(Serial Aku dan KAMMI)
Bosan, juga lelah. Itu yang tidak bisa kami sembunyikan
dari wajah-wajah daerah non ibu kota yang kami miliki. Setelah bertolak dari
kediaman Bapak Marwan Batubara, seorang pemikir strategis tentang sumber daya
alam Indonesia, kami menuju rumah besar para penyambung lidah rakyat (baca:
DPR) di senayan. Jarak yang lumayan, ditambah belum baiknya transportasi umum
bangsa ini membuat kami harus mencari alasan tepat untuk tetap semangat. Memang
hari keempat yang cukup melelahkan. Sekaligus sangat mengesankan.
Sudah hampir dua jam kami dibuat layaknya ayam kehilangan
induk. Duduk lesehan di lobby Gedung
Nusantara III. Sembari melihat lalu lalang orang. Ukh Vida, Dewi, Kumala, dan
Erni mengamankan diri dengan duduk di sofa dekat tiang besar. Jauh dari kami
para ikhwan. Akh Mastari, dengan beberap rekan yang lain mulai tertarik dengan
perabot-perabot unik yang ada di sekitar gedung. Mesin informasi tentang jadwal
acara anggota DPR menjadi pelampiasan rasa ingin tahunya. Akh Wibi, mungkin
karena terlalu lelah, hanya duduk bersandar. Tak lama kemudian, dia sedikit
berteriak dan melambaikan tangan. Memanggil Bang Fahri Hamzah yang kemarin
dengan baik hati rela menjadikan rumahnya sebagai tempat sarapan kami,
berlimabelas.
Kebosanan hampir lagi menghampiri kami. Ketidakjelasanlah
sebabnya. Sampai kapan kegiatan menunggu ini terus dilakukan. Hal ini terasa
seperti membuang waktu. Dan tentu saja kita tahu, membuang waktu bagi para
kader KAMMI dan semua orang yang ingin jadi pemimpin, adalah dosa besar tak
terampuni.
“Sabar ya...ustadz sekarang kan udah jadi milik umum.
Jadi jadwalnya padat sekali. Antum semua harap maklum. Sabar. Insya Allah
ketemu.”, kalimat Bang Mohan cukup untuk menurunkan tensi kejumudan kami. Meski
sebenarnya itupun tak mampu bertahan lama.
Kedua kalinya Akh Wibi berteriak. Tapi objeknya adalah
kami. Semua dari kami.
“Itu ustadz...”, katanya.
Saat badan mulai beranjak dari peraduan hibernatif
masing-masing, Bang Mohan memberikan isyarat kepada kami untuk diam. Tunggu
lagi.
“Antum semua ga boleh
langsung nyerobot gitu. Beliau masih
ada acara. Nanti kita akan dihubungi aspri-nya
kalau ustadz sudah siap. Santai aja.”
Blusssssss.......kecewa berat. Tapi memang benar apa yang
disampaikan Bang Mohan. Semua jadwal beliau, sudah tertata dengan sangat baik,
rapi, dan proporsional. Sangat tak beradab jika kami datang tiba-tiba dan
berefek rusaknya jadwal beliau. Kasihan. Kasihan ustadz, lebih kasihan lagi
kami yang melanjutkan keterlantaran ini.
“Udah, bentar lagi ketemu kok. Kan ntu orangnye udah ada.”, Akh Inggar nyeletuk.
Kalimat yang jauh dari rasa formal itu ternyata cukup
ampuh menghipnotis kesadaran kami. Bahkan kami mulai mendiskusikan reaksi dan
pertanyaan apa yang akan kami sampaikan kepada ustadz nanti. Begini dan begitu.
Banyak sekali. Meski tetap saja ada di antara kami yang lebih tertarik dengan
perabot-perabot canggih yang ada di hamparan lobby.
“Oke...ayo ke atas, kita udah ditunggu.”, kalimat Bang
Mohan membuat kami sekonyong-konyong bangun.
Senyum mulai melebar di antara kami. Terutama Ukh Dewi.
Bagaimana tidak, dia datang jauh-jauh dari Papua. Dengan segala kekuatan fisik,
kesempatan waktu yang dipaksakan, dan kecermatan anggaran dia datang ke
Jakarta. Ya, peserta acara ini benar-benar tersebar. Dari ujung barat diwakili
akh Rizqi dari Universitas Negeri Padang. Turun ke Lampung, akh Ghandaru dan
Taufiq. Masuk daerah Jakarta, Inggar Saputra menjadi delegasi. Akh Mastari dari
Cirebon. Dari Bogor, aku dan ukh Vida. Masuk wilayah Jawa bagian Tengah
diwakili akh Hasan, Muharram, dan ukh Erni dari Universitas Jenderal Soedirman,
Purwokerto. Ditambah dua orang dari Univ. Diponegoro, akh Neil dan Barry. Wibisono
dari UGM, ukh Kumala dari IAIN Kalimantan Selatan, ditutup oleh ukh Dewi Arika
dari Papua.
Inilah program pengkaderan dan pendidikan terbaru yang
diklaim oleh PP KAMMI. Selama ini daurah yang diadakan selalu mengundang
pembicara dan datang menghampiri peserta. Tapi kali ini, para peserta yang
menyongsong sumber-sumber ilmu. Biar nyunnah
katanya, menghampiri para ulama kalau mau belajar.
Ya, latar tempat sudah berubah. Dari lesehan di lobby
Nusantara III, sekarang ke ruangan khusus Wakil Ketua DPR RI. Tidak terlalu
besar memang. Dua lapis kursi dan meja. Di setiap bangku disediakan pengeras
suara yang cukup untuk membuat suara terdengar dengan baik, meski tak
mengubahnya jadi merdu.
Namun, yang masih sama adalah kegiatan kami. Menunggu. Kami
diminta lebih bersabar lagi.
“Afwan...ustadz masih siaran langsung dengan radio dari
Libya. Sabar ya.”, kata salah seorang petugas. Atau mungkin asisten ustadz.
Tapi entahlah, identitasnya tidak menjadi penting buat kami. Yang jelas tugas
kami hanyalah menunggu.
Kebosanan mungkin sudah hampir titik stationer dalam fungsi kuadrat. Maka sudah mulai banyak yang
mencari cara menghilangkan kebosanan itu. Akh Neil dan Ghandaru asyik dengan
mushafnya. Akh Rizqi berusaha men-setting handycam
yang dibawanya. Sesekali kuminta dia untuk tidak menghalangi pandangan handycam-ku. Barry dan Inggar menulis
sesuatu di selembar kertas. Mungkin pertanyaan yang ingin disampaikannya. Wibi
dan ikhwan tersisa, kutak-katik hape.
Dan rekan-rekan akhwat di belakang asyik berdiskusi meski suaranya seperti tagline mobil diesel, nyaris tak
terdengar.
Setiap pintu utama terbuka, kami semua berdiri. Mengira
bahwa ustadz yang rawuh (baca: hadir
dalam bahasa jawa-red). Tapi lagi-lagi bukan. Begitu seringnya mas aspri dan petugas lain keluar masuk
lewat pintu itu. Hingga akhirnya kami bosan bermain berdiri-duduk tanpa
kejelasan siapa pemenangnya. Hasilnya, tanpa syuro pun, kami sepakat
berkomunikasi dalam bahasa qalbu, tidak
usah berdiri lagi. Paling-paling bukan ustadz.
Seorang masuk mendekati bangku Hasan. Kami terbelalak.
Dengan segera kami berdiri. Tapi orang itu memberi isyarat larangan untuk
berdiri. Dia berjalan menghampiri kami, satu per satu. Menjabat tangan kami
semua, para ikhwan. Kami mendadak langsung merasa tak enak. Merasa tak sopan.
Merasa tak beradab sebagai mutarobbi. Bagaimana
mungkin kami membiarkan guru kami yang berjalan mendekati kami. Padahal
seharusnya kami yang memuliakan beliau. Tapi begitulah kira-kira pesan moral
awal yang ingin disampaikan sang guru. Bahwa kepahaman keilmuan yang baik
justru membuat pelakunya semakin rendah hati. Begitulah, ustadz Anis Matta, Lc.
Diskusi pun berlangsung. Dimulai dari pengantar yang
disampaikan Bang Mohan, ustadz mulai memberikan taujih. Kami memperhatikan
dengan sangat seksama. Layaknya seekor macan yang sedang memperhatikan
mangsanya dengan sangat teliti. Takut kehilangan dan tertinggal.
Isi diskusi yang begitu eksklusif menggebyar di setiap
sela dengar. Bahkan informasi lapis satu, yang biasanya hanya didengarkan para
ustadz, saat itu kami dengarkan. Dadaku pun kembang kempis dibuatnya.
Benar-benar terasa, betapa beratnya menghadirkan kebenaran di nusantara. Apalagi
jika ditambah visi menyejahterakan umat Islam di Indonesia, sekaligus tugas
besar kita semua untuk membangun khilafah di dunia.
“Belajarlah...sebelum kalian memimpin”. Kalimat yang
berasal dari Umar bin Khattab r.a. menjadi inti taujih beliau. Karena di saat
memimpin nanti, tak ada lagi kesempatan untuk belajar. Objek kepemimpinan
(baca: rakyat) hanya tahu kita salah jika melakukan kesalahan dalam memimpin.
Juga benar jika kita memimpin dengan benar. Tanpa mau tahu alasannya dan apa
yang sebenarnya terjadi.
Arahan itu sangat berpengaruh untuk kami. Karena, menurut
beliau, masa kami di kampus adalah masa paling tepat untuk belajar. Meski juga
tak mengapa sesekali show up atas hasil belajar. Karena kebanyakan para
pemimpin di Indonesia tak cukup waktu untuk menyiapkan dirinya menjadi
pemimpin. Jadilah eksekutif-eksekutif pemerintahan di Indonesia hanyalah
sebatas pimpinan yang tak pernah memahami arti dan esensi kepemimpinan itu
sendiri. Terkotak pada status dan posisi, bukan hakikat intidan substansi.
“Antum semua juga harus perhatikan kesehatan antum ya.
Istirahat yang teratur. Tidur ya....delapan jam lah sehari. Antum semua kan
masih masa pertumbuhan.”. Kalimat itu membuat hampir dari kami semua tersenyum.
Tak pernah ada dan bisa di kamus hidup kami dan KAMMI untuk tidur 8 jam sehari.
Maklum, aktivis. Karena itu, badannya “tivis-tivis”.
“Satu hal lagi ikhwatifillah...antum semua, calon
pemimpin. Maka setidaknya...ada tiga hal yang harus antum pelajari dengan
serius. Pertama, sejarah. Ini
memberikan arahan kepada kita untuk bertindak di masa yang akan datang. Kedua, geografi. Supaya antum semua tahu
seberapa luas wilayah yang akan antum pimpin. Harusnya pengurus pusat ini
sering-sering ya main ke daerah-daerah gitu.
Dan yang terakhir, sastra. Ini menguatkan visi antum dan citarasa retorika
antum lewat lisan atau tulisan. ”, kami semua manggut-manggut mendengar taujih di bagian ini.
“Supaya antum semua menghemat waktu, jangan baca semua
apalagi sembarang buku. Bacalah buku-buku dari penulis nomor satu di bidang
itu. Misal, sejarah. Antum cari, siapa orang nomor satu di bidang itu. Antum
cari bukunya. Baca. Itu sangat efektif. Sekaligus hemat waktu.”
Kami semua terpesona. Sangat terpukau. Sampai-sampai
semua pertanyaan yang kami rancang saat terlantar di Nusantara III, mendadak
hilang. Tak bisa berpikir banyak. Hanya bisa “menyerah” menampung ide dan
pemikiran sang guru. Kami kehilangan kata. Mungkin itu yang dirasakan oleh
anak-anak gaul saat mereka bertemu
artis pujaannya. Entahlah.
Tiga lebih separuh jam kami menunggu beliau. Terbayar
lunas dalam pertemuan satu jam. Cukup. Sangat cukup. Bahkan untuk beberapa
rekan, sepertinya lebih dari cukup. Selesai berfoto-foto dengan beliau, kami
pun pamit dari rumah senayan. Tak berhenti kami membahas rasa senang yang
sedang mendominasi dada. Sungguh, ceria. Tak mampu termaterikan. Alhamdulillah.
0 komentar:
Posting Komentar