Rabu, 06 Maret 2013

Mulazamatul Ulama



(Serial Aku dan KAMMI)
Bosan, juga lelah. Itu yang tidak bisa kami sembunyikan dari wajah-wajah daerah non ibu kota yang kami miliki. Setelah bertolak dari kediaman Bapak Marwan Batubara, seorang pemikir strategis tentang sumber daya alam Indonesia, kami menuju rumah besar para penyambung lidah rakyat (baca: DPR) di senayan. Jarak yang lumayan, ditambah belum baiknya transportasi umum bangsa ini membuat kami harus mencari alasan tepat untuk tetap semangat. Memang hari keempat yang cukup melelahkan. Sekaligus sangat mengesankan.
Sudah hampir dua jam kami dibuat layaknya ayam kehilangan induk. Duduk lesehan di lobby Gedung Nusantara III. Sembari melihat lalu lalang orang. Ukh Vida, Dewi, Kumala, dan Erni mengamankan diri dengan duduk di sofa dekat tiang besar. Jauh dari kami para ikhwan. Akh Mastari, dengan beberap rekan yang lain mulai tertarik dengan perabot-perabot unik yang ada di sekitar gedung. Mesin informasi tentang jadwal acara anggota DPR menjadi pelampiasan rasa ingin tahunya. Akh Wibi, mungkin karena terlalu lelah, hanya duduk bersandar. Tak lama kemudian, dia sedikit berteriak dan melambaikan tangan. Memanggil Bang Fahri Hamzah yang kemarin dengan baik hati rela menjadikan rumahnya sebagai tempat sarapan kami, berlimabelas.
Kebosanan hampir lagi menghampiri kami. Ketidakjelasanlah sebabnya. Sampai kapan kegiatan menunggu ini terus dilakukan. Hal ini terasa seperti membuang waktu. Dan tentu saja kita tahu, membuang waktu bagi para kader KAMMI dan semua orang yang ingin jadi pemimpin, adalah dosa besar tak terampuni.
“Sabar ya...ustadz sekarang kan udah jadi milik umum. Jadi jadwalnya padat sekali. Antum semua harap maklum. Sabar. Insya Allah ketemu.”, kalimat Bang Mohan cukup untuk menurunkan tensi kejumudan kami. Meski sebenarnya itupun tak mampu bertahan lama.
Kedua kalinya Akh Wibi berteriak. Tapi objeknya adalah kami. Semua dari kami.
“Itu ustadz...”, katanya.
Saat badan mulai beranjak dari peraduan hibernatif masing-masing, Bang Mohan memberikan isyarat kepada kami untuk diam. Tunggu lagi.
“Antum semua ga boleh langsung nyerobot gitu. Beliau masih ada acara. Nanti kita akan dihubungi aspri-nya kalau ustadz sudah siap. Santai aja.”
Blusssssss.......kecewa berat. Tapi memang benar apa yang disampaikan Bang Mohan. Semua jadwal beliau, sudah tertata dengan sangat baik, rapi, dan proporsional. Sangat tak beradab jika kami datang tiba-tiba dan berefek rusaknya jadwal beliau. Kasihan. Kasihan ustadz, lebih kasihan lagi kami yang melanjutkan keterlantaran ini.
“Udah, bentar lagi ketemu kok. Kan ntu orangnye udah ada.”, Akh Inggar nyeletuk.
Kalimat yang jauh dari rasa formal itu ternyata cukup ampuh menghipnotis kesadaran kami. Bahkan kami mulai mendiskusikan reaksi dan pertanyaan apa yang akan kami sampaikan kepada ustadz nanti. Begini dan begitu. Banyak sekali. Meski tetap saja ada di antara kami yang lebih tertarik dengan perabot-perabot canggih yang ada di hamparan lobby.
“Oke...ayo ke atas, kita udah ditunggu.”, kalimat Bang Mohan membuat kami sekonyong-konyong bangun.
Senyum mulai melebar di antara kami. Terutama Ukh Dewi. Bagaimana tidak, dia datang jauh-jauh dari Papua. Dengan segala kekuatan fisik, kesempatan waktu yang dipaksakan, dan kecermatan anggaran dia datang ke Jakarta. Ya, peserta acara ini benar-benar tersebar. Dari ujung barat diwakili akh Rizqi dari Universitas Negeri Padang. Turun ke Lampung, akh Ghandaru dan Taufiq. Masuk daerah Jakarta, Inggar Saputra menjadi delegasi. Akh Mastari dari Cirebon. Dari Bogor, aku dan ukh Vida. Masuk wilayah Jawa bagian Tengah diwakili akh Hasan, Muharram, dan ukh Erni dari Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Ditambah dua orang dari Univ. Diponegoro, akh Neil dan Barry. Wibisono dari UGM, ukh Kumala dari IAIN Kalimantan Selatan, ditutup oleh ukh Dewi Arika dari Papua.
Inilah program pengkaderan dan pendidikan terbaru yang diklaim oleh PP KAMMI. Selama ini daurah yang diadakan selalu mengundang pembicara dan datang menghampiri peserta. Tapi kali ini, para peserta yang menyongsong sumber-sumber ilmu. Biar nyunnah katanya, menghampiri para ulama kalau mau belajar.
Ya, latar tempat sudah berubah. Dari lesehan di lobby Nusantara III, sekarang ke ruangan khusus Wakil Ketua DPR RI. Tidak terlalu besar memang. Dua lapis kursi dan meja. Di setiap bangku disediakan pengeras suara yang cukup untuk membuat suara terdengar dengan baik, meski tak mengubahnya jadi merdu.
Namun, yang masih sama adalah kegiatan kami. Menunggu. Kami diminta lebih bersabar lagi.
“Afwan...ustadz masih siaran langsung dengan radio dari Libya. Sabar ya.”, kata salah seorang petugas. Atau mungkin asisten ustadz. Tapi entahlah, identitasnya tidak menjadi penting buat kami. Yang jelas tugas kami hanyalah menunggu.
Kebosanan mungkin sudah hampir titik stationer dalam fungsi kuadrat. Maka sudah mulai banyak yang mencari cara menghilangkan kebosanan itu. Akh Neil dan Ghandaru asyik dengan mushafnya. Akh Rizqi berusaha men-setting handycam yang dibawanya. Sesekali kuminta dia untuk tidak menghalangi pandangan handycam-ku. Barry dan Inggar menulis sesuatu di selembar kertas. Mungkin pertanyaan yang ingin disampaikannya. Wibi dan ikhwan tersisa, kutak-katik hape. Dan rekan-rekan akhwat di belakang asyik berdiskusi meski suaranya seperti tagline mobil diesel, nyaris tak terdengar.
Setiap pintu utama terbuka, kami semua berdiri. Mengira bahwa ustadz yang rawuh (baca: hadir dalam bahasa jawa-red). Tapi lagi-lagi bukan. Begitu seringnya mas aspri dan petugas lain keluar masuk lewat pintu itu. Hingga akhirnya kami bosan bermain berdiri-duduk tanpa kejelasan siapa pemenangnya. Hasilnya, tanpa syuro pun, kami sepakat berkomunikasi dalam bahasa qalbu, tidak usah berdiri lagi. Paling-paling bukan ustadz.
Seorang masuk mendekati bangku Hasan. Kami terbelalak. Dengan segera kami berdiri. Tapi orang itu memberi isyarat larangan untuk berdiri. Dia berjalan menghampiri kami, satu per satu. Menjabat tangan kami semua, para ikhwan. Kami mendadak langsung merasa tak enak. Merasa tak sopan. Merasa tak beradab sebagai mutarobbi. Bagaimana mungkin kami membiarkan guru kami yang berjalan mendekati kami. Padahal seharusnya kami yang memuliakan beliau. Tapi begitulah kira-kira pesan moral awal yang ingin disampaikan sang guru. Bahwa kepahaman keilmuan yang baik justru membuat pelakunya semakin rendah hati. Begitulah, ustadz Anis Matta, Lc.
Diskusi pun berlangsung. Dimulai dari pengantar yang disampaikan Bang Mohan, ustadz mulai memberikan taujih. Kami memperhatikan dengan sangat seksama. Layaknya seekor macan yang sedang memperhatikan mangsanya dengan sangat teliti. Takut kehilangan dan tertinggal.
Isi diskusi yang begitu eksklusif menggebyar di setiap sela dengar. Bahkan informasi lapis satu, yang biasanya hanya didengarkan para ustadz, saat itu kami dengarkan. Dadaku pun kembang kempis dibuatnya. Benar-benar terasa, betapa beratnya menghadirkan kebenaran di nusantara. Apalagi jika ditambah visi menyejahterakan umat Islam di Indonesia, sekaligus tugas besar kita semua untuk membangun khilafah di dunia.
“Belajarlah...sebelum kalian memimpin”. Kalimat yang berasal dari Umar bin Khattab r.a. menjadi inti taujih beliau. Karena di saat memimpin nanti, tak ada lagi kesempatan untuk belajar. Objek kepemimpinan (baca: rakyat) hanya tahu kita salah jika melakukan kesalahan dalam memimpin. Juga benar jika kita memimpin dengan benar. Tanpa mau tahu alasannya dan apa yang sebenarnya terjadi.
Arahan itu sangat berpengaruh untuk kami. Karena, menurut beliau, masa kami di kampus adalah masa paling tepat untuk belajar. Meski juga tak mengapa sesekali show up atas hasil belajar. Karena kebanyakan para pemimpin di Indonesia tak cukup waktu untuk menyiapkan dirinya menjadi pemimpin. Jadilah eksekutif-eksekutif pemerintahan di Indonesia hanyalah sebatas pimpinan yang tak pernah memahami arti dan esensi kepemimpinan itu sendiri. Terkotak pada status dan posisi, bukan hakikat intidan substansi.
“Antum semua juga harus perhatikan kesehatan antum ya. Istirahat yang teratur. Tidur ya....delapan jam lah sehari. Antum semua kan masih masa pertumbuhan.”. Kalimat itu membuat hampir dari kami semua tersenyum. Tak pernah ada dan bisa di kamus hidup kami dan KAMMI untuk tidur 8 jam sehari. Maklum, aktivis. Karena itu, badannya “tivis-tivis”.
“Satu hal lagi ikhwatifillah...antum semua, calon pemimpin. Maka setidaknya...ada tiga hal yang harus antum pelajari dengan serius. Pertama, sejarah. Ini memberikan arahan kepada kita untuk bertindak di masa yang akan datang. Kedua, geografi. Supaya antum semua tahu seberapa luas wilayah yang akan antum pimpin. Harusnya pengurus pusat ini sering-sering ya main ke daerah-daerah gitu. Dan yang terakhir, sastra. Ini menguatkan visi antum dan citarasa retorika antum lewat lisan atau tulisan. ”, kami semua manggut-manggut mendengar taujih di bagian ini.
“Supaya antum semua menghemat waktu, jangan baca semua apalagi sembarang buku. Bacalah buku-buku dari penulis nomor satu di bidang itu. Misal, sejarah. Antum cari, siapa orang nomor satu di bidang itu. Antum cari bukunya. Baca. Itu sangat efektif. Sekaligus hemat waktu.”
Kami semua terpesona. Sangat terpukau. Sampai-sampai semua pertanyaan yang kami rancang saat terlantar di Nusantara III, mendadak hilang. Tak bisa berpikir banyak. Hanya bisa “menyerah” menampung ide dan pemikiran sang guru. Kami kehilangan kata. Mungkin itu yang dirasakan oleh anak-anak gaul saat mereka bertemu artis pujaannya. Entahlah.
Tiga lebih separuh jam kami menunggu beliau. Terbayar lunas dalam pertemuan satu jam. Cukup. Sangat cukup. Bahkan untuk beberapa rekan, sepertinya lebih dari cukup. Selesai berfoto-foto dengan beliau, kami pun pamit dari rumah senayan. Tak berhenti kami membahas rasa senang yang sedang mendominasi dada. Sungguh, ceria. Tak mampu termaterikan. Alhamdulillah. 

0 komentar:

Posting Komentar