Selasa, 17 Maret 2015
Selasa, 18 November 2014
Susi : Memperbesar Penglihatan dan Aspek Ketersediaan
Jauh. Ini jauh dari menggunjing dan asyik
mengumbar keburukan manusia. Kita hanya sedang berusaha untuk memampang cermin
raksasa di dalam jiwa, mental, dan ruhiyah. Lalu dihadapkan kepada diri
sendiri. Yang tidak mungkin mendapat peringkat sempurna dan paripurna.
Melainkan Cuma belajar untuk menjalani kehidupan dengan aturan-aturan baku
fleksibel milik Allah SWT. Dan kita belajar dari semua hal, benda, baik hidup
maupun mati. Yang nyata maupun ghaib.
“(yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan
Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka
peliharalah Kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran 191)
Termasuk yang terjadi di Republik ini.
Kontroversial. Menggemaskan. Membuat risau di beberapa poin dan pihak. Tapi
memberi ketenangan yang menentramkan di pihak yang lain. Benar. Ini adalah
cerita tentang Ibu Susi Pudjiastuti. Seorang pengusaha yang dikabarkan tak
lulus SMA. Kemudian terpilih menjadi seorang Menteri yang memegang peranan
penting di dalam mengatur sumber daya kelautan dan perikanan di sebuah negara
maritim-agraris kepulauan terbesar di dunia; Indonesia.
Memaknai inti dari fungsi.
Seringkali kita mengisi otak, tanpa
dilengkapi dengan memberi nutrisi pada akal. Padahal otak hanyalah alat bantu.
Sedangkan akal yang membuat kita berbeda dengan hewan dan mampu berderajat di
atas para malaikat. Tapi jejalan logika yang begitu rakus kita makan hampir
setiap jeda waktu membuat kita membuat aturan “jika maka” sendiri tanpa sebuah
pendekatan gaya berpikir “min haisu laa yah tasibu” (dari arah yang tak
disangka-sangka). Kita memaksa diri kita untuk setia pada pemikiran mayoritas
orang – padahal dengan tesis dan premis sangat lemah, dibandingkan kuasa
metafisika dan komprehensifitas ilmu dari Sang Penguasa Sejati. Sehingga yang
hadir secara tak sadar ialah kemauan diri yang dipaksakan pada semesta agar
diakui dan dijadikan hukum universal. Termasuk tentang menghukumi sebuah
kejadian.
Sebagai contoh, jika belajar tentang ekonomi,
maka akan menjadi ekonom. Jika menekuni bidang sains, akan menjadi ilmuwan.
Atau jika mengabdikan diri untuk belajar bertahun-tahun di pesantren, harusnya menjadi kyai besar, kondang,
berpengaruh, dan didengar oleh masyarakat. Tidak sepenuhnya salah, tapi harus
diingat hal itu juga tidak sepenuhnya benar.
Susi Pudjiastuti hadir untuk mendobrak
kesadaran kita dalam berkehidupan, terlebih hidup bernegara dalam aktivitas
kepemimpinan. Bahwa tak selamanya pendidikan formal menjadi penentu karier dan
kesuksesan. Meski juga tak menjamin orang-orang yang keluar dari sekolah formal
akan menjadi sukses kemudian. Tapi dengan ini kita belajar bahwa begitu luasnya
ketersediaan ilmu yang harus disambut dengan sebuah metode ilmiah yang mungkin
bagi tiap insan akan berbeda. Namun, perbedaan tak harus menjadi sebuah
paradigma berpikir untuk menghukumi dan menyimpulkan sesuatu, selain atas suatu
hal yang jelas hukumnya. Yang mungkin terasa tak mampu terbantahkan oleh rasio
yang kokoh sekalipun.
Juga tentang substansi inti dari proses
menjadi pemimpin. Bahwa kepemimpinan bersentral pada proses giving dan coordinating resource. Bukan collecting
apalagi hanya ribuan meeting. Sehingga
setiap orang yang bercita-cita menjadi pemimpin – terutama di negeri ini, harus
sering membuat obsesi atas sebuah pertanyaan “apa yang bisa saya berikan untuk
kemajuan dan kebaikan kelompok yang saya pimpin”. Bukan “apa yang bisa saya
raih dengan posisi ini” atau “pembicaraan apa yang harus saya sampaikan”.
Karenanya, tentu menjadi sebuah tuntutan
alami jika para pemimpin harus mempersiapkan kemampuan yang bersifat kepakaran.
Terutama di dalam penguasaan masalah dan komunikasi koordinatif. Tak ubahnya
seperti seorang pengarang cerita yang ingin merancang kisah di dalam tiap
tulisannya. Pada poin ini, dapat kita pahami bahwa yang terpenting dari seorang
pemimpin adalah apa yang bisa dia lakukan. Bukan bagaimana, dari mana, dan
siapa dia.
Sehingga berhentilah menghakimi. Apalagi jika
hanya katanya. Demi Allah, kita tidak lebih baik dari manusia lain melainkan
hanya pada hal-hal yang sedikit saja. Jauh lebih banyak perihal diri sendiri
yang harus diperbaiki. Dan bukanlah sifat seorang mukmin yang tertarik pada
prasangka tak berdasar atas ketetapan yang Allah SWT kehendaki.
“Dari
Abu Hurairah رضي الله عنه bahwa Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda: "Jauhkanlah
dirimu dari prasangka buruk,
karena sesungguhnya prasangka itu adalah
perkataan yang paling bohong."
(HR.
Muttafaq Alaihi.)
Ketersediaan dan usaha menyiapkannya
Ide dasar kehadiran
agama ini adalah untuk memberikan cara-cara benar dan menyenangkan (secara
hakiki) di dalam menjalani kehidupan. Bukan ideologi pengutuk yang hanya mampu
menyalahkan tanpa alternatif, tanpa pilihan cara lain, yang lebih baik dan bermartabat.
“Thaahaa. Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu
agar kamu menjadi susah” (QS.Thaahaa : 1-2)
Karenanya, gaya
berpikir yang harus kita kedepankan terhadap maksud ekspansi ideologi Islam
seharusnya bersentral pada proses persuasif-alternatif. Artinya berusaha mengajak
pada sebuah cara yang jauh lebih baik daripada selain Islam.
Atas dasar itu,
pemahaman kita semua untuk menawarkan Islam perlu review internalisasi. Selain
pengetahuan dalil syari dan pengayaan dalil aqli sebagai media support, harus
ditambah dengan kompetensi pemilihan alternatif yang ada dalam manhaj Islam dan
mampu menjawab kebutuhan. Jangan menambah sikap bodoh kebanyakan orang yang “memberi
makan pada orang yang kehausan”. Tak hanya menyelesaikan masalah, bahkan bisa
menjadi kontrapositif atas usaha kebaikan yang kita lakukan. Setelah itu baru perluasan
tsaqofah kebijaksanaan cara pandang
menjadi bumbu utama yang bisa menjadi akselerator hidayah.
Tapi itu semua akan
menjadi pepesan posong, jika ada sebuah hal yang terlewat dari kita: KETERSEDIAAN. Bagaimana bisa kita menawarkan sesuatu jika
tak ada yang bisa ditawarkan? Beribu tesis dan simpulan yang kita luncurkan
dalam upaya memenangkan fakta ideologis tak akan mampu masuk dalam ruang logis
objek pasar jika tak ada “produk” yang ingin dijual. Apalagi jika untuk
memenangkan posisi penjualan, kita melakukan secara tak sadar perilaku negatif berupa
penjatuhan citra produk lawan. Jauh dari harapan, maksud tak sampai, harga diri
terurai.
Termasuk kasus dari
Ibu Susi Pudjiastuti yang (berusaha) kita hormati di Republik ini. Jika memang banyak
dari kita yang tak setuju atas penunjukkannya sebagai seorang menteri, cobalah
sesekali untuk mulai memikirkan, adakah sosok alternatif yang bisa menjawab
kebutuhan posisi yang Susi tempati hari ini. Dengan kualitas yang minimal sama,
namun dengan cita rasa kualitas tertentu yang berbeda. Jika tak ada, tak
berlebihan kiranya jika kita menamai diri kita sendiri sebagai kelompok pepesan
kosong.
Bukankah tak lebih
baik kita berpikir strategis untuk menghasilkan stok pengisi posisi? Daripada demikian
banyak kutukan kita berikan – yang mayoritas bahkan hanya berdasar “katanya”, tanpa
berusaha memberikan kemampuan untuk memperbaiki.
Salah satu usaha
positif dari fenomena Susi ialah jika kita berusaha menyiapkan operator hebat
untuk tugas besar. Bahkan, menurut sebagian ulama fiqh, termasuk dalam kategori
fardlu kifayah jika jamaah muslim mempersiapkan kadernya untuk sebuah posisi
strategis. Agar tak dikuasai oleh manusia yang menjadi penentang bagi dakwah
dan Islam.
Sahabat, Islam hadir
dengan penuh kebaikan dan kebijaksanaannya dalam memandang permasalahan dunia. Bukan
sebagai musibah global yang mengantarkan manusia pada keterbelakangan. Mari
jadi bagian dari itu. Jika kita tak bisa menyiapkan lilin untuk keadaan gelap,
jangan kotori lisan dan pikiran dengan cacian. Tapi di atas itu semua, akan
jauh lebih baik jika kita mampu siapkan cahaya besar sebagai alternatif untuk
mengatasi kegelapan itu. Dan cahaya itu kami harapkan akan memancar
dari....ANDA. (AA)
Selasa, 11 Februari 2014
Tentang Sukses
Sering salah paham. Ya. Kamu dan aku. Beberapa diantaranya karena sengaja. Sengaja untuk tak mencari informasi yang benar. Dan dengan setia, menggunakan asumsi dan anggapan. Untuk menyelamatkan kewibawaan semu dan harga diri membayang. Bahkan saat terdesak pun bukanlah kejujuran yang hadir. Melainkan muslihat terbungkus daun kebenaran. Sekaligus catatan kebanggaan karena telah mampu membanting lawan sekaligus mitra kehidupan dengan opini-opini bombastis. Meski, sekali lagi, kesalahan yang menjadi topik inti.
Termasuk tentang kesuksesan. Apa artinya. Bagaimana penjabarannya. Dan bagaimana rupa bentuk dan morfologinya. Kita - anda dan saya., sering kali menganggap dan memahami sukses secara sangat sederhana. Cenderung simplifikatif. Sampai-sampai kita dengan egois melupakan ide inti dari nilai kesuksesan.
Bahwa sukses adalah kemantapan finansial, keberlimpahan gelar dunia, kasta sosial yang hampir menyaingi Tuhan, hingga gelombang-gelombang gemerlap yang nisbi nilai kebenaran dan kesalahannya. Hingga akhirnya ambiguitas nilai mulai menjangkit, meluas di tengah entitas sosial, dan menjadi anggapan umum serta kebenaran yang (sementara) dianggap hakiki.
Karenanya...kebingungan kita (semoga hanya saya dan bukan anda), sering kali menjadi ide yang dimampatkan dalam realitas. Sehingga begitu ada ruang terbuka untuk menghempaskannya, ledakan pikiran ini tidak siap diterima di hampir setiap kalangan. Bahkan, ketika ada suara-suara ideologis berbasis kebebasan berpendapat hadir, dianggapnya sebagai ancaman dan individu yang akan mengancam ekosistem kehidupan yang dianggap ideal. Hasilnya...para penghempas kebebasan dibunuh secara sistematik, rapi, terstruktur, dan biadab. Mengabaikan hak-hak sosialnya, merusak asumsi citranya, dan akhirnya tersingkir dari pertarungan dunia di panggung sandiwara.
Muhammad (SAW) dan kroninya serta backup dan bala tentaranya hadir. Untuk menjadi duta kebenaran. Sekedar menyampaikan apa yang tidak dia rumuskan. Tapi dirinya menjadi contoh atas apa yang dia lisankan dari bibirnya. Hingga kokoh tiap poin nilai yang ingin dia kembangkan, ajarkan, dan wariskan.
Termasuk tentang arti kesuksesan yang sejati. Kesejatian yang bisa menentramkan. Bukan mainan buatan yang hanya mampu dimainkan di tepian. Hingga akhirnya menjadi buangan yang dilupakan.
Maka Muhammad SAW bersama Tuhannya merumuskan sebuah nilai kehidupan yang dahsyat tanpa menggaungkan kejumawaan. Benar, kesuksesan yang hanya bisa diraih oleh hati yang mau untuk sedikit mengosongkan ruang agar bisa dimasuki tanpa friksi. Kesuksesan yang hanya bisa diraih dengan hati mulia
"Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu" (QS. 49:13)
Karenanya...aku pun bingung kawan, atas kesuksesan yang ternilai di masyarakat. Tapi di tengah kebingunganku itu, aku berharap cuma aku yang menderita. Dan bukan kalian, kamu, apalagi kita. (AA)
Termasuk tentang kesuksesan. Apa artinya. Bagaimana penjabarannya. Dan bagaimana rupa bentuk dan morfologinya. Kita - anda dan saya., sering kali menganggap dan memahami sukses secara sangat sederhana. Cenderung simplifikatif. Sampai-sampai kita dengan egois melupakan ide inti dari nilai kesuksesan.
Bahwa sukses adalah kemantapan finansial, keberlimpahan gelar dunia, kasta sosial yang hampir menyaingi Tuhan, hingga gelombang-gelombang gemerlap yang nisbi nilai kebenaran dan kesalahannya. Hingga akhirnya ambiguitas nilai mulai menjangkit, meluas di tengah entitas sosial, dan menjadi anggapan umum serta kebenaran yang (sementara) dianggap hakiki.
Karenanya...kebingungan kita (semoga hanya saya dan bukan anda), sering kali menjadi ide yang dimampatkan dalam realitas. Sehingga begitu ada ruang terbuka untuk menghempaskannya, ledakan pikiran ini tidak siap diterima di hampir setiap kalangan. Bahkan, ketika ada suara-suara ideologis berbasis kebebasan berpendapat hadir, dianggapnya sebagai ancaman dan individu yang akan mengancam ekosistem kehidupan yang dianggap ideal. Hasilnya...para penghempas kebebasan dibunuh secara sistematik, rapi, terstruktur, dan biadab. Mengabaikan hak-hak sosialnya, merusak asumsi citranya, dan akhirnya tersingkir dari pertarungan dunia di panggung sandiwara.
Muhammad (SAW) dan kroninya serta backup dan bala tentaranya hadir. Untuk menjadi duta kebenaran. Sekedar menyampaikan apa yang tidak dia rumuskan. Tapi dirinya menjadi contoh atas apa yang dia lisankan dari bibirnya. Hingga kokoh tiap poin nilai yang ingin dia kembangkan, ajarkan, dan wariskan.
Termasuk tentang arti kesuksesan yang sejati. Kesejatian yang bisa menentramkan. Bukan mainan buatan yang hanya mampu dimainkan di tepian. Hingga akhirnya menjadi buangan yang dilupakan.
Maka Muhammad SAW bersama Tuhannya merumuskan sebuah nilai kehidupan yang dahsyat tanpa menggaungkan kejumawaan. Benar, kesuksesan yang hanya bisa diraih oleh hati yang mau untuk sedikit mengosongkan ruang agar bisa dimasuki tanpa friksi. Kesuksesan yang hanya bisa diraih dengan hati mulia
"Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu" (QS. 49:13)
Karenanya...aku pun bingung kawan, atas kesuksesan yang ternilai di masyarakat. Tapi di tengah kebingunganku itu, aku berharap cuma aku yang menderita. Dan bukan kalian, kamu, apalagi kita. (AA)
Senin, 10 Februari 2014
(tetap) Merasa Kosong
Perjalanan. Yang membuat saya beruntung. Bukan karena jauhnya jarak yang harus ditempuh. Melainkan besarnya usaha untuk menemukan sebuah hal baru. Ide, retorika yang menjadi kerangka berpikir, dan inspirasi-motivasional yang terlalu indah untuk dilupakan. Meski tetap ada perih dan luka yang menghiasi jasad kehidupan.
Selama tujuh tahun berkelana di secuil bagian dari kota hujan. Ratusan kali mondar-mandir ibukota. Bahkan puluhan kali di antaranya hanya dalam rangka ":mengencingi" ibukota yang dipenuhi sesak jejal manusia. Mengikuti berbagai banyak pertemuan formal dan style warkop. Bertemu dengan sekian banyak manusia yang dianggap tokoh dan dewa di pakarnya dengan segala ide, rasio, dan pemahaman terhadap hidup dan kehidupan. Dimulai dari aspek terkecil hingga filosofi mendasar. Yang membuatnya berbeda dengan orang lain, bahkan dengan dirinya sendiri.
Kanan, kiri, poros tengah, dan aliansi status quo pun turut serta memeriahkan ide yang membuncah liar dan bebas di kepala. Namun, tetap rapi dan solid pada tuturan lisan, gerakan mata, lambaian tangan, dan ayunan langkah-langkah kaki para raja kecil. Hingga akhirnya....saat untuk menentukan keputusan dan kesimpulan hadir mengetuk pintu relung hati yang sederhana tanpa singgasana yang mulia. Karena tetap sadar, tak ada yang mulia untuk kemudian dihamba. Juga tak ada manusia yang begitu hina sampai pantas untuk dinista. Kecuali pada asbab yang nyata dan berakar pada prinsip yang tak boleh nisbi.
Kesimpulan itu....yang akhirnya berani kupegang kawan. Prinsip yang menurut orang kebanyakan adalah benar, tapi mereka naif untuk menancapkannya, apalagi melakukannya. Ya. Begitulah manusia. Ras Homo Sapiens yang menurut ilmuwan adalah makhluk tercerdas yang bisa berjalan di bulatan planet ini, sampai saat ini.
Bahwa....tak ada manusia yang berhak merasa unggul dari yang lain. Dalam bidang apapun. Apalagi pada bidang ilmu dan pengalaman. Tidak.
Sehingga kita bisa dan puas tertawa terbahak-bahak jika ada manusia - siapapun dan apapun entitasnya, yang merasa dan berlaku serta bersikap lebih mulia, pintar, dan tahu akan sesuatu. Walaupun kita mungkin paham bahwa dia lebih tahu dari kita. Tapi tidaklah demikian kepantasan seorang bijak dalam bersikap dan memperlakukan manusia lain yang tak sepandai dirinya. Kepandaian yang kokoh selayaknya melahirkan kebijaksanaan dalam membimbing manusia lain untuk mencapai level yang (setidaknya) setara dengan dirinya. Bukan mencemoohnya, membunuh harga dirinya (dengan menelanjangi kesederhanaan intelektualnya) di depan umum, apalagi mengatakan "Aku lebih baik darimu". Ucapan yang akhirnya membuat seonggok malaikat diapikan oleh Tuhanku, dilaknat,, dan akhirnya diusir terhina. Tidak, tidak ada yang pintar di dunia ini. Karena hanya Dia Yang Maha Pintar. Dan karenanya, hanya Dia pula yang patut untuk sombong.
Tertawa kita akan lebih hebat lagi jika ternyata ada orang yang merasa dirinya baik, pintar, dan mulia, namun kita tahu persis bahwa dirinya tak seperti itu. Kecelakaanlah baginya....kecelakaannlah baginya. Otak tak seberapa, hati pun tak mulia, tapi merasa dikelilingi singgasana. Padahal semuanya hanya semu saja. Mari kita kasihani makhluk seperti ini. hatinya tak seluas ruang di rongga perutnya.
Sahabat....aku tahu, kalian lebih baik dan mulia dariku. Tapi merasa mulia dan lebih aik dari orang lain, tak melulu menjamin kita lebih mulia dan pantas untuk baik. Karenanya, siapapun yang melintas di kehidupan kita, tak pantas untuk direndahkan apalagi diabaikan. Tidak. Bukankah manusia-manusia yang hadir ke kehidupan kita tak akan mampir tanpa takdir dari-Nya ? Menghinanya....berarti juga menghina-Nya.
Kalo kita sudah berani menghina-Nya....tawaran saya....mari ciptakan dunia sendiri yang akan kita tinggali tanpa campur tangan-Nya.
Selama tujuh tahun berkelana di secuil bagian dari kota hujan. Ratusan kali mondar-mandir ibukota. Bahkan puluhan kali di antaranya hanya dalam rangka ":mengencingi" ibukota yang dipenuhi sesak jejal manusia. Mengikuti berbagai banyak pertemuan formal dan style warkop. Bertemu dengan sekian banyak manusia yang dianggap tokoh dan dewa di pakarnya dengan segala ide, rasio, dan pemahaman terhadap hidup dan kehidupan. Dimulai dari aspek terkecil hingga filosofi mendasar. Yang membuatnya berbeda dengan orang lain, bahkan dengan dirinya sendiri.
Kanan, kiri, poros tengah, dan aliansi status quo pun turut serta memeriahkan ide yang membuncah liar dan bebas di kepala. Namun, tetap rapi dan solid pada tuturan lisan, gerakan mata, lambaian tangan, dan ayunan langkah-langkah kaki para raja kecil. Hingga akhirnya....saat untuk menentukan keputusan dan kesimpulan hadir mengetuk pintu relung hati yang sederhana tanpa singgasana yang mulia. Karena tetap sadar, tak ada yang mulia untuk kemudian dihamba. Juga tak ada manusia yang begitu hina sampai pantas untuk dinista. Kecuali pada asbab yang nyata dan berakar pada prinsip yang tak boleh nisbi.
Kesimpulan itu....yang akhirnya berani kupegang kawan. Prinsip yang menurut orang kebanyakan adalah benar, tapi mereka naif untuk menancapkannya, apalagi melakukannya. Ya. Begitulah manusia. Ras Homo Sapiens yang menurut ilmuwan adalah makhluk tercerdas yang bisa berjalan di bulatan planet ini, sampai saat ini.
Bahwa....tak ada manusia yang berhak merasa unggul dari yang lain. Dalam bidang apapun. Apalagi pada bidang ilmu dan pengalaman. Tidak.
Sehingga kita bisa dan puas tertawa terbahak-bahak jika ada manusia - siapapun dan apapun entitasnya, yang merasa dan berlaku serta bersikap lebih mulia, pintar, dan tahu akan sesuatu. Walaupun kita mungkin paham bahwa dia lebih tahu dari kita. Tapi tidaklah demikian kepantasan seorang bijak dalam bersikap dan memperlakukan manusia lain yang tak sepandai dirinya. Kepandaian yang kokoh selayaknya melahirkan kebijaksanaan dalam membimbing manusia lain untuk mencapai level yang (setidaknya) setara dengan dirinya. Bukan mencemoohnya, membunuh harga dirinya (dengan menelanjangi kesederhanaan intelektualnya) di depan umum, apalagi mengatakan "Aku lebih baik darimu". Ucapan yang akhirnya membuat seonggok malaikat diapikan oleh Tuhanku, dilaknat,, dan akhirnya diusir terhina. Tidak, tidak ada yang pintar di dunia ini. Karena hanya Dia Yang Maha Pintar. Dan karenanya, hanya Dia pula yang patut untuk sombong.
Tertawa kita akan lebih hebat lagi jika ternyata ada orang yang merasa dirinya baik, pintar, dan mulia, namun kita tahu persis bahwa dirinya tak seperti itu. Kecelakaanlah baginya....kecelakaannlah baginya. Otak tak seberapa, hati pun tak mulia, tapi merasa dikelilingi singgasana. Padahal semuanya hanya semu saja. Mari kita kasihani makhluk seperti ini. hatinya tak seluas ruang di rongga perutnya.
Sahabat....aku tahu, kalian lebih baik dan mulia dariku. Tapi merasa mulia dan lebih aik dari orang lain, tak melulu menjamin kita lebih mulia dan pantas untuk baik. Karenanya, siapapun yang melintas di kehidupan kita, tak pantas untuk direndahkan apalagi diabaikan. Tidak. Bukankah manusia-manusia yang hadir ke kehidupan kita tak akan mampir tanpa takdir dari-Nya ? Menghinanya....berarti juga menghina-Nya.
Kalo kita sudah berani menghina-Nya....tawaran saya....mari ciptakan dunia sendiri yang akan kita tinggali tanpa campur tangan-Nya.
Minggu, 09 Februari 2014
tetap berjalan
Memang....sulit rasanya. Hadir dan selalu hadir. Ada dan selalu ada. Siap dan selalu siap. Apalagi hadir, ada, dan selalu siap untuk pilihan-pilihan yang telah dengan sangat apik dipungut. Hingga kadang kita menjadi tak setia, sering jatuh, dan hampir menyerah.
Manusiawi, sangat. Kecuali kita mau untuk duduk sejenak. Lepaskan semua hiruk pikuk dan tarikan magnet dunia dengan segala pesonanya. Meski sulit dan bisa jadi makin pelik. Tapi saya percaya kita - anda dan saya, bisa menemukan lagi rasa itu.
Rasa dimana jalan ini adalah jalan kebenaran. Dengan segala tantangannya, juga romantika yang menghiasinya.
Teman, sahabat, atau kalian yang baru akan menjadi saudaraku, tak penting kesalahan sebesar apapun yg sudah kita lalui. Tapi yang jauh lebih penting adalah prestasi dan kehebatan apa yang sedang kita titi, siapkan, dan cintai.
Tetaplah disini.....di jalan yang benar ini. jalan sederhana yang akan mengantarkan kita menjadi manusia sebenarnya. Dengan duri dan bunganya. Dengan kasih kinasihnya. Juga dengan ilmu dan kepahamannya.
Manusiawi, sangat. Kecuali kita mau untuk duduk sejenak. Lepaskan semua hiruk pikuk dan tarikan magnet dunia dengan segala pesonanya. Meski sulit dan bisa jadi makin pelik. Tapi saya percaya kita - anda dan saya, bisa menemukan lagi rasa itu.
Rasa dimana jalan ini adalah jalan kebenaran. Dengan segala tantangannya, juga romantika yang menghiasinya.
Teman, sahabat, atau kalian yang baru akan menjadi saudaraku, tak penting kesalahan sebesar apapun yg sudah kita lalui. Tapi yang jauh lebih penting adalah prestasi dan kehebatan apa yang sedang kita titi, siapkan, dan cintai.
Tetaplah disini.....di jalan yang benar ini. jalan sederhana yang akan mengantarkan kita menjadi manusia sebenarnya. Dengan duri dan bunganya. Dengan kasih kinasihnya. Juga dengan ilmu dan kepahamannya.
Rabu, 06 Maret 2013
Setor Wajah
“Sejak
dilahirkan, KAMMI ini sudah besar. Jadi jangan berusaha mengecilkannya.” (Akbar
Zulfakar, Mantan Ketua Umum KAMMI)
Ini yang paling saya sukai. Pertemuan antara setiap kader
dan pengurus KAMMI. Tidak hanya dalam satu ruang lingkup KAMMI Daerah, tapi
antara KAMMI di setiap tempat. Dari setiap kampus. Sangat beragam akan unsur
budaya lokal, kultur intelektual, sampai pada perbedaan cara pandang terhadap KAMMI
dan negaranya sendiri. Unik.
Pesona itu kian merebak tatkala sudah masuk pada ruang-ruang
diskusi yang membahana. Saya – dan saya yakin teman-teman juga begitu, tak
pernah merasa kecil ketika diskusi dimulai. Semua jadi “besar”. Benar-benar
besar. Bahkan ada beberapa orang yang merasa dirinya terlalu besar untuk KAMMI.
Hingga akhirnya memandang bahwa KAMMI tak mampu menampung kebesarannya.
Insilah...itu jalan keluar bagi mereka.
Namun, begitulah. Sejak awal KAMMI dilahirkan, sudah
dengan atribut kebesarannya. Bahwa mereka terdidik, terlatih untuk berpikir
besar. Tak hanya tentang diri sendiri. Tapi langsung di luar badan subjek
pikir. Tidak berpikir bagaimana dia, dan apa yang dia dapat. Tapi selalu
tentang apa yang bisa disiapkan untuk diberikan. Mulia, bagi beberapa orang.
Susah, untuk orang-orang yang bermasalah dengan keikhlasan. Tak mungkin bisa,
bagi manusia berstatus pemuda dan mahasiswa yang penuh pesimisme kehidupan.
Pertemuan demi pertemuan berhasil saya alami. Dari sebuah
kampus kecil sampai pada ruangan khusus wakil ketua DPR RI. Tidak ada yang
membuat saya bangga selain sebuah kesyukuran yang begitu bergejolak dan
menyeruak mempengaruhi raga. Bahwa saya mendapat kenikmatan belajar dari semua
hal yang ada di kurikulum KAMMI. Daurah marhalahnya, madrasahnya, daurahnya, “pengadilan”
jalanannya, hingga vila-vila mati penuh aura mesum yang mampu ceria lagi karena
nafas pemuda KAMMI.
Cukup. Mari kembali pada hakikatnya. Pertemuan antar
kader, bagi saya adalah penawar semua masalah yang dihadapi dalam menggulirkan
roda dakwah di KAMMI. Juga madrasah yang lebih dahsyat daripada daurah marhalah
sekalipun. Ini ibarat kurikulum manhaj kaderisasi yang dimampatkan di dalam
beberapa hari saja. Saya bertemu banyak orang yang visinya sangat mendukung
kekayaan ide tentang KAMMI, Islam, dan Indonesia.
Sebut sajalah rekan-rekan dari Jatim dan Jateng. Mereka
datang dengan penuh kesederhanaan dan “kezuhudan”-nya. Bahkan ketika bertemu
seorang kader KAMMI dari Semarang, pertanyaan pertama darinya adalah,”Kalo
makan di Jakarta paling murah berapa Mas?”. Sungguh ini sangat berkesan buat
saya. Mungkin ini menyindir kita akan kekuatan finansial untuk menjadi aktivis
dakwah. Tapi dari pertanyaan itu, saya belajar untuk segera menstabilkan
ekonomi pribadi dan rumah tangga. Agar tetap lincah menjadi aktivis.
Berbeda sekali jika kita bertemu saudara dari Jogja. Sangat
berbeda. Kepercayaan diri yang memancar dari jasadnya terasa mendominasi dan
menular. Aksen bicara yang medok dan sangat cepat, tak pernah menyurutkan
kecerdasan dan kekuatan pemahaman tentang politik. Juga pergerakan. Maka tak
heran pula jika kita selalu kehabisan waktu diskusi jika mengundang rekan-rekan
dari Jogja. Sungguh, tak ada cukup kata
untuk menyatakan kecepatan pikirannya. Apalagi jika dipadukan dengan
rekan-rekan Jabar, DKI Jakarta, dan Banten. Umpan tangkap diskusi begitu
natural mengalir. Bahkan, jika tak ada pengontrol bicara, katering peserta diskusi
bisa jadi bahan kudeta yang revolusioner. Meski tetap dengan tawa canda yang
menarik untuk diikuti.
Kesan seriuslah yang ditawarkan oleh hampir setiap kader
dari Indonesia timur. Bahkan beberapa pertemuan saya dengan mereka, awalnya
selalu tanpa senyum. Tanpa kesan muka yang santai. Selalu tegang.
Tapi hal itu juga bukan tanpa sebab. Pergolakan dakwah di
sana, terasa benar pada wilayah ruang aqidah. Bahwa Islam adalah benar.
Selainnya sesat. Maka tak heran jika yang dihadapi kader KAMMI di sana adalah
ide tentang kristenisasi, penipuan sosial, dan penyesatan agama. Ditambah
dengan sulitnya proses regenerasi yang digulirkan. Dengan semakin sibuknya
kurikulum pendidikan pada mahasiswa, para kader dituntut cermat untuk membagi
diri. Antara aktivitas ekstra kampus dan
tetap membuat diri nyaris cumlaude. Namun
saudara-saudara di timur selalu menginspirasi saya – dan beberapa rekan, untuk
senantiasa mengoreksi hubungan pribadi kepada Allah SWT. Sungguh, nasihat yang
amat berharga.
Nah, menurut saya, pertemuan-pertemuan ini sangat penting
bagi kader KAMMI. Ibarat halaqoh harokiyah yang harusnya menjadi kurikulum tak
tertulis yang wajib teragendakan. Dengan periode yang baik. Juga dengan tujuan
objek yang jelas. Minimal pertemuan itu menyatakan kepada kita bahwa dalam misi
penegakan risalah ini, kita tak pernah sendiri. Ada ribuan orang yang berhimpun
dalam sebuah rumah besar pemuda Islam; KAMMI.
Selain itu, saya percaya bahwa silaturahim sebagai penambah
usia dan rizqi. Karenanya, dengan pertemuan antar kader - baik antar
komisariat, antar daerah, ataupun wilayah, sangat penting menambah stamina pergerakan
yang menjadi bensin untuk mesin para aktivis. Apalagi jika ditambah dengan
budaya diskusi sebagai alat-alat pertukaran pikiran yang cerdas. Tentu saja ini
semakin menambah ghirah gerakan di dalam KAMMI.
Selain itu, pembelajaran para leader salah satunya adalah
pengenalan geografis. Agar kita semua tahu seberapa luas wilayah yang akan kita
pimpin nantinya. Bahwa Allah inginkan khalifah-khalifah-Nya menjadi orang-orang
besar. Terutama ruang pemikiran dan kemampuan pengaturannya. Saya masih ingat
betul nasihat salah seorang ustadz kepada rekan-rekan pengurus pusat. Bahwa
“Antum semua harus sering jalan-jalan ke daerah. Kunjungi mereka. Agar
frekuensi gerak antum sama. Dan agar antum semua tahu, bangsa kita ini sangat
luas”.
Maka, saudaraku, bertebaranlah di bumi Indonesia ini.
Agar Allah lapangkan jalan kita. Untuk Indonesia. Dan untuk-Nya.
Mulazamatul Ulama
(Serial Aku dan KAMMI)
Bosan, juga lelah. Itu yang tidak bisa kami sembunyikan
dari wajah-wajah daerah non ibu kota yang kami miliki. Setelah bertolak dari
kediaman Bapak Marwan Batubara, seorang pemikir strategis tentang sumber daya
alam Indonesia, kami menuju rumah besar para penyambung lidah rakyat (baca:
DPR) di senayan. Jarak yang lumayan, ditambah belum baiknya transportasi umum
bangsa ini membuat kami harus mencari alasan tepat untuk tetap semangat. Memang
hari keempat yang cukup melelahkan. Sekaligus sangat mengesankan.
Sudah hampir dua jam kami dibuat layaknya ayam kehilangan
induk. Duduk lesehan di lobby Gedung
Nusantara III. Sembari melihat lalu lalang orang. Ukh Vida, Dewi, Kumala, dan
Erni mengamankan diri dengan duduk di sofa dekat tiang besar. Jauh dari kami
para ikhwan. Akh Mastari, dengan beberap rekan yang lain mulai tertarik dengan
perabot-perabot unik yang ada di sekitar gedung. Mesin informasi tentang jadwal
acara anggota DPR menjadi pelampiasan rasa ingin tahunya. Akh Wibi, mungkin
karena terlalu lelah, hanya duduk bersandar. Tak lama kemudian, dia sedikit
berteriak dan melambaikan tangan. Memanggil Bang Fahri Hamzah yang kemarin
dengan baik hati rela menjadikan rumahnya sebagai tempat sarapan kami,
berlimabelas.
Kebosanan hampir lagi menghampiri kami. Ketidakjelasanlah
sebabnya. Sampai kapan kegiatan menunggu ini terus dilakukan. Hal ini terasa
seperti membuang waktu. Dan tentu saja kita tahu, membuang waktu bagi para
kader KAMMI dan semua orang yang ingin jadi pemimpin, adalah dosa besar tak
terampuni.
“Sabar ya...ustadz sekarang kan udah jadi milik umum.
Jadi jadwalnya padat sekali. Antum semua harap maklum. Sabar. Insya Allah
ketemu.”, kalimat Bang Mohan cukup untuk menurunkan tensi kejumudan kami. Meski
sebenarnya itupun tak mampu bertahan lama.
Kedua kalinya Akh Wibi berteriak. Tapi objeknya adalah
kami. Semua dari kami.
“Itu ustadz...”, katanya.
Saat badan mulai beranjak dari peraduan hibernatif
masing-masing, Bang Mohan memberikan isyarat kepada kami untuk diam. Tunggu
lagi.
“Antum semua ga boleh
langsung nyerobot gitu. Beliau masih
ada acara. Nanti kita akan dihubungi aspri-nya
kalau ustadz sudah siap. Santai aja.”
Blusssssss.......kecewa berat. Tapi memang benar apa yang
disampaikan Bang Mohan. Semua jadwal beliau, sudah tertata dengan sangat baik,
rapi, dan proporsional. Sangat tak beradab jika kami datang tiba-tiba dan
berefek rusaknya jadwal beliau. Kasihan. Kasihan ustadz, lebih kasihan lagi
kami yang melanjutkan keterlantaran ini.
“Udah, bentar lagi ketemu kok. Kan ntu orangnye udah ada.”, Akh Inggar nyeletuk.
Kalimat yang jauh dari rasa formal itu ternyata cukup
ampuh menghipnotis kesadaran kami. Bahkan kami mulai mendiskusikan reaksi dan
pertanyaan apa yang akan kami sampaikan kepada ustadz nanti. Begini dan begitu.
Banyak sekali. Meski tetap saja ada di antara kami yang lebih tertarik dengan
perabot-perabot canggih yang ada di hamparan lobby.
“Oke...ayo ke atas, kita udah ditunggu.”, kalimat Bang
Mohan membuat kami sekonyong-konyong bangun.
Senyum mulai melebar di antara kami. Terutama Ukh Dewi.
Bagaimana tidak, dia datang jauh-jauh dari Papua. Dengan segala kekuatan fisik,
kesempatan waktu yang dipaksakan, dan kecermatan anggaran dia datang ke
Jakarta. Ya, peserta acara ini benar-benar tersebar. Dari ujung barat diwakili
akh Rizqi dari Universitas Negeri Padang. Turun ke Lampung, akh Ghandaru dan
Taufiq. Masuk daerah Jakarta, Inggar Saputra menjadi delegasi. Akh Mastari dari
Cirebon. Dari Bogor, aku dan ukh Vida. Masuk wilayah Jawa bagian Tengah
diwakili akh Hasan, Muharram, dan ukh Erni dari Universitas Jenderal Soedirman,
Purwokerto. Ditambah dua orang dari Univ. Diponegoro, akh Neil dan Barry. Wibisono
dari UGM, ukh Kumala dari IAIN Kalimantan Selatan, ditutup oleh ukh Dewi Arika
dari Papua.
Inilah program pengkaderan dan pendidikan terbaru yang
diklaim oleh PP KAMMI. Selama ini daurah yang diadakan selalu mengundang
pembicara dan datang menghampiri peserta. Tapi kali ini, para peserta yang
menyongsong sumber-sumber ilmu. Biar nyunnah
katanya, menghampiri para ulama kalau mau belajar.
Ya, latar tempat sudah berubah. Dari lesehan di lobby
Nusantara III, sekarang ke ruangan khusus Wakil Ketua DPR RI. Tidak terlalu
besar memang. Dua lapis kursi dan meja. Di setiap bangku disediakan pengeras
suara yang cukup untuk membuat suara terdengar dengan baik, meski tak
mengubahnya jadi merdu.
Namun, yang masih sama adalah kegiatan kami. Menunggu. Kami
diminta lebih bersabar lagi.
“Afwan...ustadz masih siaran langsung dengan radio dari
Libya. Sabar ya.”, kata salah seorang petugas. Atau mungkin asisten ustadz.
Tapi entahlah, identitasnya tidak menjadi penting buat kami. Yang jelas tugas
kami hanyalah menunggu.
Kebosanan mungkin sudah hampir titik stationer dalam fungsi kuadrat. Maka sudah mulai banyak yang
mencari cara menghilangkan kebosanan itu. Akh Neil dan Ghandaru asyik dengan
mushafnya. Akh Rizqi berusaha men-setting handycam
yang dibawanya. Sesekali kuminta dia untuk tidak menghalangi pandangan handycam-ku. Barry dan Inggar menulis
sesuatu di selembar kertas. Mungkin pertanyaan yang ingin disampaikannya. Wibi
dan ikhwan tersisa, kutak-katik hape.
Dan rekan-rekan akhwat di belakang asyik berdiskusi meski suaranya seperti tagline mobil diesel, nyaris tak
terdengar.
Setiap pintu utama terbuka, kami semua berdiri. Mengira
bahwa ustadz yang rawuh (baca: hadir
dalam bahasa jawa-red). Tapi lagi-lagi bukan. Begitu seringnya mas aspri dan petugas lain keluar masuk
lewat pintu itu. Hingga akhirnya kami bosan bermain berdiri-duduk tanpa
kejelasan siapa pemenangnya. Hasilnya, tanpa syuro pun, kami sepakat
berkomunikasi dalam bahasa qalbu, tidak
usah berdiri lagi. Paling-paling bukan ustadz.
Seorang masuk mendekati bangku Hasan. Kami terbelalak.
Dengan segera kami berdiri. Tapi orang itu memberi isyarat larangan untuk
berdiri. Dia berjalan menghampiri kami, satu per satu. Menjabat tangan kami
semua, para ikhwan. Kami mendadak langsung merasa tak enak. Merasa tak sopan.
Merasa tak beradab sebagai mutarobbi. Bagaimana
mungkin kami membiarkan guru kami yang berjalan mendekati kami. Padahal
seharusnya kami yang memuliakan beliau. Tapi begitulah kira-kira pesan moral
awal yang ingin disampaikan sang guru. Bahwa kepahaman keilmuan yang baik
justru membuat pelakunya semakin rendah hati. Begitulah, ustadz Anis Matta, Lc.
Diskusi pun berlangsung. Dimulai dari pengantar yang
disampaikan Bang Mohan, ustadz mulai memberikan taujih. Kami memperhatikan
dengan sangat seksama. Layaknya seekor macan yang sedang memperhatikan
mangsanya dengan sangat teliti. Takut kehilangan dan tertinggal.
Isi diskusi yang begitu eksklusif menggebyar di setiap
sela dengar. Bahkan informasi lapis satu, yang biasanya hanya didengarkan para
ustadz, saat itu kami dengarkan. Dadaku pun kembang kempis dibuatnya.
Benar-benar terasa, betapa beratnya menghadirkan kebenaran di nusantara. Apalagi
jika ditambah visi menyejahterakan umat Islam di Indonesia, sekaligus tugas
besar kita semua untuk membangun khilafah di dunia.
“Belajarlah...sebelum kalian memimpin”. Kalimat yang
berasal dari Umar bin Khattab r.a. menjadi inti taujih beliau. Karena di saat
memimpin nanti, tak ada lagi kesempatan untuk belajar. Objek kepemimpinan
(baca: rakyat) hanya tahu kita salah jika melakukan kesalahan dalam memimpin.
Juga benar jika kita memimpin dengan benar. Tanpa mau tahu alasannya dan apa
yang sebenarnya terjadi.
Arahan itu sangat berpengaruh untuk kami. Karena, menurut
beliau, masa kami di kampus adalah masa paling tepat untuk belajar. Meski juga
tak mengapa sesekali show up atas hasil belajar. Karena kebanyakan para
pemimpin di Indonesia tak cukup waktu untuk menyiapkan dirinya menjadi
pemimpin. Jadilah eksekutif-eksekutif pemerintahan di Indonesia hanyalah
sebatas pimpinan yang tak pernah memahami arti dan esensi kepemimpinan itu
sendiri. Terkotak pada status dan posisi, bukan hakikat intidan substansi.
“Antum semua juga harus perhatikan kesehatan antum ya.
Istirahat yang teratur. Tidur ya....delapan jam lah sehari. Antum semua kan
masih masa pertumbuhan.”. Kalimat itu membuat hampir dari kami semua tersenyum.
Tak pernah ada dan bisa di kamus hidup kami dan KAMMI untuk tidur 8 jam sehari.
Maklum, aktivis. Karena itu, badannya “tivis-tivis”.
“Satu hal lagi ikhwatifillah...antum semua, calon
pemimpin. Maka setidaknya...ada tiga hal yang harus antum pelajari dengan
serius. Pertama, sejarah. Ini
memberikan arahan kepada kita untuk bertindak di masa yang akan datang. Kedua, geografi. Supaya antum semua tahu
seberapa luas wilayah yang akan antum pimpin. Harusnya pengurus pusat ini
sering-sering ya main ke daerah-daerah gitu.
Dan yang terakhir, sastra. Ini menguatkan visi antum dan citarasa retorika
antum lewat lisan atau tulisan. ”, kami semua manggut-manggut mendengar taujih di bagian ini.
“Supaya antum semua menghemat waktu, jangan baca semua
apalagi sembarang buku. Bacalah buku-buku dari penulis nomor satu di bidang
itu. Misal, sejarah. Antum cari, siapa orang nomor satu di bidang itu. Antum
cari bukunya. Baca. Itu sangat efektif. Sekaligus hemat waktu.”
Kami semua terpesona. Sangat terpukau. Sampai-sampai
semua pertanyaan yang kami rancang saat terlantar di Nusantara III, mendadak
hilang. Tak bisa berpikir banyak. Hanya bisa “menyerah” menampung ide dan
pemikiran sang guru. Kami kehilangan kata. Mungkin itu yang dirasakan oleh
anak-anak gaul saat mereka bertemu
artis pujaannya. Entahlah.
Tiga lebih separuh jam kami menunggu beliau. Terbayar
lunas dalam pertemuan satu jam. Cukup. Sangat cukup. Bahkan untuk beberapa
rekan, sepertinya lebih dari cukup. Selesai berfoto-foto dengan beliau, kami
pun pamit dari rumah senayan. Tak berhenti kami membahas rasa senang yang
sedang mendominasi dada. Sungguh, ceria. Tak mampu termaterikan. Alhamdulillah.