Selasa, 18 November 2014

Susi : Memperbesar Penglihatan dan Aspek Ketersediaan






Jauh. Ini jauh dari menggunjing dan asyik mengumbar keburukan manusia. Kita hanya sedang berusaha untuk memampang cermin raksasa di dalam jiwa, mental, dan ruhiyah. Lalu dihadapkan kepada diri sendiri. Yang tidak mungkin mendapat peringkat sempurna dan paripurna. Melainkan Cuma belajar untuk menjalani kehidupan dengan aturan-aturan baku fleksibel milik Allah SWT. Dan kita belajar dari semua hal, benda, baik hidup maupun mati. Yang nyata maupun ghaib.
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran 191)
Termasuk yang terjadi di Republik ini. Kontroversial. Menggemaskan. Membuat risau di beberapa poin dan pihak. Tapi memberi ketenangan yang menentramkan di pihak yang lain. Benar. Ini adalah cerita tentang Ibu Susi Pudjiastuti. Seorang pengusaha yang dikabarkan tak lulus SMA. Kemudian terpilih menjadi seorang Menteri yang memegang peranan penting di dalam mengatur sumber daya kelautan dan perikanan di sebuah negara maritim-agraris kepulauan terbesar di dunia; Indonesia.
Memaknai inti dari fungsi.
Seringkali kita mengisi otak, tanpa dilengkapi dengan memberi nutrisi pada akal. Padahal otak hanyalah alat bantu. Sedangkan akal yang membuat kita berbeda dengan hewan dan mampu berderajat di atas para malaikat. Tapi jejalan logika yang begitu rakus kita makan hampir setiap jeda waktu membuat kita membuat aturan “jika maka” sendiri tanpa sebuah pendekatan gaya berpikir “min haisu laa yah tasibu” (dari arah yang tak disangka-sangka). Kita memaksa diri kita untuk setia pada pemikiran mayoritas orang – padahal dengan tesis dan premis sangat lemah, dibandingkan kuasa metafisika dan komprehensifitas ilmu dari Sang Penguasa Sejati. Sehingga yang hadir secara tak sadar ialah kemauan diri yang dipaksakan pada semesta agar diakui dan dijadikan hukum universal. Termasuk tentang menghukumi sebuah kejadian.
Sebagai contoh, jika belajar tentang ekonomi, maka akan menjadi ekonom. Jika menekuni bidang sains, akan menjadi ilmuwan. Atau jika mengabdikan diri untuk belajar bertahun-tahun di pesantren, harusnya menjadi kyai besar, kondang, berpengaruh, dan didengar oleh masyarakat. Tidak sepenuhnya salah, tapi harus diingat hal itu juga tidak sepenuhnya benar.
Susi Pudjiastuti hadir untuk mendobrak kesadaran kita dalam berkehidupan, terlebih hidup bernegara dalam aktivitas kepemimpinan. Bahwa tak selamanya pendidikan formal menjadi penentu karier dan kesuksesan. Meski juga tak menjamin orang-orang yang keluar dari sekolah formal akan menjadi sukses kemudian. Tapi dengan ini kita belajar bahwa begitu luasnya ketersediaan ilmu yang harus disambut dengan sebuah metode ilmiah yang mungkin bagi tiap insan akan berbeda. Namun, perbedaan tak harus menjadi sebuah paradigma berpikir untuk menghukumi dan menyimpulkan sesuatu, selain atas suatu hal yang jelas hukumnya. Yang mungkin terasa tak mampu terbantahkan oleh rasio yang kokoh sekalipun.
Juga tentang substansi inti dari proses menjadi pemimpin. Bahwa kepemimpinan bersentral pada proses giving dan coordinating resource. Bukan collecting apalagi hanya ribuan meeting. Sehingga setiap orang yang bercita-cita menjadi pemimpin – terutama di negeri ini, harus sering membuat obsesi atas sebuah pertanyaan “apa yang bisa saya berikan untuk kemajuan dan kebaikan kelompok yang saya pimpin”. Bukan “apa yang bisa saya raih dengan posisi ini” atau “pembicaraan apa yang harus saya sampaikan”.
Karenanya, tentu menjadi sebuah tuntutan alami jika para pemimpin harus mempersiapkan kemampuan yang bersifat kepakaran. Terutama di dalam penguasaan masalah dan komunikasi koordinatif. Tak ubahnya seperti seorang pengarang cerita yang ingin merancang kisah di dalam tiap tulisannya. Pada poin ini, dapat kita pahami bahwa yang terpenting dari seorang pemimpin adalah apa yang bisa dia lakukan. Bukan bagaimana, dari mana, dan siapa dia.
Sehingga berhentilah menghakimi. Apalagi jika hanya katanya. Demi Allah, kita tidak lebih baik dari manusia lain melainkan hanya pada hal-hal yang sedikit saja. Jauh lebih banyak perihal diri sendiri yang harus diperbaiki. Dan bukanlah sifat seorang mukmin yang tertarik pada prasangka tak berdasar atas ketetapan yang Allah SWT kehendaki.

Dari Abu Hurairah رضي الله عنه bahwa Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda: "Jauhkanlah dirimu dari prasangka buruk, karena sesungguhnya prasangka itu adalah perkataan yang paling bohong."
(HR. Muttafaq Alaihi.)
 
Ketersediaan dan usaha menyiapkannya

Ide dasar kehadiran agama ini adalah untuk memberikan cara-cara benar dan menyenangkan (secara hakiki) di dalam menjalani kehidupan. Bukan ideologi pengutuk yang hanya mampu menyalahkan tanpa alternatif, tanpa pilihan cara lain, yang lebih baik dan bermartabat.

 “Thaahaa. Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah” (QS.Thaahaa : 1-2)

Karenanya, gaya berpikir yang harus kita kedepankan terhadap maksud ekspansi ideologi Islam seharusnya bersentral pada proses persuasif-alternatif. Artinya berusaha mengajak pada sebuah cara yang jauh lebih baik daripada selain Islam.
Atas dasar itu, pemahaman kita semua untuk menawarkan Islam perlu review internalisasi. Selain pengetahuan dalil syari dan pengayaan dalil aqli sebagai media support, harus ditambah dengan kompetensi pemilihan alternatif yang ada dalam manhaj Islam dan mampu menjawab kebutuhan. Jangan menambah sikap bodoh kebanyakan orang yang “memberi makan pada orang yang kehausan”. Tak hanya menyelesaikan masalah, bahkan bisa menjadi kontrapositif atas usaha kebaikan yang kita lakukan. Setelah itu baru perluasan tsaqofah kebijaksanaan cara pandang menjadi bumbu utama yang bisa menjadi akselerator hidayah.
Tapi itu semua akan menjadi pepesan posong, jika ada sebuah hal yang terlewat dari kita: KETERSEDIAAN.  Bagaimana bisa kita menawarkan sesuatu jika tak ada yang bisa ditawarkan? Beribu tesis dan simpulan yang kita luncurkan dalam upaya memenangkan fakta ideologis tak akan mampu masuk dalam ruang logis objek pasar jika tak ada “produk” yang ingin dijual. Apalagi jika untuk memenangkan posisi penjualan, kita melakukan secara tak sadar perilaku negatif berupa penjatuhan citra produk lawan. Jauh dari harapan, maksud tak sampai, harga diri terurai.
Termasuk kasus dari Ibu Susi Pudjiastuti yang (berusaha) kita hormati di Republik ini. Jika memang banyak dari kita yang tak setuju atas penunjukkannya sebagai seorang menteri, cobalah sesekali untuk mulai memikirkan, adakah sosok alternatif yang bisa menjawab kebutuhan posisi yang Susi tempati hari ini. Dengan kualitas yang minimal sama, namun dengan cita rasa kualitas tertentu yang berbeda. Jika tak ada, tak berlebihan kiranya jika kita menamai diri kita sendiri sebagai kelompok pepesan kosong.
Bukankah tak lebih baik kita berpikir strategis untuk menghasilkan stok pengisi posisi? Daripada demikian banyak kutukan kita berikan – yang mayoritas bahkan hanya berdasar “katanya”, tanpa berusaha memberikan kemampuan untuk memperbaiki.
Salah satu usaha positif dari fenomena Susi ialah jika kita berusaha menyiapkan operator hebat untuk tugas besar. Bahkan, menurut sebagian ulama fiqh, termasuk dalam kategori fardlu kifayah jika jamaah muslim mempersiapkan kadernya untuk sebuah posisi strategis. Agar tak dikuasai oleh manusia yang menjadi penentang bagi dakwah dan Islam.
Sahabat, Islam hadir dengan penuh kebaikan dan kebijaksanaannya dalam memandang permasalahan dunia. Bukan sebagai musibah global yang mengantarkan manusia pada keterbelakangan. Mari jadi bagian dari itu. Jika kita tak bisa menyiapkan lilin untuk keadaan gelap, jangan kotori lisan dan pikiran dengan cacian. Tapi di atas itu semua, akan jauh lebih baik jika kita mampu siapkan cahaya besar sebagai alternatif untuk mengatasi kegelapan itu. Dan cahaya itu kami harapkan akan memancar dari....ANDA. (AA)









Selasa, 11 Februari 2014

Tentang Sukses

Sering salah paham. Ya. Kamu dan aku. Beberapa diantaranya karena sengaja. Sengaja untuk tak mencari informasi yang benar. Dan dengan setia, menggunakan asumsi dan anggapan. Untuk menyelamatkan kewibawaan semu dan harga diri membayang. Bahkan saat terdesak pun bukanlah kejujuran yang hadir. Melainkan muslihat terbungkus daun kebenaran. Sekaligus catatan kebanggaan karena telah mampu membanting lawan sekaligus mitra kehidupan dengan opini-opini bombastis. Meski, sekali lagi, kesalahan yang menjadi topik inti.

Termasuk tentang kesuksesan. Apa artinya. Bagaimana penjabarannya. Dan bagaimana rupa bentuk dan morfologinya. Kita - anda dan saya., sering kali menganggap dan memahami sukses secara sangat sederhana. Cenderung simplifikatif. Sampai-sampai kita dengan egois melupakan ide inti dari nilai kesuksesan.

Bahwa sukses adalah kemantapan finansial, keberlimpahan gelar dunia, kasta sosial yang hampir menyaingi Tuhan, hingga gelombang-gelombang gemerlap yang nisbi nilai kebenaran dan kesalahannya. Hingga akhirnya ambiguitas nilai mulai menjangkit, meluas di tengah entitas sosial, dan menjadi anggapan umum serta kebenaran yang (sementara) dianggap hakiki.

Karenanya...kebingungan kita (semoga hanya saya dan bukan anda), sering kali menjadi ide yang dimampatkan dalam realitas. Sehingga begitu ada ruang terbuka untuk menghempaskannya, ledakan pikiran ini tidak siap diterima di hampir setiap kalangan. Bahkan, ketika ada suara-suara ideologis berbasis kebebasan berpendapat hadir, dianggapnya sebagai ancaman dan individu yang akan mengancam ekosistem kehidupan yang dianggap ideal. Hasilnya...para penghempas kebebasan dibunuh secara sistematik, rapi, terstruktur, dan biadab. Mengabaikan hak-hak sosialnya, merusak asumsi citranya, dan akhirnya tersingkir dari pertarungan dunia di panggung sandiwara.

Muhammad (SAW) dan kroninya serta backup dan bala tentaranya hadir. Untuk menjadi duta kebenaran. Sekedar menyampaikan apa yang tidak dia rumuskan. Tapi dirinya menjadi contoh atas apa yang dia lisankan dari bibirnya. Hingga kokoh tiap poin nilai yang ingin dia kembangkan, ajarkan, dan wariskan.

Termasuk tentang arti kesuksesan yang sejati. Kesejatian yang bisa menentramkan. Bukan mainan buatan yang hanya mampu dimainkan di tepian. Hingga akhirnya menjadi buangan yang dilupakan.

Maka Muhammad SAW bersama Tuhannya merumuskan sebuah nilai kehidupan yang dahsyat tanpa menggaungkan kejumawaan. Benar, kesuksesan yang hanya bisa diraih oleh hati yang mau untuk sedikit mengosongkan ruang agar bisa dimasuki tanpa friksi. Kesuksesan yang hanya bisa diraih dengan hati mulia


"Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu" (QS. 49:13)

Karenanya...aku pun bingung kawan, atas kesuksesan yang ternilai di masyarakat. Tapi di tengah kebingunganku itu, aku berharap cuma aku yang menderita. Dan bukan kalian, kamu, apalagi kita. (AA)




Senin, 10 Februari 2014

(tetap) Merasa Kosong

Perjalanan. Yang membuat saya beruntung. Bukan karena jauhnya jarak yang harus ditempuh. Melainkan besarnya usaha untuk menemukan sebuah hal baru. Ide, retorika yang menjadi kerangka berpikir, dan inspirasi-motivasional yang terlalu indah untuk dilupakan. Meski tetap ada perih dan luka yang menghiasi jasad kehidupan.

Selama tujuh tahun berkelana di secuil bagian dari kota hujan. Ratusan kali mondar-mandir ibukota. Bahkan puluhan kali di antaranya hanya dalam rangka ":mengencingi" ibukota yang dipenuhi sesak jejal manusia. Mengikuti berbagai banyak pertemuan formal dan style warkop. Bertemu dengan sekian banyak manusia yang dianggap tokoh dan dewa di pakarnya dengan segala ide, rasio, dan pemahaman terhadap hidup dan kehidupan. Dimulai dari aspek terkecil hingga filosofi mendasar. Yang membuatnya berbeda dengan orang lain, bahkan dengan dirinya sendiri.

Kanan, kiri, poros tengah, dan aliansi status quo pun turut serta memeriahkan ide yang membuncah liar dan bebas di kepala. Namun, tetap rapi dan solid pada tuturan lisan, gerakan mata, lambaian tangan, dan ayunan langkah-langkah kaki para raja kecil. Hingga akhirnya....saat untuk menentukan keputusan dan kesimpulan hadir mengetuk pintu relung hati yang sederhana tanpa singgasana yang mulia. Karena tetap sadar, tak ada yang mulia untuk kemudian dihamba. Juga tak ada manusia yang begitu hina sampai pantas untuk dinista. Kecuali pada asbab yang nyata dan berakar pada prinsip yang tak boleh nisbi.

Kesimpulan itu....yang akhirnya berani kupegang kawan. Prinsip yang menurut orang kebanyakan adalah benar, tapi mereka naif untuk menancapkannya, apalagi melakukannya. Ya. Begitulah manusia. Ras Homo Sapiens yang menurut ilmuwan adalah makhluk tercerdas yang bisa berjalan di bulatan planet ini, sampai saat ini.

Bahwa....tak ada manusia yang berhak merasa unggul dari yang lain. Dalam bidang apapun. Apalagi pada bidang ilmu dan pengalaman. Tidak.

Sehingga kita bisa dan puas tertawa terbahak-bahak jika ada manusia - siapapun dan apapun entitasnya, yang merasa dan berlaku serta bersikap lebih mulia, pintar, dan tahu akan sesuatu. Walaupun kita mungkin paham bahwa dia lebih tahu dari kita. Tapi tidaklah demikian kepantasan seorang bijak dalam bersikap dan memperlakukan manusia lain yang tak sepandai dirinya. Kepandaian yang kokoh selayaknya melahirkan kebijaksanaan dalam membimbing manusia lain untuk mencapai level yang (setidaknya) setara dengan dirinya. Bukan mencemoohnya, membunuh harga dirinya (dengan menelanjangi kesederhanaan intelektualnya) di depan umum, apalagi mengatakan "Aku lebih baik darimu". Ucapan yang akhirnya membuat seonggok malaikat diapikan oleh Tuhanku, dilaknat,, dan akhirnya diusir terhina. Tidak, tidak ada yang pintar di dunia ini. Karena hanya Dia Yang Maha Pintar. Dan karenanya, hanya Dia pula yang patut untuk sombong.

Tertawa kita akan lebih hebat lagi jika ternyata ada orang yang merasa dirinya baik, pintar, dan mulia, namun kita tahu persis bahwa dirinya tak seperti itu. Kecelakaanlah baginya....kecelakaannlah baginya. Otak tak seberapa, hati pun tak mulia, tapi merasa dikelilingi singgasana. Padahal semuanya hanya semu saja. Mari kita kasihani makhluk seperti ini. hatinya tak seluas ruang di rongga perutnya.

Sahabat....aku tahu, kalian lebih baik dan mulia dariku. Tapi merasa mulia dan lebih aik dari orang lain, tak melulu menjamin kita lebih mulia dan pantas untuk baik. Karenanya, siapapun yang melintas di kehidupan kita, tak pantas untuk direndahkan apalagi diabaikan. Tidak. Bukankah manusia-manusia yang hadir ke kehidupan kita tak akan mampir tanpa takdir dari-Nya ? Menghinanya....berarti juga menghina-Nya.

Kalo kita sudah berani menghina-Nya....tawaran saya....mari ciptakan dunia sendiri yang akan kita tinggali tanpa campur tangan-Nya.

Minggu, 09 Februari 2014

tetap berjalan

Memang....sulit rasanya. Hadir dan selalu hadir. Ada dan selalu ada. Siap dan selalu siap. Apalagi hadir, ada, dan selalu siap untuk pilihan-pilihan yang telah dengan sangat apik dipungut. Hingga kadang kita menjadi tak setia, sering jatuh, dan hampir menyerah.

Manusiawi, sangat. Kecuali kita mau untuk duduk sejenak. Lepaskan semua hiruk pikuk dan tarikan magnet dunia dengan segala pesonanya. Meski sulit dan bisa jadi makin pelik. Tapi saya percaya kita - anda dan saya, bisa menemukan lagi rasa itu.

Rasa dimana jalan ini adalah jalan kebenaran. Dengan segala tantangannya, juga romantika yang menghiasinya.

Teman, sahabat, atau kalian yang baru akan menjadi saudaraku, tak penting kesalahan sebesar apapun yg sudah kita lalui. Tapi yang jauh lebih penting adalah prestasi dan kehebatan apa yang sedang kita titi, siapkan, dan cintai.

Tetaplah disini.....di jalan yang benar ini. jalan sederhana yang akan mengantarkan kita menjadi manusia sebenarnya. Dengan duri dan bunganya. Dengan kasih kinasihnya. Juga dengan ilmu dan kepahamannya.