerja masing-masing aktor. Apalagi jika hal ini sudah sampai pada “kuat-kuatan” dukungan para ustadz di daerah dan wilayah yang dilegalkan dengan “hasil syuro”. Berujung pada tarik menarik, ulur mengulur, gesek menggesek kader yang akan difungsikan menjadi dai-dai Allah. “Acara” ini sangat menyita waktu, tenaga, dan perhatian para pengurus KAMMI. Di semua level. Di semua tempat.
Hampir-hampir kejadian ini menjadi semakin tidak manusiawi ketika aktor yang menjadi objek penugasan ternyata tak pernah dimintai pendapat atas amanah yang akan diembannya. Ditambah dengan kemampuan bashirah penempatan kader dakwah yang tidak bisa dikatakan baik. Berakibat tidak tepatnya penempatan dan pendelegasian tugas untuk mengembangkan dakwah di kampus dan kalangan mahasiswa.
Lagi-lagi kita dihadapkan pada masalah yang jauh lebih cerdas ketimbang kecerdasan kita saat ini. Sehingga tak pernah hadir win-win solution yang mampu menjawab pertanyaan besar ini. Pasti ada yang terkorbankan. Bisa dari pihak pengurus struktur kampus. Atau yang juga tak bisa dikatakan jarang terjadi, perjanjian “hudaibiyah” yang harus diterima pihak komisariat dan pengurus daerah ketika kader yang telah lama dididiknya harus beranjak membesarkan pihak lain. Godaan untuk mengklaim atas jasa pendidikan, pasti mampir di kepala para pengurus. Meski sering kali akhirnya diterima dengan mendorong-dorong kelapangan dada.
Efek samping pun terjadi begitu hebatnya. Jika ada yang tak sesuai dengan prinsip struktur kampus, saudara di KAMMI sering dianggap (maaf) keluar dari jamaah karena ketidaktaatannya. Atau pengucilan pergaulan sosial di kalangan para ikhwah. KAMMI tak lagi disapa sebagai seorang saudara. Bahkan, mulai dilupakan dari database aktivis dakwah kampus.
Karenanya, melalui curhatan tertulis ini, kami ingin katakan kepada semua orang yang mengaku aktivis dakwah. Di manapun dia berada. Siapapun murobbinya. Apapun harokahnya. Dan berqunut atau tidak di shubuhnya. Bahwa kami sangat mencintai kalian semua. Apa adanya. Apapun harganya. Bahkan urat nadi, nafas, dan darah di tubuh pergerakan KAMMI memuliakan mereka dengan begitu sangat. Tanpa syarat.
Konsekuensi dari bentuk cinta kami dan KAMMI kepada mereka adalah dengan terus mendorong sekaligus menarik mereka untuk formulasi dakwah yang berada pada puncak optimalitas. Bukan minimalis dan asal ada. Bahwa manajemen dan pengaturan kita untuk dakwah yang mulia ini bukan kami gunakan untuk membesarkan KAMMI dan mengerdilkan yang lain. Sungguh kami tak pantas disebut kader dakwah jika ada saudara-saudara kami yang tersakiti atas sikap perbuatan kami. Meski baru menjadi ide yang “diakankan” dalam aksi nyata.
Tak pernah ada pertentangan di antara kita. Antara KAMMI dengan saudara di luar KAMMI. KAMMI hidup di atas prinsip untuk menghitung dengan cermat. Atas semua kemungkinan yang terjadi atas setiap sikap dan kata yang keluar dari lisan. Termasuk akibat apa yang terjadi setelah sebabnya terlakukan.
Di antara kita hanyalah terjadi kesalahan dan ketidakharmonisan komunikasi. Hanya itu. Sungguh, hanya itu. Tidak lebih, apalagi kurang. Karenanya, setiap lidi dan lini dakwah, siapapun dia, level kepemimpinan manapun dia, mari menjadi pelopor kebaikan budaya komunikasi antara para kader dakwah. Bukankah Allah sudah sampaikan kepada kita melalui firman-Nya:
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. (QS Ali Imran ayat 159)
Kelembutan hati yang dianjurkan oleh-Nya ternyata menjadi pedoman awal untuk bergerak sinergis dan harmonis dengan saling memaafkan, saling memohonkan ampun, dan saling bermusyawarah antara kita untuk menyongsong niat menegakkan hak Allah SWT di langit dan di bumi.
karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS Ali Imran ayat 159)
Hapuslah stigma keburukan antara setiap kita. Sesama aktor panggung dakwah. Baik di dalam KAMMI, apalagi terhadap pihak selainnya. Mari membangun bersama. Karena tak pernah ada bangunan dakwah yang gegap gempita kecuali jika dibangun oleh kebersamaan para hamba yang tulus mencinta pada-Nya.
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS Ash Shaaf ayat 4)
Kalimat suci di atas – yang saya yakin kebanyakan dari kita menghafalnya dengan baik, harus sudah mulai untuk diterjemahkan dalam kerja dakwah yang sangat nyata. Tak boleh hanya sekedar kata, apalagi  angan belaka. Mari perbaiki diri dengan segala kerendahan hati. Demi Ilahi yang (berusaha) kita cintai.






0 komentar:

Posting Komentar