Selasa, 17 Maret 2015

Revolusi Sosial dan Kegoblokan Jamaah.

“Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga 'Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing)” (QS. Ali imran : 33)


Pesona perbincangan pada aspek sosial benar-benar menyita banyak mata dan telinga. Setidaknya abad ini. Bisa jadi hingga abad berikutnya. Bahkan, dari sebuah lini ide pada aspek ini, bisa berkembang ribuan derivasi topik bincang yang begitu menggiurkan untuk media jual. Gosok kanan kiri, rebut atas bawah, atau sekaligus memakai cara-cara tak lazim dalam proses memberitakan, sah-sah saja. 


Sehingga sering kita kenal paham mainstream  yang seakan menggiring kita semua pada sebuah pemahaman yang senada, meski tetap tak mutlak sama. Tak lama, perbincangan yang hadir di tengah-tengah media dan kita sebagai pirsawannya hadir sebagai wahyu tandingan yang menuju absolut legalitasnya. Otak kita terseragamkan dan padu dalam kebersamaan berdasarkan skenario. Media seakan menjadi “imam madzhab” trendsetter yang begitu maksum sosial. Meski tak sedikit pula yang mulai kehilangan substansi isi dan ide. Hingga perbincangan yang harusnya ilmiah dan solutif tak lebih sebagai style infotainment yang penuh intrik, retorika, dan keindahan “kepo”-isme.


Kurang serta lebihnya, seperti itu keadaan di negara-negara dunia ketiga. Negara yang layak tersebut sebagai floating nation. Bukan karena legalitas hukum kenegaraannya, melainkan dari kacamata esensi kemerdekaan yang harusnya menjadi supremasi eksistensi sebuah bangsa dan negara. 


“Bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa”......


Kebingungan naratif terjadi hampir di negara-negara seperti ini. Apalagi jika berkiblat ke barat atau negara superpower yang ada, seakan ada jarak yang demikian jauh. Hampir tak terkejar dengan segala kemampuan yang dimiliki. Melainkan hanya sedikit saja dan single aspek. Teknologi, ekonomi, kesejahteraan jasmani yang begitu kasat mata menjadi indikator yang tiga per empatnya diakui. Sisanya, atau bolehlah kita katakan selebihnya, adalah kerapuhan struktur sosial dan elemen yang sebenarnya membuat kita layak dinyatakan sebagai manusia atau tidak : budaya, spiritual, dan seni.


Padahal, daerah yang sering dijadikan kiblat di dunia ini juga memiliki begitu banyak kerapuhan ideologi. Bahkan bisa dibilang keadaan internal mereka setali tiga uang dengan negara-negara belum maju. Tentu masih ingat di ingatan kita bahwa krisis besar terjadi di negara adidaya, Amerika Serikat. Tepat pada 2008, terjadi fenomena yang sering disebut para pakar dengan subprime mortgage.  Situasi yang membuat keuangan sangat layak untuk disebut kacau. Ditambah fakta-fakta gelap non dokumentatif. Yang menyatakan bahwa  tingkat pembunuhan di area sekolah negara Paman Sam itu merupakan yang tertinggi di dunia. Broken home, kekerasan jalanan (street crime), pengangguran, dan pergaulan seks bebas, juga ikut menyemarakkan kondisi sosial di sana.


Tentu tanpa maksud merendahkan “sang pemimpin dunia” – versi hari ini. Melainkan dengan tulisan ini kita layak untuk memperbaharui objektivitas kita. Untuk mencoba mencari cara dan perbaikan yang sejati. Agar segera bisa tercapai tujuan yang ingin kita capai : pembangunan berdaya sebuah negara secara material dan psikis.


Mari kita simak dengan teliti, meski tetap sederhana. Negara, tidak lain adalah sebuah representasi entitas sosial. Kumpulan wadah yang berisi manusia. Beraktivitas, melanjutkan kehidupan, mengisinya dengan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan. Dalam hal ini, bolehlah kita serupakan bahwa negara adalah pohon besar. Yang ditopang oleh batang dan ranting. Kehadirannya tidak lain adalah untuk memantapkan eksistensinya di dunia ini. Tapi lebih dari itu, pohon yang baik akan mengeluarkan buah yang manis dengan aroma yang harum. Dengan satu syarat, bahwa pohon tersebut harus berdiri tegak menjulang dan kokoh menantang angkasa. Tentu tak mungkin bisa memberi buah yang baik, jika pohon negara tak bisa berdiri tegap dan sehat.


Tapi yang sering kita lupakan adalah, perhatian terhadap akar. Akar yang menjadi dasar keberadaan pohon. Bagaimanapun keadaan pohon, akar yang menjadi embrio kehidupannya. Begitupun dengan negara. Ijinkan kami tawarkan informasi dan ide untuk revolusi sosial di setiap negara. Lewat sebuah kalimat agung yang singkat berikut :


Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim ayat 6)


Neraka - tentu saja juga apinya, merupakan simbol balasan atas kerusakan yang diperbuat. Karenanya, melalui ayat tersebut kita dihadapkan pada sebuah syarat perbaikan. Meski pemberitahuannya bernada isyarat.


Perbaiki, pelihara, dan bersungguh-sungguhlah dalam mengelola keluarga. Maka dari entitas terkecil ini akan lahir komunitas pendukung untuk membuat kondisi lebih baik. Di langkah selanjutnya, akan lahir lebih banyak lagi ekosistem  yang memungkinkan untuk berkelakuan baik. Begitu seterusnya hingga membesar dan meluas menjadi sebuah wadah kesepakatan sosial bernama negara. Sisanya, mengelola orang-orang baik tentu akan lebih mudah bukan? Ya, benar. Negara hanya tinggal melakukan maintenance people dan mengoptimalkan perbaikan sumberdaya menuju peak performance dari setiap individu. Sederhana? Yap. So, just do it. (AA)









Selasa, 18 November 2014

Susi : Memperbesar Penglihatan dan Aspek Ketersediaan






Jauh. Ini jauh dari menggunjing dan asyik mengumbar keburukan manusia. Kita hanya sedang berusaha untuk memampang cermin raksasa di dalam jiwa, mental, dan ruhiyah. Lalu dihadapkan kepada diri sendiri. Yang tidak mungkin mendapat peringkat sempurna dan paripurna. Melainkan Cuma belajar untuk menjalani kehidupan dengan aturan-aturan baku fleksibel milik Allah SWT. Dan kita belajar dari semua hal, benda, baik hidup maupun mati. Yang nyata maupun ghaib.
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran 191)
Termasuk yang terjadi di Republik ini. Kontroversial. Menggemaskan. Membuat risau di beberapa poin dan pihak. Tapi memberi ketenangan yang menentramkan di pihak yang lain. Benar. Ini adalah cerita tentang Ibu Susi Pudjiastuti. Seorang pengusaha yang dikabarkan tak lulus SMA. Kemudian terpilih menjadi seorang Menteri yang memegang peranan penting di dalam mengatur sumber daya kelautan dan perikanan di sebuah negara maritim-agraris kepulauan terbesar di dunia; Indonesia.
Memaknai inti dari fungsi.
Seringkali kita mengisi otak, tanpa dilengkapi dengan memberi nutrisi pada akal. Padahal otak hanyalah alat bantu. Sedangkan akal yang membuat kita berbeda dengan hewan dan mampu berderajat di atas para malaikat. Tapi jejalan logika yang begitu rakus kita makan hampir setiap jeda waktu membuat kita membuat aturan “jika maka” sendiri tanpa sebuah pendekatan gaya berpikir “min haisu laa yah tasibu” (dari arah yang tak disangka-sangka). Kita memaksa diri kita untuk setia pada pemikiran mayoritas orang – padahal dengan tesis dan premis sangat lemah, dibandingkan kuasa metafisika dan komprehensifitas ilmu dari Sang Penguasa Sejati. Sehingga yang hadir secara tak sadar ialah kemauan diri yang dipaksakan pada semesta agar diakui dan dijadikan hukum universal. Termasuk tentang menghukumi sebuah kejadian.
Sebagai contoh, jika belajar tentang ekonomi, maka akan menjadi ekonom. Jika menekuni bidang sains, akan menjadi ilmuwan. Atau jika mengabdikan diri untuk belajar bertahun-tahun di pesantren, harusnya menjadi kyai besar, kondang, berpengaruh, dan didengar oleh masyarakat. Tidak sepenuhnya salah, tapi harus diingat hal itu juga tidak sepenuhnya benar.
Susi Pudjiastuti hadir untuk mendobrak kesadaran kita dalam berkehidupan, terlebih hidup bernegara dalam aktivitas kepemimpinan. Bahwa tak selamanya pendidikan formal menjadi penentu karier dan kesuksesan. Meski juga tak menjamin orang-orang yang keluar dari sekolah formal akan menjadi sukses kemudian. Tapi dengan ini kita belajar bahwa begitu luasnya ketersediaan ilmu yang harus disambut dengan sebuah metode ilmiah yang mungkin bagi tiap insan akan berbeda. Namun, perbedaan tak harus menjadi sebuah paradigma berpikir untuk menghukumi dan menyimpulkan sesuatu, selain atas suatu hal yang jelas hukumnya. Yang mungkin terasa tak mampu terbantahkan oleh rasio yang kokoh sekalipun.
Juga tentang substansi inti dari proses menjadi pemimpin. Bahwa kepemimpinan bersentral pada proses giving dan coordinating resource. Bukan collecting apalagi hanya ribuan meeting. Sehingga setiap orang yang bercita-cita menjadi pemimpin – terutama di negeri ini, harus sering membuat obsesi atas sebuah pertanyaan “apa yang bisa saya berikan untuk kemajuan dan kebaikan kelompok yang saya pimpin”. Bukan “apa yang bisa saya raih dengan posisi ini” atau “pembicaraan apa yang harus saya sampaikan”.
Karenanya, tentu menjadi sebuah tuntutan alami jika para pemimpin harus mempersiapkan kemampuan yang bersifat kepakaran. Terutama di dalam penguasaan masalah dan komunikasi koordinatif. Tak ubahnya seperti seorang pengarang cerita yang ingin merancang kisah di dalam tiap tulisannya. Pada poin ini, dapat kita pahami bahwa yang terpenting dari seorang pemimpin adalah apa yang bisa dia lakukan. Bukan bagaimana, dari mana, dan siapa dia.
Sehingga berhentilah menghakimi. Apalagi jika hanya katanya. Demi Allah, kita tidak lebih baik dari manusia lain melainkan hanya pada hal-hal yang sedikit saja. Jauh lebih banyak perihal diri sendiri yang harus diperbaiki. Dan bukanlah sifat seorang mukmin yang tertarik pada prasangka tak berdasar atas ketetapan yang Allah SWT kehendaki.

Dari Abu Hurairah رضي الله عنه bahwa Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda: "Jauhkanlah dirimu dari prasangka buruk, karena sesungguhnya prasangka itu adalah perkataan yang paling bohong."
(HR. Muttafaq Alaihi.)
 
Ketersediaan dan usaha menyiapkannya

Ide dasar kehadiran agama ini adalah untuk memberikan cara-cara benar dan menyenangkan (secara hakiki) di dalam menjalani kehidupan. Bukan ideologi pengutuk yang hanya mampu menyalahkan tanpa alternatif, tanpa pilihan cara lain, yang lebih baik dan bermartabat.

 “Thaahaa. Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah” (QS.Thaahaa : 1-2)

Karenanya, gaya berpikir yang harus kita kedepankan terhadap maksud ekspansi ideologi Islam seharusnya bersentral pada proses persuasif-alternatif. Artinya berusaha mengajak pada sebuah cara yang jauh lebih baik daripada selain Islam.
Atas dasar itu, pemahaman kita semua untuk menawarkan Islam perlu review internalisasi. Selain pengetahuan dalil syari dan pengayaan dalil aqli sebagai media support, harus ditambah dengan kompetensi pemilihan alternatif yang ada dalam manhaj Islam dan mampu menjawab kebutuhan. Jangan menambah sikap bodoh kebanyakan orang yang “memberi makan pada orang yang kehausan”. Tak hanya menyelesaikan masalah, bahkan bisa menjadi kontrapositif atas usaha kebaikan yang kita lakukan. Setelah itu baru perluasan tsaqofah kebijaksanaan cara pandang menjadi bumbu utama yang bisa menjadi akselerator hidayah.
Tapi itu semua akan menjadi pepesan posong, jika ada sebuah hal yang terlewat dari kita: KETERSEDIAAN.  Bagaimana bisa kita menawarkan sesuatu jika tak ada yang bisa ditawarkan? Beribu tesis dan simpulan yang kita luncurkan dalam upaya memenangkan fakta ideologis tak akan mampu masuk dalam ruang logis objek pasar jika tak ada “produk” yang ingin dijual. Apalagi jika untuk memenangkan posisi penjualan, kita melakukan secara tak sadar perilaku negatif berupa penjatuhan citra produk lawan. Jauh dari harapan, maksud tak sampai, harga diri terurai.
Termasuk kasus dari Ibu Susi Pudjiastuti yang (berusaha) kita hormati di Republik ini. Jika memang banyak dari kita yang tak setuju atas penunjukkannya sebagai seorang menteri, cobalah sesekali untuk mulai memikirkan, adakah sosok alternatif yang bisa menjawab kebutuhan posisi yang Susi tempati hari ini. Dengan kualitas yang minimal sama, namun dengan cita rasa kualitas tertentu yang berbeda. Jika tak ada, tak berlebihan kiranya jika kita menamai diri kita sendiri sebagai kelompok pepesan kosong.
Bukankah tak lebih baik kita berpikir strategis untuk menghasilkan stok pengisi posisi? Daripada demikian banyak kutukan kita berikan – yang mayoritas bahkan hanya berdasar “katanya”, tanpa berusaha memberikan kemampuan untuk memperbaiki.
Salah satu usaha positif dari fenomena Susi ialah jika kita berusaha menyiapkan operator hebat untuk tugas besar. Bahkan, menurut sebagian ulama fiqh, termasuk dalam kategori fardlu kifayah jika jamaah muslim mempersiapkan kadernya untuk sebuah posisi strategis. Agar tak dikuasai oleh manusia yang menjadi penentang bagi dakwah dan Islam.
Sahabat, Islam hadir dengan penuh kebaikan dan kebijaksanaannya dalam memandang permasalahan dunia. Bukan sebagai musibah global yang mengantarkan manusia pada keterbelakangan. Mari jadi bagian dari itu. Jika kita tak bisa menyiapkan lilin untuk keadaan gelap, jangan kotori lisan dan pikiran dengan cacian. Tapi di atas itu semua, akan jauh lebih baik jika kita mampu siapkan cahaya besar sebagai alternatif untuk mengatasi kegelapan itu. Dan cahaya itu kami harapkan akan memancar dari....ANDA. (AA)









Selasa, 11 Februari 2014

Tentang Sukses

Sering salah paham. Ya. Kamu dan aku. Beberapa diantaranya karena sengaja. Sengaja untuk tak mencari informasi yang benar. Dan dengan setia, menggunakan asumsi dan anggapan. Untuk menyelamatkan kewibawaan semu dan harga diri membayang. Bahkan saat terdesak pun bukanlah kejujuran yang hadir. Melainkan muslihat terbungkus daun kebenaran. Sekaligus catatan kebanggaan karena telah mampu membanting lawan sekaligus mitra kehidupan dengan opini-opini bombastis. Meski, sekali lagi, kesalahan yang menjadi topik inti.

Termasuk tentang kesuksesan. Apa artinya. Bagaimana penjabarannya. Dan bagaimana rupa bentuk dan morfologinya. Kita - anda dan saya., sering kali menganggap dan memahami sukses secara sangat sederhana. Cenderung simplifikatif. Sampai-sampai kita dengan egois melupakan ide inti dari nilai kesuksesan.

Bahwa sukses adalah kemantapan finansial, keberlimpahan gelar dunia, kasta sosial yang hampir menyaingi Tuhan, hingga gelombang-gelombang gemerlap yang nisbi nilai kebenaran dan kesalahannya. Hingga akhirnya ambiguitas nilai mulai menjangkit, meluas di tengah entitas sosial, dan menjadi anggapan umum serta kebenaran yang (sementara) dianggap hakiki.

Karenanya...kebingungan kita (semoga hanya saya dan bukan anda), sering kali menjadi ide yang dimampatkan dalam realitas. Sehingga begitu ada ruang terbuka untuk menghempaskannya, ledakan pikiran ini tidak siap diterima di hampir setiap kalangan. Bahkan, ketika ada suara-suara ideologis berbasis kebebasan berpendapat hadir, dianggapnya sebagai ancaman dan individu yang akan mengancam ekosistem kehidupan yang dianggap ideal. Hasilnya...para penghempas kebebasan dibunuh secara sistematik, rapi, terstruktur, dan biadab. Mengabaikan hak-hak sosialnya, merusak asumsi citranya, dan akhirnya tersingkir dari pertarungan dunia di panggung sandiwara.

Muhammad (SAW) dan kroninya serta backup dan bala tentaranya hadir. Untuk menjadi duta kebenaran. Sekedar menyampaikan apa yang tidak dia rumuskan. Tapi dirinya menjadi contoh atas apa yang dia lisankan dari bibirnya. Hingga kokoh tiap poin nilai yang ingin dia kembangkan, ajarkan, dan wariskan.

Termasuk tentang arti kesuksesan yang sejati. Kesejatian yang bisa menentramkan. Bukan mainan buatan yang hanya mampu dimainkan di tepian. Hingga akhirnya menjadi buangan yang dilupakan.

Maka Muhammad SAW bersama Tuhannya merumuskan sebuah nilai kehidupan yang dahsyat tanpa menggaungkan kejumawaan. Benar, kesuksesan yang hanya bisa diraih oleh hati yang mau untuk sedikit mengosongkan ruang agar bisa dimasuki tanpa friksi. Kesuksesan yang hanya bisa diraih dengan hati mulia


"Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu" (QS. 49:13)

Karenanya...aku pun bingung kawan, atas kesuksesan yang ternilai di masyarakat. Tapi di tengah kebingunganku itu, aku berharap cuma aku yang menderita. Dan bukan kalian, kamu, apalagi kita. (AA)




Senin, 10 Februari 2014

(tetap) Merasa Kosong

Perjalanan. Yang membuat saya beruntung. Bukan karena jauhnya jarak yang harus ditempuh. Melainkan besarnya usaha untuk menemukan sebuah hal baru. Ide, retorika yang menjadi kerangka berpikir, dan inspirasi-motivasional yang terlalu indah untuk dilupakan. Meski tetap ada perih dan luka yang menghiasi jasad kehidupan.

Selama tujuh tahun berkelana di secuil bagian dari kota hujan. Ratusan kali mondar-mandir ibukota. Bahkan puluhan kali di antaranya hanya dalam rangka ":mengencingi" ibukota yang dipenuhi sesak jejal manusia. Mengikuti berbagai banyak pertemuan formal dan style warkop. Bertemu dengan sekian banyak manusia yang dianggap tokoh dan dewa di pakarnya dengan segala ide, rasio, dan pemahaman terhadap hidup dan kehidupan. Dimulai dari aspek terkecil hingga filosofi mendasar. Yang membuatnya berbeda dengan orang lain, bahkan dengan dirinya sendiri.

Kanan, kiri, poros tengah, dan aliansi status quo pun turut serta memeriahkan ide yang membuncah liar dan bebas di kepala. Namun, tetap rapi dan solid pada tuturan lisan, gerakan mata, lambaian tangan, dan ayunan langkah-langkah kaki para raja kecil. Hingga akhirnya....saat untuk menentukan keputusan dan kesimpulan hadir mengetuk pintu relung hati yang sederhana tanpa singgasana yang mulia. Karena tetap sadar, tak ada yang mulia untuk kemudian dihamba. Juga tak ada manusia yang begitu hina sampai pantas untuk dinista. Kecuali pada asbab yang nyata dan berakar pada prinsip yang tak boleh nisbi.

Kesimpulan itu....yang akhirnya berani kupegang kawan. Prinsip yang menurut orang kebanyakan adalah benar, tapi mereka naif untuk menancapkannya, apalagi melakukannya. Ya. Begitulah manusia. Ras Homo Sapiens yang menurut ilmuwan adalah makhluk tercerdas yang bisa berjalan di bulatan planet ini, sampai saat ini.

Bahwa....tak ada manusia yang berhak merasa unggul dari yang lain. Dalam bidang apapun. Apalagi pada bidang ilmu dan pengalaman. Tidak.

Sehingga kita bisa dan puas tertawa terbahak-bahak jika ada manusia - siapapun dan apapun entitasnya, yang merasa dan berlaku serta bersikap lebih mulia, pintar, dan tahu akan sesuatu. Walaupun kita mungkin paham bahwa dia lebih tahu dari kita. Tapi tidaklah demikian kepantasan seorang bijak dalam bersikap dan memperlakukan manusia lain yang tak sepandai dirinya. Kepandaian yang kokoh selayaknya melahirkan kebijaksanaan dalam membimbing manusia lain untuk mencapai level yang (setidaknya) setara dengan dirinya. Bukan mencemoohnya, membunuh harga dirinya (dengan menelanjangi kesederhanaan intelektualnya) di depan umum, apalagi mengatakan "Aku lebih baik darimu". Ucapan yang akhirnya membuat seonggok malaikat diapikan oleh Tuhanku, dilaknat,, dan akhirnya diusir terhina. Tidak, tidak ada yang pintar di dunia ini. Karena hanya Dia Yang Maha Pintar. Dan karenanya, hanya Dia pula yang patut untuk sombong.

Tertawa kita akan lebih hebat lagi jika ternyata ada orang yang merasa dirinya baik, pintar, dan mulia, namun kita tahu persis bahwa dirinya tak seperti itu. Kecelakaanlah baginya....kecelakaannlah baginya. Otak tak seberapa, hati pun tak mulia, tapi merasa dikelilingi singgasana. Padahal semuanya hanya semu saja. Mari kita kasihani makhluk seperti ini. hatinya tak seluas ruang di rongga perutnya.

Sahabat....aku tahu, kalian lebih baik dan mulia dariku. Tapi merasa mulia dan lebih aik dari orang lain, tak melulu menjamin kita lebih mulia dan pantas untuk baik. Karenanya, siapapun yang melintas di kehidupan kita, tak pantas untuk direndahkan apalagi diabaikan. Tidak. Bukankah manusia-manusia yang hadir ke kehidupan kita tak akan mampir tanpa takdir dari-Nya ? Menghinanya....berarti juga menghina-Nya.

Kalo kita sudah berani menghina-Nya....tawaran saya....mari ciptakan dunia sendiri yang akan kita tinggali tanpa campur tangan-Nya.

Minggu, 09 Februari 2014

tetap berjalan

Memang....sulit rasanya. Hadir dan selalu hadir. Ada dan selalu ada. Siap dan selalu siap. Apalagi hadir, ada, dan selalu siap untuk pilihan-pilihan yang telah dengan sangat apik dipungut. Hingga kadang kita menjadi tak setia, sering jatuh, dan hampir menyerah.

Manusiawi, sangat. Kecuali kita mau untuk duduk sejenak. Lepaskan semua hiruk pikuk dan tarikan magnet dunia dengan segala pesonanya. Meski sulit dan bisa jadi makin pelik. Tapi saya percaya kita - anda dan saya, bisa menemukan lagi rasa itu.

Rasa dimana jalan ini adalah jalan kebenaran. Dengan segala tantangannya, juga romantika yang menghiasinya.

Teman, sahabat, atau kalian yang baru akan menjadi saudaraku, tak penting kesalahan sebesar apapun yg sudah kita lalui. Tapi yang jauh lebih penting adalah prestasi dan kehebatan apa yang sedang kita titi, siapkan, dan cintai.

Tetaplah disini.....di jalan yang benar ini. jalan sederhana yang akan mengantarkan kita menjadi manusia sebenarnya. Dengan duri dan bunganya. Dengan kasih kinasihnya. Juga dengan ilmu dan kepahamannya.

Rabu, 06 Maret 2013

Setor Wajah



“Sejak dilahirkan, KAMMI ini sudah besar. Jadi jangan berusaha mengecilkannya.” (Akbar Zulfakar, Mantan Ketua Umum KAMMI)
Ini yang paling saya sukai. Pertemuan antara setiap kader dan pengurus KAMMI. Tidak hanya dalam satu ruang lingkup KAMMI Daerah, tapi antara KAMMI di setiap tempat. Dari setiap kampus. Sangat beragam akan unsur budaya lokal, kultur intelektual, sampai pada perbedaan cara pandang terhadap KAMMI dan negaranya sendiri. Unik.
Pesona itu kian merebak tatkala sudah masuk pada ruang-ruang diskusi yang membahana. Saya – dan saya yakin teman-teman juga begitu, tak pernah merasa kecil ketika diskusi dimulai. Semua jadi “besar”. Benar-benar besar. Bahkan ada beberapa orang yang merasa dirinya terlalu besar untuk KAMMI. Hingga akhirnya memandang bahwa KAMMI tak mampu menampung kebesarannya. Insilah...itu jalan keluar bagi mereka.
Namun, begitulah. Sejak awal KAMMI dilahirkan, sudah dengan atribut kebesarannya. Bahwa mereka terdidik, terlatih untuk berpikir besar. Tak hanya tentang diri sendiri. Tapi langsung di luar badan subjek pikir. Tidak berpikir bagaimana dia, dan apa yang dia dapat. Tapi selalu tentang apa yang bisa disiapkan untuk diberikan. Mulia, bagi beberapa orang. Susah, untuk orang-orang yang bermasalah dengan keikhlasan. Tak mungkin bisa, bagi manusia berstatus pemuda dan mahasiswa yang penuh pesimisme kehidupan.
Pertemuan demi pertemuan berhasil saya alami. Dari sebuah kampus kecil sampai pada ruangan khusus wakil ketua DPR RI. Tidak ada yang membuat saya bangga selain sebuah kesyukuran yang begitu bergejolak dan menyeruak mempengaruhi raga. Bahwa saya mendapat kenikmatan belajar dari semua hal yang ada di kurikulum KAMMI. Daurah marhalahnya, madrasahnya, daurahnya, “pengadilan” jalanannya, hingga vila-vila mati penuh aura mesum yang mampu ceria lagi karena nafas pemuda KAMMI.
Cukup. Mari kembali pada hakikatnya. Pertemuan antar kader, bagi saya adalah penawar semua masalah yang dihadapi dalam menggulirkan roda dakwah di KAMMI. Juga madrasah yang lebih dahsyat daripada daurah marhalah sekalipun. Ini ibarat kurikulum manhaj kaderisasi yang dimampatkan di dalam beberapa hari saja. Saya bertemu banyak orang yang visinya sangat mendukung kekayaan ide tentang KAMMI, Islam, dan Indonesia.
Sebut sajalah rekan-rekan dari Jatim dan Jateng. Mereka datang dengan penuh kesederhanaan dan “kezuhudan”-nya. Bahkan ketika bertemu seorang kader KAMMI dari Semarang, pertanyaan pertama darinya adalah,”Kalo makan di Jakarta paling murah berapa Mas?”. Sungguh ini sangat berkesan buat saya. Mungkin ini menyindir kita akan kekuatan finansial untuk menjadi aktivis dakwah. Tapi dari pertanyaan itu, saya belajar untuk segera menstabilkan ekonomi pribadi dan rumah tangga. Agar tetap lincah menjadi aktivis.
Berbeda sekali jika kita bertemu saudara dari Jogja. Sangat berbeda. Kepercayaan diri yang memancar dari jasadnya terasa mendominasi dan menular. Aksen bicara yang medok dan sangat cepat, tak pernah menyurutkan kecerdasan dan kekuatan pemahaman tentang politik. Juga pergerakan. Maka tak heran pula jika kita selalu kehabisan waktu diskusi jika mengundang rekan-rekan dari Jogja. Sungguh, tak ada cukup kata  untuk menyatakan kecepatan pikirannya. Apalagi jika dipadukan dengan rekan-rekan Jabar, DKI Jakarta, dan Banten. Umpan tangkap diskusi begitu natural mengalir. Bahkan, jika tak ada pengontrol bicara, katering peserta diskusi bisa jadi bahan kudeta yang revolusioner. Meski tetap dengan tawa canda yang menarik untuk diikuti.
Kesan seriuslah yang ditawarkan oleh hampir setiap kader dari Indonesia timur. Bahkan beberapa pertemuan saya dengan mereka, awalnya selalu tanpa senyum. Tanpa kesan muka yang santai. Selalu tegang.
Tapi hal itu juga bukan tanpa sebab. Pergolakan dakwah di sana, terasa benar pada wilayah ruang aqidah. Bahwa Islam adalah benar. Selainnya sesat. Maka tak heran jika yang dihadapi kader KAMMI di sana adalah ide tentang kristenisasi, penipuan sosial, dan penyesatan agama. Ditambah dengan sulitnya proses regenerasi yang digulirkan. Dengan semakin sibuknya kurikulum pendidikan pada mahasiswa, para kader dituntut cermat untuk membagi diri. Antara aktivitas ekstra  kampus dan tetap membuat diri nyaris cumlaude. Namun saudara-saudara di timur selalu menginspirasi saya – dan beberapa rekan, untuk senantiasa mengoreksi hubungan pribadi kepada Allah SWT. Sungguh, nasihat yang amat berharga.
Nah, menurut saya, pertemuan-pertemuan ini sangat penting bagi kader KAMMI. Ibarat halaqoh harokiyah yang harusnya menjadi kurikulum tak tertulis yang wajib teragendakan. Dengan periode yang baik. Juga dengan tujuan objek yang jelas. Minimal pertemuan itu menyatakan kepada kita bahwa dalam misi penegakan risalah ini, kita tak pernah sendiri. Ada ribuan orang yang berhimpun dalam sebuah rumah besar pemuda Islam; KAMMI.
Selain itu, saya percaya bahwa silaturahim sebagai penambah usia dan rizqi. Karenanya, dengan pertemuan antar kader - baik antar komisariat, antar daerah, ataupun wilayah, sangat penting menambah stamina pergerakan yang menjadi bensin untuk mesin para aktivis. Apalagi jika ditambah dengan budaya diskusi sebagai alat-alat pertukaran pikiran yang cerdas. Tentu saja ini semakin menambah ghirah gerakan di dalam KAMMI.
Selain itu, pembelajaran para leader  salah satunya adalah pengenalan geografis. Agar kita semua tahu seberapa luas wilayah yang akan kita pimpin nantinya. Bahwa Allah inginkan khalifah-khalifah-Nya menjadi orang-orang besar. Terutama ruang pemikiran dan kemampuan pengaturannya. Saya masih ingat betul nasihat salah seorang ustadz kepada rekan-rekan pengurus pusat. Bahwa “Antum semua harus sering jalan-jalan ke daerah. Kunjungi mereka. Agar frekuensi gerak antum sama. Dan agar antum semua tahu, bangsa kita ini sangat luas”.
Maka, saudaraku, bertebaranlah di bumi Indonesia ini. Agar Allah lapangkan jalan kita. Untuk Indonesia. Dan untuk-Nya.

   

Mulazamatul Ulama



(Serial Aku dan KAMMI)
Bosan, juga lelah. Itu yang tidak bisa kami sembunyikan dari wajah-wajah daerah non ibu kota yang kami miliki. Setelah bertolak dari kediaman Bapak Marwan Batubara, seorang pemikir strategis tentang sumber daya alam Indonesia, kami menuju rumah besar para penyambung lidah rakyat (baca: DPR) di senayan. Jarak yang lumayan, ditambah belum baiknya transportasi umum bangsa ini membuat kami harus mencari alasan tepat untuk tetap semangat. Memang hari keempat yang cukup melelahkan. Sekaligus sangat mengesankan.
Sudah hampir dua jam kami dibuat layaknya ayam kehilangan induk. Duduk lesehan di lobby Gedung Nusantara III. Sembari melihat lalu lalang orang. Ukh Vida, Dewi, Kumala, dan Erni mengamankan diri dengan duduk di sofa dekat tiang besar. Jauh dari kami para ikhwan. Akh Mastari, dengan beberap rekan yang lain mulai tertarik dengan perabot-perabot unik yang ada di sekitar gedung. Mesin informasi tentang jadwal acara anggota DPR menjadi pelampiasan rasa ingin tahunya. Akh Wibi, mungkin karena terlalu lelah, hanya duduk bersandar. Tak lama kemudian, dia sedikit berteriak dan melambaikan tangan. Memanggil Bang Fahri Hamzah yang kemarin dengan baik hati rela menjadikan rumahnya sebagai tempat sarapan kami, berlimabelas.
Kebosanan hampir lagi menghampiri kami. Ketidakjelasanlah sebabnya. Sampai kapan kegiatan menunggu ini terus dilakukan. Hal ini terasa seperti membuang waktu. Dan tentu saja kita tahu, membuang waktu bagi para kader KAMMI dan semua orang yang ingin jadi pemimpin, adalah dosa besar tak terampuni.
“Sabar ya...ustadz sekarang kan udah jadi milik umum. Jadi jadwalnya padat sekali. Antum semua harap maklum. Sabar. Insya Allah ketemu.”, kalimat Bang Mohan cukup untuk menurunkan tensi kejumudan kami. Meski sebenarnya itupun tak mampu bertahan lama.
Kedua kalinya Akh Wibi berteriak. Tapi objeknya adalah kami. Semua dari kami.
“Itu ustadz...”, katanya.
Saat badan mulai beranjak dari peraduan hibernatif masing-masing, Bang Mohan memberikan isyarat kepada kami untuk diam. Tunggu lagi.
“Antum semua ga boleh langsung nyerobot gitu. Beliau masih ada acara. Nanti kita akan dihubungi aspri-nya kalau ustadz sudah siap. Santai aja.”
Blusssssss.......kecewa berat. Tapi memang benar apa yang disampaikan Bang Mohan. Semua jadwal beliau, sudah tertata dengan sangat baik, rapi, dan proporsional. Sangat tak beradab jika kami datang tiba-tiba dan berefek rusaknya jadwal beliau. Kasihan. Kasihan ustadz, lebih kasihan lagi kami yang melanjutkan keterlantaran ini.
“Udah, bentar lagi ketemu kok. Kan ntu orangnye udah ada.”, Akh Inggar nyeletuk.
Kalimat yang jauh dari rasa formal itu ternyata cukup ampuh menghipnotis kesadaran kami. Bahkan kami mulai mendiskusikan reaksi dan pertanyaan apa yang akan kami sampaikan kepada ustadz nanti. Begini dan begitu. Banyak sekali. Meski tetap saja ada di antara kami yang lebih tertarik dengan perabot-perabot canggih yang ada di hamparan lobby.
“Oke...ayo ke atas, kita udah ditunggu.”, kalimat Bang Mohan membuat kami sekonyong-konyong bangun.
Senyum mulai melebar di antara kami. Terutama Ukh Dewi. Bagaimana tidak, dia datang jauh-jauh dari Papua. Dengan segala kekuatan fisik, kesempatan waktu yang dipaksakan, dan kecermatan anggaran dia datang ke Jakarta. Ya, peserta acara ini benar-benar tersebar. Dari ujung barat diwakili akh Rizqi dari Universitas Negeri Padang. Turun ke Lampung, akh Ghandaru dan Taufiq. Masuk daerah Jakarta, Inggar Saputra menjadi delegasi. Akh Mastari dari Cirebon. Dari Bogor, aku dan ukh Vida. Masuk wilayah Jawa bagian Tengah diwakili akh Hasan, Muharram, dan ukh Erni dari Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Ditambah dua orang dari Univ. Diponegoro, akh Neil dan Barry. Wibisono dari UGM, ukh Kumala dari IAIN Kalimantan Selatan, ditutup oleh ukh Dewi Arika dari Papua.
Inilah program pengkaderan dan pendidikan terbaru yang diklaim oleh PP KAMMI. Selama ini daurah yang diadakan selalu mengundang pembicara dan datang menghampiri peserta. Tapi kali ini, para peserta yang menyongsong sumber-sumber ilmu. Biar nyunnah katanya, menghampiri para ulama kalau mau belajar.
Ya, latar tempat sudah berubah. Dari lesehan di lobby Nusantara III, sekarang ke ruangan khusus Wakil Ketua DPR RI. Tidak terlalu besar memang. Dua lapis kursi dan meja. Di setiap bangku disediakan pengeras suara yang cukup untuk membuat suara terdengar dengan baik, meski tak mengubahnya jadi merdu.
Namun, yang masih sama adalah kegiatan kami. Menunggu. Kami diminta lebih bersabar lagi.
“Afwan...ustadz masih siaran langsung dengan radio dari Libya. Sabar ya.”, kata salah seorang petugas. Atau mungkin asisten ustadz. Tapi entahlah, identitasnya tidak menjadi penting buat kami. Yang jelas tugas kami hanyalah menunggu.
Kebosanan mungkin sudah hampir titik stationer dalam fungsi kuadrat. Maka sudah mulai banyak yang mencari cara menghilangkan kebosanan itu. Akh Neil dan Ghandaru asyik dengan mushafnya. Akh Rizqi berusaha men-setting handycam yang dibawanya. Sesekali kuminta dia untuk tidak menghalangi pandangan handycam-ku. Barry dan Inggar menulis sesuatu di selembar kertas. Mungkin pertanyaan yang ingin disampaikannya. Wibi dan ikhwan tersisa, kutak-katik hape. Dan rekan-rekan akhwat di belakang asyik berdiskusi meski suaranya seperti tagline mobil diesel, nyaris tak terdengar.
Setiap pintu utama terbuka, kami semua berdiri. Mengira bahwa ustadz yang rawuh (baca: hadir dalam bahasa jawa-red). Tapi lagi-lagi bukan. Begitu seringnya mas aspri dan petugas lain keluar masuk lewat pintu itu. Hingga akhirnya kami bosan bermain berdiri-duduk tanpa kejelasan siapa pemenangnya. Hasilnya, tanpa syuro pun, kami sepakat berkomunikasi dalam bahasa qalbu, tidak usah berdiri lagi. Paling-paling bukan ustadz.
Seorang masuk mendekati bangku Hasan. Kami terbelalak. Dengan segera kami berdiri. Tapi orang itu memberi isyarat larangan untuk berdiri. Dia berjalan menghampiri kami, satu per satu. Menjabat tangan kami semua, para ikhwan. Kami mendadak langsung merasa tak enak. Merasa tak sopan. Merasa tak beradab sebagai mutarobbi. Bagaimana mungkin kami membiarkan guru kami yang berjalan mendekati kami. Padahal seharusnya kami yang memuliakan beliau. Tapi begitulah kira-kira pesan moral awal yang ingin disampaikan sang guru. Bahwa kepahaman keilmuan yang baik justru membuat pelakunya semakin rendah hati. Begitulah, ustadz Anis Matta, Lc.
Diskusi pun berlangsung. Dimulai dari pengantar yang disampaikan Bang Mohan, ustadz mulai memberikan taujih. Kami memperhatikan dengan sangat seksama. Layaknya seekor macan yang sedang memperhatikan mangsanya dengan sangat teliti. Takut kehilangan dan tertinggal.
Isi diskusi yang begitu eksklusif menggebyar di setiap sela dengar. Bahkan informasi lapis satu, yang biasanya hanya didengarkan para ustadz, saat itu kami dengarkan. Dadaku pun kembang kempis dibuatnya. Benar-benar terasa, betapa beratnya menghadirkan kebenaran di nusantara. Apalagi jika ditambah visi menyejahterakan umat Islam di Indonesia, sekaligus tugas besar kita semua untuk membangun khilafah di dunia.
“Belajarlah...sebelum kalian memimpin”. Kalimat yang berasal dari Umar bin Khattab r.a. menjadi inti taujih beliau. Karena di saat memimpin nanti, tak ada lagi kesempatan untuk belajar. Objek kepemimpinan (baca: rakyat) hanya tahu kita salah jika melakukan kesalahan dalam memimpin. Juga benar jika kita memimpin dengan benar. Tanpa mau tahu alasannya dan apa yang sebenarnya terjadi.
Arahan itu sangat berpengaruh untuk kami. Karena, menurut beliau, masa kami di kampus adalah masa paling tepat untuk belajar. Meski juga tak mengapa sesekali show up atas hasil belajar. Karena kebanyakan para pemimpin di Indonesia tak cukup waktu untuk menyiapkan dirinya menjadi pemimpin. Jadilah eksekutif-eksekutif pemerintahan di Indonesia hanyalah sebatas pimpinan yang tak pernah memahami arti dan esensi kepemimpinan itu sendiri. Terkotak pada status dan posisi, bukan hakikat intidan substansi.
“Antum semua juga harus perhatikan kesehatan antum ya. Istirahat yang teratur. Tidur ya....delapan jam lah sehari. Antum semua kan masih masa pertumbuhan.”. Kalimat itu membuat hampir dari kami semua tersenyum. Tak pernah ada dan bisa di kamus hidup kami dan KAMMI untuk tidur 8 jam sehari. Maklum, aktivis. Karena itu, badannya “tivis-tivis”.
“Satu hal lagi ikhwatifillah...antum semua, calon pemimpin. Maka setidaknya...ada tiga hal yang harus antum pelajari dengan serius. Pertama, sejarah. Ini memberikan arahan kepada kita untuk bertindak di masa yang akan datang. Kedua, geografi. Supaya antum semua tahu seberapa luas wilayah yang akan antum pimpin. Harusnya pengurus pusat ini sering-sering ya main ke daerah-daerah gitu. Dan yang terakhir, sastra. Ini menguatkan visi antum dan citarasa retorika antum lewat lisan atau tulisan. ”, kami semua manggut-manggut mendengar taujih di bagian ini.
“Supaya antum semua menghemat waktu, jangan baca semua apalagi sembarang buku. Bacalah buku-buku dari penulis nomor satu di bidang itu. Misal, sejarah. Antum cari, siapa orang nomor satu di bidang itu. Antum cari bukunya. Baca. Itu sangat efektif. Sekaligus hemat waktu.”
Kami semua terpesona. Sangat terpukau. Sampai-sampai semua pertanyaan yang kami rancang saat terlantar di Nusantara III, mendadak hilang. Tak bisa berpikir banyak. Hanya bisa “menyerah” menampung ide dan pemikiran sang guru. Kami kehilangan kata. Mungkin itu yang dirasakan oleh anak-anak gaul saat mereka bertemu artis pujaannya. Entahlah.
Tiga lebih separuh jam kami menunggu beliau. Terbayar lunas dalam pertemuan satu jam. Cukup. Sangat cukup. Bahkan untuk beberapa rekan, sepertinya lebih dari cukup. Selesai berfoto-foto dengan beliau, kami pun pamit dari rumah senayan. Tak berhenti kami membahas rasa senang yang sedang mendominasi dada. Sungguh, ceria. Tak mampu termaterikan. Alhamdulillah.