“Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga
'Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing)” (QS. Ali imran :
33)
Pesona perbincangan pada aspek sosial benar-benar menyita banyak mata dan
telinga. Setidaknya abad ini. Bisa jadi hingga abad berikutnya. Bahkan, dari
sebuah lini ide pada aspek ini, bisa berkembang ribuan derivasi topik bincang
yang begitu menggiurkan untuk media jual. Gosok kanan kiri, rebut atas bawah,
atau sekaligus memakai cara-cara tak lazim dalam proses memberitakan, sah-sah
saja.
Sehingga sering kita kenal paham mainstream
yang seakan menggiring kita semua
pada sebuah pemahaman yang senada, meski tetap tak mutlak sama. Tak lama,
perbincangan yang hadir di tengah-tengah media dan kita sebagai pirsawannya hadir
sebagai wahyu tandingan yang menuju absolut legalitasnya. Otak kita
terseragamkan dan padu dalam kebersamaan berdasarkan skenario. Media seakan
menjadi “imam madzhab” trendsetter
yang begitu maksum sosial. Meski tak sedikit pula yang mulai kehilangan
substansi isi dan ide. Hingga perbincangan yang harusnya ilmiah dan solutif tak
lebih sebagai style infotainment yang
penuh intrik, retorika, dan keindahan “kepo”-isme.
Kurang serta lebihnya, seperti itu keadaan di negara-negara dunia ketiga.
Negara yang layak tersebut sebagai floating
nation. Bukan karena legalitas hukum kenegaraannya, melainkan dari kacamata
esensi kemerdekaan yang harusnya menjadi supremasi eksistensi sebuah bangsa dan
negara.
“Bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa”......
Kebingungan naratif terjadi hampir di negara-negara seperti ini. Apalagi
jika berkiblat ke barat atau negara superpower yang ada, seakan ada jarak yang
demikian jauh. Hampir tak terkejar dengan segala kemampuan yang dimiliki.
Melainkan hanya sedikit saja dan single aspek.
Teknologi, ekonomi, kesejahteraan jasmani yang begitu kasat mata menjadi
indikator yang tiga per empatnya diakui. Sisanya, atau bolehlah kita katakan
selebihnya, adalah kerapuhan struktur sosial dan elemen yang sebenarnya membuat
kita layak dinyatakan sebagai manusia atau tidak : budaya, spiritual, dan seni.
Padahal, daerah yang sering dijadikan kiblat di dunia ini juga memiliki
begitu banyak kerapuhan ideologi. Bahkan bisa dibilang keadaan internal mereka
setali tiga uang dengan negara-negara belum maju. Tentu masih ingat di ingatan
kita bahwa krisis besar terjadi di negara adidaya, Amerika Serikat. Tepat pada
2008, terjadi fenomena yang sering disebut para pakar dengan subprime mortgage. Situasi yang membuat keuangan sangat layak
untuk disebut kacau. Ditambah fakta-fakta gelap non dokumentatif. Yang
menyatakan bahwa tingkat pembunuhan di
area sekolah negara Paman Sam itu merupakan yang tertinggi di dunia. Broken home, kekerasan jalanan (street
crime), pengangguran, dan pergaulan seks bebas, juga ikut menyemarakkan kondisi
sosial di sana.
Tentu tanpa maksud merendahkan “sang pemimpin dunia” – versi hari ini. Melainkan
dengan tulisan ini kita layak untuk memperbaharui objektivitas kita. Untuk
mencoba mencari cara dan perbaikan yang sejati. Agar segera bisa tercapai tujuan
yang ingin kita capai : pembangunan berdaya sebuah negara secara material dan
psikis.
Mari kita simak dengan teliti, meski tetap sederhana. Negara, tidak lain
adalah sebuah representasi entitas sosial. Kumpulan wadah yang berisi manusia.
Beraktivitas, melanjutkan kehidupan, mengisinya dengan berbagai cara untuk
memenuhi kebutuhan. Dalam hal ini, bolehlah kita serupakan bahwa negara adalah
pohon besar. Yang ditopang oleh batang dan ranting. Kehadirannya tidak lain
adalah untuk memantapkan eksistensinya di dunia ini. Tapi lebih dari itu, pohon
yang baik akan mengeluarkan buah yang manis dengan aroma yang harum. Dengan
satu syarat, bahwa pohon tersebut harus berdiri tegak menjulang dan kokoh
menantang angkasa. Tentu tak mungkin bisa memberi buah yang baik, jika pohon
negara tak bisa berdiri tegap dan sehat.
Tapi yang sering kita lupakan adalah, perhatian terhadap akar. Akar yang
menjadi dasar keberadaan pohon. Bagaimanapun keadaan pohon, akar yang menjadi
embrio kehidupannya. Begitupun dengan negara. Ijinkan kami tawarkan informasi
dan ide untuk revolusi sosial di setiap negara. Lewat sebuah kalimat agung yang
singkat berikut :
“Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan
tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim ayat 6)
Neraka - tentu saja juga apinya, merupakan simbol balasan atas kerusakan
yang diperbuat. Karenanya, melalui ayat tersebut kita dihadapkan pada sebuah
syarat perbaikan. Meski pemberitahuannya bernada isyarat.
Perbaiki, pelihara, dan bersungguh-sungguhlah dalam mengelola keluarga.
Maka dari entitas terkecil ini akan lahir komunitas pendukung untuk membuat
kondisi lebih baik. Di langkah selanjutnya, akan lahir lebih banyak lagi ekosistem
yang memungkinkan untuk berkelakuan
baik. Begitu seterusnya hingga membesar dan meluas menjadi sebuah wadah
kesepakatan sosial bernama negara. Sisanya, mengelola orang-orang baik tentu
akan lebih mudah bukan? Ya, benar. Negara hanya tinggal melakukan maintenance people dan mengoptimalkan perbaikan
sumberdaya menuju peak performance dari
setiap individu. Sederhana? Yap. So, just do it. (AA)