Selasa, 11 Februari 2014

Tentang Sukses

Sering salah paham. Ya. Kamu dan aku. Beberapa diantaranya karena sengaja. Sengaja untuk tak mencari informasi yang benar. Dan dengan setia, menggunakan asumsi dan anggapan. Untuk menyelamatkan kewibawaan semu dan harga diri membayang. Bahkan saat terdesak pun bukanlah kejujuran yang hadir. Melainkan muslihat terbungkus daun kebenaran. Sekaligus catatan kebanggaan karena telah mampu membanting lawan sekaligus mitra kehidupan dengan opini-opini bombastis. Meski, sekali lagi, kesalahan yang menjadi topik inti.

Termasuk tentang kesuksesan. Apa artinya. Bagaimana penjabarannya. Dan bagaimana rupa bentuk dan morfologinya. Kita - anda dan saya., sering kali menganggap dan memahami sukses secara sangat sederhana. Cenderung simplifikatif. Sampai-sampai kita dengan egois melupakan ide inti dari nilai kesuksesan.

Bahwa sukses adalah kemantapan finansial, keberlimpahan gelar dunia, kasta sosial yang hampir menyaingi Tuhan, hingga gelombang-gelombang gemerlap yang nisbi nilai kebenaran dan kesalahannya. Hingga akhirnya ambiguitas nilai mulai menjangkit, meluas di tengah entitas sosial, dan menjadi anggapan umum serta kebenaran yang (sementara) dianggap hakiki.

Karenanya...kebingungan kita (semoga hanya saya dan bukan anda), sering kali menjadi ide yang dimampatkan dalam realitas. Sehingga begitu ada ruang terbuka untuk menghempaskannya, ledakan pikiran ini tidak siap diterima di hampir setiap kalangan. Bahkan, ketika ada suara-suara ideologis berbasis kebebasan berpendapat hadir, dianggapnya sebagai ancaman dan individu yang akan mengancam ekosistem kehidupan yang dianggap ideal. Hasilnya...para penghempas kebebasan dibunuh secara sistematik, rapi, terstruktur, dan biadab. Mengabaikan hak-hak sosialnya, merusak asumsi citranya, dan akhirnya tersingkir dari pertarungan dunia di panggung sandiwara.

Muhammad (SAW) dan kroninya serta backup dan bala tentaranya hadir. Untuk menjadi duta kebenaran. Sekedar menyampaikan apa yang tidak dia rumuskan. Tapi dirinya menjadi contoh atas apa yang dia lisankan dari bibirnya. Hingga kokoh tiap poin nilai yang ingin dia kembangkan, ajarkan, dan wariskan.

Termasuk tentang arti kesuksesan yang sejati. Kesejatian yang bisa menentramkan. Bukan mainan buatan yang hanya mampu dimainkan di tepian. Hingga akhirnya menjadi buangan yang dilupakan.

Maka Muhammad SAW bersama Tuhannya merumuskan sebuah nilai kehidupan yang dahsyat tanpa menggaungkan kejumawaan. Benar, kesuksesan yang hanya bisa diraih oleh hati yang mau untuk sedikit mengosongkan ruang agar bisa dimasuki tanpa friksi. Kesuksesan yang hanya bisa diraih dengan hati mulia


"Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu" (QS. 49:13)

Karenanya...aku pun bingung kawan, atas kesuksesan yang ternilai di masyarakat. Tapi di tengah kebingunganku itu, aku berharap cuma aku yang menderita. Dan bukan kalian, kamu, apalagi kita. (AA)




Senin, 10 Februari 2014

(tetap) Merasa Kosong

Perjalanan. Yang membuat saya beruntung. Bukan karena jauhnya jarak yang harus ditempuh. Melainkan besarnya usaha untuk menemukan sebuah hal baru. Ide, retorika yang menjadi kerangka berpikir, dan inspirasi-motivasional yang terlalu indah untuk dilupakan. Meski tetap ada perih dan luka yang menghiasi jasad kehidupan.

Selama tujuh tahun berkelana di secuil bagian dari kota hujan. Ratusan kali mondar-mandir ibukota. Bahkan puluhan kali di antaranya hanya dalam rangka ":mengencingi" ibukota yang dipenuhi sesak jejal manusia. Mengikuti berbagai banyak pertemuan formal dan style warkop. Bertemu dengan sekian banyak manusia yang dianggap tokoh dan dewa di pakarnya dengan segala ide, rasio, dan pemahaman terhadap hidup dan kehidupan. Dimulai dari aspek terkecil hingga filosofi mendasar. Yang membuatnya berbeda dengan orang lain, bahkan dengan dirinya sendiri.

Kanan, kiri, poros tengah, dan aliansi status quo pun turut serta memeriahkan ide yang membuncah liar dan bebas di kepala. Namun, tetap rapi dan solid pada tuturan lisan, gerakan mata, lambaian tangan, dan ayunan langkah-langkah kaki para raja kecil. Hingga akhirnya....saat untuk menentukan keputusan dan kesimpulan hadir mengetuk pintu relung hati yang sederhana tanpa singgasana yang mulia. Karena tetap sadar, tak ada yang mulia untuk kemudian dihamba. Juga tak ada manusia yang begitu hina sampai pantas untuk dinista. Kecuali pada asbab yang nyata dan berakar pada prinsip yang tak boleh nisbi.

Kesimpulan itu....yang akhirnya berani kupegang kawan. Prinsip yang menurut orang kebanyakan adalah benar, tapi mereka naif untuk menancapkannya, apalagi melakukannya. Ya. Begitulah manusia. Ras Homo Sapiens yang menurut ilmuwan adalah makhluk tercerdas yang bisa berjalan di bulatan planet ini, sampai saat ini.

Bahwa....tak ada manusia yang berhak merasa unggul dari yang lain. Dalam bidang apapun. Apalagi pada bidang ilmu dan pengalaman. Tidak.

Sehingga kita bisa dan puas tertawa terbahak-bahak jika ada manusia - siapapun dan apapun entitasnya, yang merasa dan berlaku serta bersikap lebih mulia, pintar, dan tahu akan sesuatu. Walaupun kita mungkin paham bahwa dia lebih tahu dari kita. Tapi tidaklah demikian kepantasan seorang bijak dalam bersikap dan memperlakukan manusia lain yang tak sepandai dirinya. Kepandaian yang kokoh selayaknya melahirkan kebijaksanaan dalam membimbing manusia lain untuk mencapai level yang (setidaknya) setara dengan dirinya. Bukan mencemoohnya, membunuh harga dirinya (dengan menelanjangi kesederhanaan intelektualnya) di depan umum, apalagi mengatakan "Aku lebih baik darimu". Ucapan yang akhirnya membuat seonggok malaikat diapikan oleh Tuhanku, dilaknat,, dan akhirnya diusir terhina. Tidak, tidak ada yang pintar di dunia ini. Karena hanya Dia Yang Maha Pintar. Dan karenanya, hanya Dia pula yang patut untuk sombong.

Tertawa kita akan lebih hebat lagi jika ternyata ada orang yang merasa dirinya baik, pintar, dan mulia, namun kita tahu persis bahwa dirinya tak seperti itu. Kecelakaanlah baginya....kecelakaannlah baginya. Otak tak seberapa, hati pun tak mulia, tapi merasa dikelilingi singgasana. Padahal semuanya hanya semu saja. Mari kita kasihani makhluk seperti ini. hatinya tak seluas ruang di rongga perutnya.

Sahabat....aku tahu, kalian lebih baik dan mulia dariku. Tapi merasa mulia dan lebih aik dari orang lain, tak melulu menjamin kita lebih mulia dan pantas untuk baik. Karenanya, siapapun yang melintas di kehidupan kita, tak pantas untuk direndahkan apalagi diabaikan. Tidak. Bukankah manusia-manusia yang hadir ke kehidupan kita tak akan mampir tanpa takdir dari-Nya ? Menghinanya....berarti juga menghina-Nya.

Kalo kita sudah berani menghina-Nya....tawaran saya....mari ciptakan dunia sendiri yang akan kita tinggali tanpa campur tangan-Nya.

Minggu, 09 Februari 2014

tetap berjalan

Memang....sulit rasanya. Hadir dan selalu hadir. Ada dan selalu ada. Siap dan selalu siap. Apalagi hadir, ada, dan selalu siap untuk pilihan-pilihan yang telah dengan sangat apik dipungut. Hingga kadang kita menjadi tak setia, sering jatuh, dan hampir menyerah.

Manusiawi, sangat. Kecuali kita mau untuk duduk sejenak. Lepaskan semua hiruk pikuk dan tarikan magnet dunia dengan segala pesonanya. Meski sulit dan bisa jadi makin pelik. Tapi saya percaya kita - anda dan saya, bisa menemukan lagi rasa itu.

Rasa dimana jalan ini adalah jalan kebenaran. Dengan segala tantangannya, juga romantika yang menghiasinya.

Teman, sahabat, atau kalian yang baru akan menjadi saudaraku, tak penting kesalahan sebesar apapun yg sudah kita lalui. Tapi yang jauh lebih penting adalah prestasi dan kehebatan apa yang sedang kita titi, siapkan, dan cintai.

Tetaplah disini.....di jalan yang benar ini. jalan sederhana yang akan mengantarkan kita menjadi manusia sebenarnya. Dengan duri dan bunganya. Dengan kasih kinasihnya. Juga dengan ilmu dan kepahamannya.