(Serial Aku dan KAMMI)
Taujih itu sangat berpengaruh. Menceritakan tentang doa
nabi yang tidak dikabulkan oleh Allah SWT. Bahwa sepeninggal beliau, kaum
muslimin mulai berpecah. Sungguh, beliau sangat sedih mengetahui hal itu. Setidaknya,
sepersekian persen kesedihan itu yang sering saya dan beberapa teman rasakan. Kami
harus berpecah dengan kelompok yang sama-sama lahir dari rahim mulia tarbiyah.
Kami tidak tahu sejak kapan dan bagaimana asal mulanya. Bahwa
ada penggolongan kinerja dakwah yang begitu rigid, kaku, dan menyekat. Ini
urusanku dan itu urusanmu. Kalimat ini seakan senada dengan “Lakum diinukum
waliyadin” milik Allah. Tapi kami dan mereka tak berani menggunakannya.
Khawatir terjadi ketersinggungan yang besar. Atau bahkan ketakutan itu bersumber
dari kekhawatiran pengaduan si objek ucapan kepada para murobbi yang “sakti”
dan “idu geni”.
Hampir selalu ada konflik berkepanjangan di akar rumput
antara struktur komisariat – di manapun itu, dengan – yang kami muliakan, para
pengurus struktur dakwah kampus. Mulai dari ranah kerja dakwah ‘ammah sampai
pada kerja-kerja besar dan jihad siyasah syariah. Ini sungguh menghambat
efektivitas kinerja masing-masing aktor. Apalagi jika hal ini sudah sampai pada
“kuat-kuatan” dukungan para ustadz di daerah dan wilayah yang dilegalkan dengan
“hasil syuro”. Berujung pada tarik menarik, ulur mengulur, gesek menggesek
kader yang akan difungsikan menjadi dai-dai Allah. “Acara” ini sangat menyita
waktu, tenaga, dan perhatian para pengurus KAMMI. Di semua level. Di semua tempat.
Hampir-hampir kejadian ini menjadi semakin tidak
manusiawi ketika aktor yang menjadi objek penugasan ternyata tak pernah
dimintai pendapat atas amanah yang akan diembannya. Ditambah dengan kemampuan bashirah
penempatan kader dakwah yang tidak bisa dikatakan baik. Berakibat tidak
tepatnya penempatan dan pendelegasian tugas untuk mengembangkan dakwah di
kampus dan kalangan mahasiswa.
Lagi-lagi kita dihadapkan pada masalah yang jauh lebih
cerdas ketimbang kecerdasan kita saat ini. Sehingga tak pernah hadir win-win solution yang mampu menjawab
pertanyaan besar ini. Pasti ada yang terkorbankan. Bisa dari pihak pengurus
struktur kampus. Atau yang juga tak bisa dikatakan jarang terjadi, perjanjian “hudaibiyah”
yang harus diterima pihak komisariat dan pengurus daerah ketika kader yang
telah lama dididiknya harus beranjak membesarkan pihak lain. Godaan untuk
mengklaim atas jasa pendidikan, pasti mampir di kepala para pengurus. Meski
sering kali akhirnya diterima dengan mendorong-dorong kelapangan dada.
Efek samping pun terjadi begitu hebatnya. Jika ada yang
tak sesuai dengan prinsip struktur kampus, saudara di KAMMI sering dianggap
(maaf) keluar dari jamaah karena ketidaktaatannya. Atau pengucilan pergaulan
sosial di kalangan para ikhwah. KAMMI
tak lagi disapa sebagai seorang saudara. Bahkan, mulai dilupakan dari database aktivis dakwah kampus.
Karenanya, melalui curhatan tertulis ini, kami ingin
katakan kepada semua orang yang mengaku aktivis dakwah. Di manapun dia berada.
Siapapun murobbinya. Apapun harokahnya. Dan berqunut atau tidak di shubuhnya.
Bahwa kami sangat mencintai kalian semua. Apa adanya. Apapun harganya. Bahkan
urat nadi, nafas, dan darah di tubuh pergerakan KAMMI memuliakan mereka dengan
begitu sangat. Tanpa syarat.
Konsekuensi dari bentuk cinta kami dan KAMMI kepada
mereka adalah dengan terus mendorong sekaligus menarik mereka untuk formulasi
dakwah yang berada pada puncak optimalitas. Bukan minimalis dan asal ada. Bahwa
manajemen dan pengaturan kita untuk dakwah yang mulia ini bukan kami gunakan
untuk membesarkan KAMMI dan mengerdilkan yang lain. Sungguh kami tak pantas
disebut kader dakwah jika ada saudara-saudara kami yang tersakiti atas sikap
perbuatan kami. Meski baru menjadi ide yang “diakankan” dalam aksi nyata.
Tak pernah ada pertentangan di antara kita. Antara KAMMI
dengan saudara di luar KAMMI. KAMMI hidup di atas prinsip untuk menghitung
dengan cermat. Atas semua kemungkinan yang terjadi atas setiap sikap dan kata
yang keluar dari lisan. Termasuk akibat apa yang terjadi setelah sebabnya
terlakukan.
Di antara kita hanyalah terjadi kesalahan dan
ketidakharmonisan komunikasi. Hanya itu. Sungguh, hanya itu. Tidak lebih,
apalagi kurang. Karenanya, setiap lidi dan lini dakwah, siapapun dia, level kepemimpinan
manapun dia, mari menjadi pelopor kebaikan budaya komunikasi antara para kader
dakwah. Bukankah Allah sudah sampaikan kepada kita melalui firman-Nya:
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. (QS Ali Imran ayat 159)
Kelembutan hati yang dianjurkan oleh-Nya ternyata menjadi
pedoman awal untuk bergerak sinergis dan harmonis dengan saling memaafkan,
saling memohonkan ampun, dan saling bermusyawarah antara kita untuk menyongsong
niat menegakkan hak Allah SWT di langit dan di bumi.
karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS Ali Imran ayat 159)
Hapuslah stigma keburukan antara setiap kita. Sesama
aktor panggung dakwah. Baik di dalam KAMMI, apalagi terhadap pihak selainnya. Mari
membangun bersama. Karena tak pernah ada bangunan dakwah yang gegap gempita
kecuali jika dibangun oleh kebersamaan para hamba yang tulus mencinta pada-Nya.
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang
dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu
bangunan yang tersusun kokoh.” (QS Ash Shaaf ayat 4)
Kalimat suci di atas – yang saya yakin kebanyakan dari
kita menghafalnya dengan baik, harus sudah mulai untuk diterjemahkan dalam
kerja dakwah yang sangat nyata. Tak boleh hanya sekedar kata, apalagi angan belaka. Mari perbaiki diri dengan
segala kerendahan hati. Demi Ilahi yang (berusaha) kita cintai.
0 komentar:
Posting Komentar