Kamis, 09 Februari 2012

Risau

Hari itu, seseorang menjumpai Umar bin Abdul Aziz.
Khalifah dari Bani Umayyah yang sangat terkenal itu.
Didapatinya Umar sedang menangis.
Sendirian.

“Mengapa engkau menangis wahai Amirul Mukminin?” tanya orang itu dengan hati-hati. “Bukankah engkau telah menghidupkan banyak sunnah dan menegakkan keadilan?” tanya orang itu lagi dengan nada menghibur.

Umar masih terus menangis. Tidak ada tanda-tanda ia akan berhenti dari tangisnya. Beberapa saat kemudian, barulah ia menyahut seraya berkata, ”Bukankah aku kelak akan dihadapkan pada pengadilan Allah, kemudian aku ditanya tentang rakyatku. Demi Allah, kalau benar aku telah berbuat adil terhadap mereka, aku masih mengkhawatirkan diri ini. Khawatir kalau diri ini tidak dapat menjawab pertanyaan seandainya banyak hak rakyatku yang aku dzalimi”.

Air mata Umar terus mengalir dengan derasnya. Tidak lama berselang setelah hari itu, Umar menghadap Allah subhanahu wataala. Ia pergi untuk selama-lamanya.

....


Umar bin Abdul Aziz, yang menangis dan terus menangis itu, hanyalah satu contoh dari kisah ’orang-orang risau’. Ya, orang-orang yang selalu punya waktu untuk merasa risau, gundah, dan khawatir.

Bahkan sebagian mereka mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk risau. Risau terhadap dirinya, terhadap orang-orang di sekitarnya, atau terhadap beban dan tanggung jawab yang dipikulnya.

Paradigma orang yang menemui Umar, dalam kisah di atas, sangat berbeda dengan paradigma Umar, yang tetap saja menangis. Orang itu bertanya heran mengapa Umar masih menangis, karena dalam pandangan dirinya, Umar sudah sangat terkenal keshalihan dan kebajikannya. Umar telah banyak melakukan kebaikan, berlaku adil kepada rakyat. Dan bahkan mengantarkan mereka kepada kehidupan yang makmur dan damai.

Tetapi Umar tetap menangis. Tangis kerisauan dari seseorang yang mengerti betul bagaimana ia mesti ber-etika di hadapan Tuhannya. Tangis Umar adalah ekspresi kerisauan. Kerisauan seorang penguasa yang memikul tanggung jawab berat. Tanggung jawab memimpin ribuan rakyat. Ia juga tangis seorang yang telah menapaki tangga-tangga hikmah. Yang keluasan ilmu dan amalnya semakin membuatnya merunduk dan merendah.

Kerisauan seorang Umar, adalah bukti bahwa setinggi apapun derajat hidup orang, sesungguhnya Ia bisa risau. Meski kerisauan setiap orang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Bahkan justru di sinilah inti permasalahannya. Ialah bahwa sejarah selalu mencatat, orang-orang besar sepanjang jaman, adalah orang-orang yang punya waktu untuk risau, mengerti mengapa harus risau, dan apa yang mereka risaukan. Sebagian bahkan meniti awal kebesarannya dari awal kerisauannya.

Sebab rasa risau adalah titik api pertama, yang akan melontarkan sikap-sikap positif berikutnya, lalu membakarnya hingga menjadi matang. Sikap mawas, selalu mengevaluasi diri, tidak besar kepala, bertanggung jawab, tidak mengambil hak orang, dan lain-lainnya. Keseluruhan sikap-sikap itu, pemantiknya adalah risau.

Sejarah tidak pernah memberi tempat bagi orang-orang yang tidak pernah risau, selalu merasa aman, enjoy sepanjang hidup, tanpa beban sedikitpun, untuk dicatat dalam daftar orang-orang besar. Karena risau tidak saja simbol kesukaan akan tantangan, dinamika dan kompetisi, tapi risau juga kendali dan sumber inspirasi bagi segala sikap kehati-hatian.

Dalam pengertian inilah, kita memahami peringatan Allah, bahwa seorang Mukmin, dan bahkan setiap manusia, tidak boleh merasa aman dari adzab Allah. Orang-orang yang merasa aman, tidak pernah merasa risau, tidak punya waktu untuk risau, dan bahkan tidak mengerti mengapa harus risau, adalah orang-orang yang rugi.

Simaklah firman Allah yang artinya,
”Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari adzab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari adzab Allah kecuali orang-orang yang merugi. " (QS. Al-A’raf: 97 - 99).

Ayat tersebut sedemikian jelas memaparkan, bahwa merasa aman dari adzab Allah adalah tindakan yang salah. Kuncinya sangat sederhana. Karena manusia tidak pernah tahu apa yang akan terjadi esok hari. Bahkan ia juga tidak bisa memastikan, apa yang akan terjadi beberapa menit kemudian. Bisa jadi besok ia melakukan kesalahan, lalu sesudah itu ia mendapat adzab. Bisa juga ia tidak melakukan kesalahan. Tetapi juga mendapat imbas adzab dari kesalahan yang dilakukan orang lain.

Hidup ini seperti hutan belantara yang sangat lebat. Manusia dan keseluruhan makhluk saling berlomba di dalamnya. Berpacu, beradu, berlomba, atau juga saling bekerjasama. Lebatnya belantara hidup membuat hidup begitu liat, keras, dan kadang harus saling mengalahkan. Dalam seluruh denyut kehidupan itu manusia terikat oleh serabut-serabut panjang dan saling berhimpitan. Ujung serabut itu terikat dengan makhluk-makhluk itu. Sedang pangkalnya ada dalam genggaman tangan-tangan Allah. Serabut-serabut itu adalah kekuasaan Allah, yang dari sana lahir takdir-takdir bagi keseluruhan hidup manusia.

Maka, rasa risau, dalam tatanan Islam adalah awal dari rasa ketergantungan kepada sumber-sumber yang memberi rasa aman. Dan, sumber utama rasa aman itu adalah Allah. Yang Maha Kuat lagi Maha Melindungi. Karenanya, orang-orang seperti Umar sangat memahami betapa risau haginya adalah sebuah proses produktif seseorang dalam berinteraksi dengan Tuhannya. Ia risau dan karenanya ia menangis. Ia menangis dan karenanya ia berharap.

Kita, di sini, sekumpulan orang-orang yang tak akan sampai menyamai Umar bin Abdul Aziz, apalagi melampaui, semestinya menjadi orang-orang yang akhirnya mengerti darimana sebuah kebesaran dimulai. Bahkan, sebuah harapan, ternyata, mula-mula adalah segumpal risau.

Salah satu kebutuhan penting dalam hidup, adalah merisaukan diri. Ia semacam rumah-rumah kecil untuk persinggahan, bagi keseluruhan alur dan aliran semangat serta gelora hidup kita. Sebuah risau adalah tali penyeimbang antara menengok ke belakang dan berhati-hati menatap ke depan.

Maka seperti apakah risau kita hari ini?



ditulis pada : http://beranda.blogsome.com

Kamis, 02 Februari 2012

Iblis dan Ibnu Ummi Maktum


oleh : Syahruddin El-Fikri
Abdullah bin Ummi Maktum adalah salah seorang sahabat yang mulia. Dia menjadi salah satu sebab turunnya surah ‘Abasa. Suatu hari Abdullah bin Ummi Maktum mengikuti pengajian Rasulullah SAW. Dalam kesempatan itu, Rasul menyampaikan akan kewajiban setiap Muslim yang mendengar adzan untuk segera menunaikan shalat. Karena kondisi fisiknya, yakni matanya yang buta, ia memberanikan diri bertanya kepada Rasulullah SAW.
“Wahai Rasulullah SAW, apakah saya juga diwajibkan kendati saya tidak bisa melihat ?” tanya Ibnu Ummi Maktum. Rasul menjawab, “Apakah kamu mendengar seruan adzan?”. Ibnu Ummi Maktum menjawab, “Ya, saya mendengarnya.” Rasul pun memerintahkannya agar ia tetap pergi ke masjid meskipun sambil merangkak.
Maka, dengan penuh keimanan, setiap adzan berkumandang dan waktu shalat tiba, ia pun segera pergi ke masjid dan berjamaah dengan Rasulullah SAW. Suatu ketika di waktu shubuh, saat adzan dikumandangkan, Ibnu Ummi Maktum pun bergegas ke masjid. Di tengah jalan, kakinya tersandung batu hingga akhirnya mengeluarkan darah. Namun, tekadnya sudah bulat untuk tetap berjamaah ke masjid.
Waktu shubuh berikutnya, ia bertemu dengan seorang pemuda. Pemuda terseut bermaksud menolongnya dan menuntunnya ke masjid. Selama berhari-hari, sang pemuda ini, selalu mengantarnya ke masjid. Ibnu Ummi Maktum pun kemudian ingin membalas kebaikannya. “Wahai saudaraku, siapakah gerangan namamu. Izinkan aku mengetahuimu agar aku bisa mendoakanmu kepada Allah.” Ujarnya.
“Apa untungnya bagi Anda mengetahui namaku dan aku tak mau engkau doakan.” Jawab sang pemuda. “Jika demikian, cukuplah sampai disini saja engkau membantuku. Aku tak mau engkau menolongku lagi sebab engkau tak mau didoakan.” Tutur Ibnu Ummi Maktum kepada pemuda itu.
Maka, akhirnya sang pemuda ini pun akhirnya mengenalkan diri. “Wahai Ibnu Ummi Maktum, ketahuilah sesungguhnya aku adalah iblis.” ujarnya. “Lalu mengapa engkau menolongku dan selalu mengantarkanku ke masjid. Bukankah engkau semestinya mencegahku untuk ke masjid ?” tanya Ibnu Ummi Maktum lagi.
Sang pemuda yang bernama iblis itu kemudian membuka rahasia atas pertolongannya selama ini. “Wahai Ibnu Ummi Maktum, masih ingatkah engkau beberapa hari yang lalu tatkala engkau hendak ke masjid dan engkau terjatuh ? Aku tidak ingin hal itu terulang lagi. Sebab, karena engkau terjatuh, Allah telah mengampuni dosamu yang separuh. Aku takut kalau engkau jatuh lagi Allah akan menghapuskan dosamu yang separuhnya lagi sehingga terhapuslah dosamu seluruhnya. Maka sia-sialah kami menggodamu selama ini. “ jawab iblis tersebut.
Kisah di atas menggambarkan terhadap kita bahwa sesungguhnya iblis tak akan pernah berhenti untuk menggoda dan menyesatkan manusia. Dalam hal yang baik pun, iblis selalu berusaha untuk membelokkan orang yang beriman ke arah yang dimurkai Allah. Ketahuilah, sesungguhnya iblis itu adalah musuh yang nyata bagi kita. (QS Fatir[35] : 6). Semoga Allah senantiasa membimbing dan meridai setiap ibadah kita. Amin. Wallahu a’lam.